METODE
PENELITIAN HADIS
Abstact :
The method of Hadis study was preceded by collection of Hadis data from rawi ( narrator of Hadis) directly and also
many main Hadis books after coding, among of them al-Jâmi’ al-Shahîh li
al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh
li-Muslim, Sunan Abu Dawud, Jâmi’al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’î, Sunan Ibn Majah
and Musnad Ahmad. It will be easear if we use
Takhrîj method. The object of this study
includes two elements are sanad (Hadis eksternal study) and matan (
Hadis internal study). Both of these elements can’nt be separated
because it will give some
effects to the outhenticity of Hadis. To
analyzie these elements, we can use the analysis of content method, the comparation
method, the normative method and historical method with a quality of Hadis
shahih standard approach. It is connected
sanad, the equitable narrators and have good memory, not any strangers and
hidden defects. Finally, there are Hadis shahih (accepted Hadis) or Hadis
dha’if (rejected Hadis).
Kata Kunci : takhrij, kritik
internal, kritik eksternal
Pengantar
Ada dua bentuk obyek dalam studi Hadis. Pertama ; studi matan/ isi/ content Hadis. Kedua ; studi
sanad/ estafetas personal periwayat Hadis dari masa timbulnya yakni pada masa Nabi saw
sampai dengan masa kodifikasinya yakni abad ke-2 atau ke-3 Hijriyah. Kedua
bentuk studi tersebut saling berkaitan,
karena content Hadis dapat dianggap valid manakala disertai dengan silsilah
sanad yang valid pula. Studi pertama
biasanya menurut para pakar Hadis disebut studi internal Hadis sedangkan yang
kedua disebut studi eksternal Hadis.
Studi internal content Hadis yang tidak disertai dengan studi eksternal silsilah
sanad yang valid atau disertainya tetapi jika seluruh personal dalam sanad
tidak memiliki kredebilitas yang tinggi dapat ditolak, Hadisnya disebut tidak shahih.
Studi internal matan/content Hadis adalah tujuan studi
sedangkan studi eksternal silsilah sanad adalah sarana proses kevaliditasan
suntu content. Studi internal matan/content Hadis sebagai out put
sedangkan studi eksternal silsilah sanad adalah sebagai in put. Studi internal
content Hadis bertujuan untuk pengamalan Sunah semata karena Hadis sebagai
sumber ajaran Islam yang harus dipatuhi, sedangkan studi eksternal silsilah
sanad Hadis bertujuan memelihara keorigilan syari’ah Islamiyah itu sendiri.
Sesuai dengan masa timbulnya Hadis memang
bersamaan dengan al-Qur’an, namun dalam periwayatan al-Qur’an tidak mengundang masalah, semua umat Islam
menerima tanpa memerlukan kajian silsilah sanad, karena seluruhnya tertulis
sejak masa Rasulillah hidup di samping itu
al-Qur’an diterima oleh para periwayatnya secara kolektifitas/mutawâtir,
dengan demikian memiliki kepastian hukum/qath’îy al-wurûd. Berbeda
dengan Sunah atau Hadis yang tidak tertulis sejak masa hidup Rasulillah saw, mayoritas Hadis hanya
dihapal dan diingat para sahabat di luar
kepala di samping terjadi pemalsuan Hadis dan penyalahgunaan kepentingan dalam
perkembangan berikutnya. Kondisi Hadis
seperti di atas mengundang para ilmuan dan para ulama untuk mengadakan pengkajian, penyelidikan dan
penelitian Hadis untuk dianalisis
obyektifitas dan otentisitasnya.
Setelah terjadi pemalsuan Hadis terutama oleh beberapa
sekte Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah
(41 H) para ilmuan bangkit mengadakan research/penelitian Hadis dengan berbagai langkah, antara lain :
1.
Mempersyaratkan periwayatan Hadis
harus diertai silsilah sanad yang sampai kepada Rasulillah sebagai sumber Hadis
2.
Mengadakan penelitian ke lapangan/fild
research menemui tokoh-tokoh Hadis yang masih hidup untuk checking
otentisitas Hadis yang terkait
3.
Menemui para periwayat dan tokoh-tokoh senior Hadis, ahli sejarah, dan lain-lain walaupun
di tempat yang jauh, karena berpindah dari suatu Negara ke Negara lain dalam
rangka ekspansi dakwah Islam untuk
dimintai informasi tentang biodata dan biografi para periwayat baik yang masih
hidup maupun yang sudah mati.
4.
Meneliti dan menganalisis
sifat-sifat biodata dan biografi para periwayat Hadis yang dapat diterima dan ditolak
periwayatannya
5.
Dan seterusnya.
Studi Hadis adalah studi ilmiah yang tertua di dunia
keilmuan. Sebab sebelum umat Islam mengenal studi ilmu-ilmu lain seperti Fikih, Ilmu Kalam/ Teologi dan
lain-lain dalam perkembangannya,
terlebih dahulu mereka telah mengenal studi ilmiah Hadis. Bahkan Barat sebelum
mengenal studi ilmiah dan sebelum mencapai kemajuan saint dan teknologi umat
Islam telah mengenal studi ilmiah yakni studi Hadis ini.
Dalam artikel ini akan mengungkap metode kedua
bentuk studi Hadis di atas baik secara
internal matan/content maupun eksternal/silsilah sanad dengan pendekatan kualitas bukan pada
pemahaman dan pengamalan teks Hadis. Mengapa Hadis diteiti ? Bagaiman mereka studi Hadis ? Metode apa saja yang
mereka gunakan dalam studi Hadis ? Bagaimana kaedah-kaedah yang dijadikan
standar dalam penelitian Hadis ?
Latar Belakang Perlunya penelitian Hadis
Tidak seluruh Hadis dari Nabi diterima para sahabat secara kolektifitas (mutawâtir) seperti al-Qur’an bahkan mayoritas Hadis
diriwayatkan secara individualitas ( âhâd). Jika Hadis diterima secara kolektif/mutawâtir
dapat diterima secara aklamasi tanpa penelitian sifat-sifat individu para
periwayatnya seperti sifat
keadilan, kecerdasan, daya ingat, atau daya hapal (dhâbith), dan
lain-lain, karena kualitas kolektifitas tersebut sudah memiliki kualifikasi
obyektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Berbeda dengan Hadis âhâd para
periwayat dalam sanad harus memiliki kredibeltas yang dapat dipertanggung
jawabkan, seperti sanad-nya harus bersambung (ittishâl), para
periwayatnya harus memiliki sifat adil/’adâlah, hapalan kuat/dhâbith, dan seterusnya. Oleh
karena itu Hadis âhâd perlu penelitian dan pemeriksaan sifat-sifat para
periwayatnya sehingga memenuhi kriteria Hadis yang dapat diterima sebagai Hadis
yang shahih.
Di antara latar
belakang perlunya penelitian Hadis adalah sebagai berikut :
1. Hadis
sebagai sumber ajaran Islam
Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang memerintah
orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi
Muhammad saw sebagai utusan Allah SWT. Di antara ayat-ayat itu :
a. Surah
al-Hasyr/59: 7 :
Artinya : Apa yang diberikan oleh Rasullah kepadamu maka hendaklah
kamu menerimanya, dan apa yang dilarang bagimu maka hentikanlah (Qs.al-Hasyr/59
: 7)
b. Surah al-Nisâ’/4 :80 :
Artinya :
Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. Al-Nisa/4 : 80)
Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari
Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.[1]
Kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang
kepada Allah. Segala perintah dan larangan Rasul termuat dalam Hadis atau Sunah
beliau, patuh kepada Rasul berarti mengamalkan Sunah tersebut. Dengan petunjuk dua ayat di atas, jelaslah
bahwa Hadis atau Sunah Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam, disamping
al-Qur’an. Orang yang menolak Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
berarti orang tersebut menolak petunjuk al-Qur’an.
Dalam sejarah
pernah timbul sekelompok minoritas dari umat Islam yang menolak Hadis atau Sunah Rasulullah sebagai
sumber ajaran Islam. Mereka itu dikenal sebagai Ingkar Sunah atau
cabang-cabangnya yang menggunakan baju,
nama dan label yang bervaristif. Cukup banyak alasan yang mereka ajukan untuk
menolak Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, baik secara tekstualitas/naqlî
al-Qur’an maupun secara rationalitas/’aqlî.
Tetapi sesungguhnya semua alasan yang mereka ajukan ternyata sangat lemah dan
tidak ilmiah. Karena pada umumnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, dan Ulumul Hadis khususnya
berkenaan dengan sejarah penghimpunan Hadis dan metodologi penelitiannya.
Semua umat Islam
meyakini bahwa Hadis Nabi bagian
dari sumber ajaran Islam, maka penelitian Hadis khususnya Hadis âhâd
sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk upaya menghindarkan diri dari
pemakaian dalili-dalil Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai
sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW. Sekiranya Hadis Nabi hanya berstatus
sebagai data sejarah belaka, niscaya penelitian Hadis tidaklah begitu penting .
2.Tidak seluruh Hadis tertulis pada masa Nabi
Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis Hadis,
namun, beliau juga pernah menyuruh para
sahabat untuk menulisnya. Laranag tersebut kiranya dimaklumi karena SDM yang
bisa menulis masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mareka itu
dikonsentrasikan untuk menulis al-Qur’an. Sedangkan bagi sebagian sahabat yang
diperbolehkan menulis Hadis karena mereka memang ahli benar dalam tulis menulis
sehingga tidak ada kekhawatiran campur aduk dengan al-Qur’an. Kebijaksanaan
tersebut mengakibatakn terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahkan
para sahabat Nabi, tentang boleh atau tidaknya penulisan Hadis. Beberapa
sahabat yang pernah menulis Hadis adalah Abdullah bin Amr bin al-`As, Abdullah
bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah dan lain-lain. Namun tidak berarti bahwa semua
Hadis telah ditulis, hal ini sangat beralasan karena penulisan tersebut atas
kehendak pribadi masing-masing.
Dokumentasi Hadis pada masa awal Islam mayoritas di
dalam dada dan sebagian dalam bentuk tulisan. Alasannya bukan hanya karena
jumlah sahabat yang tidak bisa menulis lebih banyak tetapi juga karena kegiatan
catat mencatat berbagai hal yang terjadi pada seseorang yang masih hidup
tidaklah mudah. Tidak semua Hadis terjadi di hadapan banyak orang, misalanya
hal-hal yang berhubungan dengan istri beliau, sehingga hal-hal tersebut baru
bisa terungkap setelah beliau wafat. Andaikan Hadis telah tertulis semua, tentu
Nabi akan mengoreksinya, sehingga penelitian Hadis tidak diperlukan lagi, namun kenyataannya tidaklah demikian.
3. Timbul berbagai pemalsuan Hadis
Para ulama
berpendapat bahwa kegiatan pemalsuan Hadis mulai muncul dan berkembang pada
zaman Khalifah `Alî bin Abî Thâlib (35-40H). Pada mulanya, faktor yang
mendorong seseorang melakukan pemalsuan Hadis adalah kepentingan politik. Yakni
pertentangan politik antara pendukung Alî bin Abî Thâlib dan pendukung
Mu`awiyah bin Abî Sufyan. Para pendukunng
antara dua kubu yang bertikai tersebut saling membuat Hadis-Hadis palsu untuk melegitimasi
kelompoknya masing-masing dalam rangka memenangkan pertikaian. Pertentangan
tersebut juga telah menimbulkan perpecahan umat Islam dalam aliran teologi,
dimana masing-masingn aliran juga membuat Hadis palsu untuk menjastifikasi dan
memperkuat argumen kelompok mereka. Tentu saja hal ini sangat dimanfaatkan para
musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan cara
membuat Hadis palsu yang sangat merugikan agama Islam. Faktor selanjutnya yaitu
faktor ekonomi, mereka membuat Hadis palsu agar mendapat hadiah dari para
pejabat.
Berbagai pemalsuan Hadis tersebut menyulitkan umat
Islam untuk mengetahui berbagai riwayat Hadis yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad. Sehingga para ulama ahli
Hadis berusaha seoptimal mungkin untuk menyelamatkan Hadis–Hadis Nabi dengan
cara menyusun berabagai kaidah dan ilmu Hadis yang secara ilmiah dapat
digunakan untuk penelitian Hadis.[2]
Dalam hubungan itu, sanad Hadis menjadi sangat penting dan penelitian
pribadi para periwayat yang menyatakan telah memperoleh suatu riwayat Hadis
menjadi salah satu bagian terpokok dalam penelitian Hadis.
Kegiatan penelitian Hadis menjadi sangat penting,
karena tanpa dilakukan penelitian, Hadis
Nabi akan bercampur aduk dengan yang bukan Hadis dan ajaran islam akan dipenuhi
oleh berbagai hal yang menyesatkan umatnya.
4. Proses penghimpunan Hadis dalam waktu lama
Penghimpunan Hadis secara resmi dan massal terjadi
atas perinth Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( w. 101H/720 M). Dikatakan resmi karena
merupakan kebijaksanan Kepala Negara, dikatakan massal karena perintah kepala
negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli Hadis pada zaman
itu. Namun perintisan pengkodifikasian Hadis ini telah ada sejak ayah beliau
yaitu Abd al-Aziz bin Marwan yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di
Mesir, melalui surat
beliau meminta kepada Katsîr bin Murah (seorang tabi’in di Himsh), untuk
mencatat berbagai Hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi selain Abu
Hurairah, karena beliau telah memiliki catatan sendiri.[3]
Salah seorang ulama Hadis yang telah berhasil melaksanakan perintah Khalifah
adalah Muhammad bin Muslim bin Syihâb al-Zuhrî seorang terkenal dari negeri
Hijaz dan syam. [4]
Dengan demikian jarak waktu masa penghimpunan Hadis dan
kewafatan Nabi cukup lama. Hal ini mengakibatkan berbagai Hadis yang dihimpun
dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang sekasama untuk menghindarkan diri
dari penggunaan dalil Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
validitasnya.
5. Jumlah kitab Hadis dan teknik penyusunan yang beragam
Jumlah kitab Hadis yang telah tersusun cukup banyak,
dan sulit dipastikan dengan angka disebabkan sumber referensi Hadis (Makhârij al-Hadîts) tidak
terhitung jumlahnya juga. Di antara kitab yang masih beredar luas dalam
masarakat adalah : Shahîh al-Bukhârî susunan Imam
al-Bukhârî, Shahîh Muslim susunan Imam Muslim, Sunan
Abî Dâwûd susunan Imam Abî Dâwûd, Sunan al-Turmudzî, dan lain-lain.
Metode penyusunan kitb-kitab di atas sangat beragam, karena yang lebih ditekankan
dalam kegiatan penulisan ini adalah penghimpunan bukan metode penyusunan.
Masing-masing penulis/penghimpun/mukharrij mempunyai metode penulisan
tersendiri, baik dalam sistematika, topik yang dikemukakan, maupun kriteria
kualitas Hadisnya masing-masing, sehingga standar penilaian Hadis masih belum baku.
Dalam kriteria
Hadis yang masih beragam tersebut, kualitas Hadis dalam kitab-kitab tersebut
tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah Hadis yang termuat dalam kitab-kitab
himpunan itu shahih atau tidak,
diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakan kegiatan peneliltian
tersebut dapat terhindar dari penggunaan Hadis yang tidak memenuhi kriteria
sebagai hujah.
6. Terjadi periwayatan Hadis
secara makna
Pada umumnya sahabat membolehkan periwayatan Hadis
secara makna, di antaranya adalah `Alî bin Abî Thâlib ,`Abdullah bin `Abbâs,
`Abdullah bin Mas’ûd, Anas bin Mâlik. Namun ada juga yang menentang kebolehan
periwayatan Hadis secara makna tersebut. Mereka adalah `Umar bin al-Khathâb, `Abdullah bin `Umar bin
al-Khathâb, Zayd bin Arqam.[5]
Ulama yamg membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan
syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya periwayat yang bersangkutan harus
mendalami pengetahuan Bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang
bersifat ta’abbudî, dan periwayatan ini dilakukan bila dalam keadaan
terpaksa[6]
dan terjadi sebelum masa
pengkodifikasian, sehingga periwayatan ini tidak berlangsung dengan
longgar.
Walaupun persyaratan periwayatan secara makna cukup
ketat namun kebolehan ini memberi petunjuk bahwa matan Hadis yang
diriwayatkan secara makna telah ada.[7]
Padahal untuk mengetahui kandungan petunjuk Hadis tertentu, diperlukan
mengetahui susunan redaksi (tekstual) dari Hadis yang bersangkutan khususnya
yang berhubungan dengan Hadis dalam bentuk perkataan/qawli Rasul. Oleh
karena itu, kegiatan penelitian Hadis sangat diperlukan .
Obyek Penelitian
Obyek
penelitian dalam Hadis adalah sanad
dan matan-nya. Untuk meneliti kualitas suatu Hadis apakah shahih atau tidak,
kiranya perlu di-takhrîj atau ditelusuri terlebih dahulu sanad
dan matan-nya dari buku sumber asli yaitu Buku Induk Hadis sehingga
dapat ditemukan siapa pembawa berita atau para periwayat yang ada dalam sanad
dan bagaimana isi berita yang dikandung dalam matan Hadis tersebut,
untuk diverifikasi kebenarannya.
Metode
Penelitian
1. Takhrîj
Pengumpulan Data Hadis
Langkah awal yang dilakukan seorang peneliti Hadis adalah mengumpulkan data Hadis
yang teridiri dari matan dan sanad yang lengkap melalui berbagai jalan/sanad.
Penghimpunan data Hadis lansung dari para periwayat yang menyampaikannya
disertai dengan sanad pada masa sebelum pengkodifikasian atau dari buku-buku
induk Hadis setelah masa pengkodifikasian dengan menggunakan metode Takhrîj. Baiklah di sini sebelum berbicara metode
Takhrîj terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian Takhrîj. Kata Takhrîj secara etimologi diartikan ; mengeluarkan dan menampakkan sesuatu dari suatu tempat. Menurut terminologi
ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, antaranya sebagai
berikut :
a.
Mengambil beberapa Hadis dari
sebuah kitab Hadis dengan menyebutkan sanad
sendiri yang ia peroleh dari para guru/masyâyikh yang berbeda dengan sanad
kitab asal. Maka bisa jadi ada pertemuan
syeikh atau guru syeikhnya antara
kedua pengarang tersebut. Seperti kitab al-Mustakhraj `ala al-Bukhârî
yang ditulis oleh Abû Bakar al-Ismâ`ilî. Orang yang melakukannya disebut mukharrij atau mustakhrij.
b.
Menerangkan bahwa Hadis itu
terdapat dalam sebuah kitab yang dipindahkan (diriwayatkan) ke dalamnya oleh penyusunnya dari sebuah kitab lain.
Misalnya perkataan seseorang : Akhrajahu
al-Bukhârî = diriwayatkannya oleh al-Bukhari. Orang yang
melakukannya disebut Mukharrij.
c.
Menyampaikan sebuah atau beberapa
Hadis serta sanadnya dan diterangkan
kualitasnya. Seperti al-Bukhari misalnya menyampaikan periwayatan Hadis
serta sanadnya dan diterangkan
kualitasnya.
d.
Menunjukkan asal Hadis pada
sumber aslinya yakni buku induk Hadis yang di dalamnya dikemukakan matan
dan sanad secara lengkap masing-masing, kemudian untuk kepentingan
penelitian dijelaskan kualitasnya. [8]
Buku Induk Hadis itu seperti kitab al-Jâmi’
al-Shahîh li al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh li-Muslim, Sunan Abu Dawud,
Jâmi’al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’î, Sunan Ibn Majah dan Musnad Ahmad yang
kemudian disebut Tujuh Buku Induk Hadis.
Definisi pertama tidak dapat dilakukan orang pada era sekarang, karena
menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli Hadis era sekarang, di samping
keterputusan predikat sebagai periwayat Hadis. Kecuali jika dilakukan sesama Muhaddits atau Thalib
al-Hadîts dalam arti yang sederhana. Definisi kedua, dapat dilakukan sepanjang masa baik secara
langsung atau ditulis di berbagai buku. Misalnya seseorang yang mengutip sebuah
Hadis dari kitab al-Bukharî mengatakan
pada awal atau akhir penukilan : أخرجه البخاري
Hadis di-takhrîj oleh al-Bukhârî dan seterusnya. Untuk menyatakan
perawi suatu Hadis dikatakan dengan kata :
رواه البخاري
Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
Definisi ketiga dan keempat juga masih terbuka lebar kesempatan bagi para
peneliti Hadis untuk mengadakan penelusuran
dari sumber aslinya atau dari buku Induk Hadis untuk diteliti sanad dan matan-nya
sesuai dengan kaedah-kaedah Ilmu Hadis Riwâyah dan Dirâyah,
sehingga dapat menyimpulkan kualitas suatu Hadis. Definisi terakhir
inilah yang berlaku di Perguruan Tinggi Islam pada umumnya dalam meningkatkan
kualitas studi Hadis yang lebih kritis dan ilmiah.
Metode takhrij dalam arti penelusuran Hadis
dari sumber beberapa buku induk dalam rangka mengumpulkan data Hadis paling
tidak ada lima
metode yang dapat digunakan yaitu sebagai
berikut :
a. Takhrîj
bi al-lafzhi, yaitu penelusuran
Hadis melalui lafazh matan-nya baik dari permulaan, pertengahana,
dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini adalah Kamus al-Mu`jam
al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawî yang disusun
A.J. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid yang berefensi pada 9
bukui Induk Hadis. Tujuh buku induk di atas ditambah al-Muwththa’ karya
Imam Malik dan Sunan al-Dârimî.
b. Takhrîj
bi al-Mawdhû`, yaitu penelusuran Hadis yang didasarkan pada topik (mawdhû`),
misalnya bab shalat, nikah, jual beli, dan lain-lain. Salah satu kamus yang digunakan dalam Takhrîj ini
adalah Miftâh min Kunûz al-Sunnah oelh Dr. Fuad Abd al-Bâqî, terjemahan dari A
Handbook of Early Muhammadan karya A.J. Wensink pula yang berefensi pada 14
buku iInduk Hadis.
c. Takhrîj bi Awwal al-Matn, takhrîj menggunakan permulaan matan,
misalnya dengan menggunakan kitab al-Jâmi`
al-Shaghîr karangan al-Suyuthî dan
Mu`jam Jâmi` al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, karya Ibn al-Atsîr.
d. Takhrîj melalui sanad Hadis yang
pertama yakni sahabat dengan menggunakan
kitab Musnad atau al-Athrâf seperti kitab Musnad al-Imam Ahmad.
e. Takhrîj berdasarkan status Hadis, misalnya
mencari Hadis Mawdhû` di dalam buku
himpunan Hadis Mawdhû` al-Mawdhû`ât karya Ibn al-Jawzî,
mencari Hadis mutawâtir ke dalam kitab al-Azhâr al-Mutanâtsirah `an
al-Akhbâr al-Muawâtirah, karya al-Suyûthî, dan lain-lain.
Beberapa metode Takhrîj di atas hanya
merupakan alternatif, seorang peneliti bisa memilih salah satu dari 5 metode Takhrîj di atas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Dengan melalui salah
satu metode di atas seorang peneliti akan mendapatkan petunjuk di dalam buku
Hadis apa saja Hadis yang diteliti didapatkan. Kemudian baru dilacak ke
berbagai buku induk Hadis dan dikeluarkan dari padanya untuk diolah dan
dianalisis matan dan sanadnya.
Penelitian Hadis bersifat normatif dan kesejarahan. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah naskah kepustakaan dan
dokumentasi yang terkait, sebagaimana
kata Cik Hasan Bisri “Dalam
penelitian normatif yang bersumber pada bahan bacaan dilakukan dengan cara
penelaahan naskah, terutama studi kepustakaan.
Dalam penelitian kesejarahan yang
bersumber pada bahan bacaan dan pelaku
sejarah dilakukan dengan cara
studi kepustakaan dan dokumentasi, serta wawancara dengan pelaku
sejarah apabila yang bersangkutan
masih hidup.”[9]
Untuk
menelaah dan mengkaji isi kandungan
buku-buku primer tersebut
digunakan teknik content
analysis (kajian isi). Hal ini didasarkan pada pendapat
Lexy J. Moleong yang mengatakan bahwa : “Untuk memanfaatkan
dokumen yang padat isinya biasanya digunakan teknik tertentu. Teknik yang
paling umum digunakan adalah content analysis atau dinamakan ‘kajian
isi.’ [10]
Metode
penelitian content analysis umumnya digunakan dalam penelitian
komunikasi. Namun, metode ini dapat digunakan
dalam penelitian pemikiran normatif. Umpamanya, penelitian
mengenai teks al-Qur’an dan
pemikiran ulama di dalam berbagai kitab
Fikh dapat menggunakan metode ini. Isi teks al-Qur’an atau pemikiran ulama tersebut dapat
dianalisis dengan menggunakan kaedah-kaedah
bahasa atau kaedah lain yang telah
dikenal seperti kaedah Fikh, Ushûl al-Fiqh, dan Manthiq[11] jika diperlukan. Untuk memahami berbagai
tulisan yang merupakan bagian dari
dokumen pemikiran seseorang yang di
dalamnya mengandung teks Hadis atau yang lain, digunakan metode content
analysis dengan menggunakan norma atau kaedah yang disebutkan para ulama
dalam `Ulûm al-Hadîts.
2. Pengolahan
data
Setelah data Hadis dapat terhimpun dari berbagai buku
induk Hadis kiranya dapat dihitung ada berapa tempat Hadis tersebut
tertulis pada masing-masing buku induk,
pada bab/kitab apa, nomor berapa, halaman berapa dan juz berapa untuk
memudahkan recheck jika diperlukan baik bagi peneliti maupun orang lain yang
berkepentingan. Kemudian data Hadis ditelaah ulang mana yang masih reliable dan valid dan mana yang tidak untuk direntangkan
sanadnya dalam bentuk seperti akar tunggang (sebutlah Akar Tunggang Sanad).
Bentuk rentangan seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam kajian
sanad di samping lebih efensiensi dan efektif karena matan Hadis hanya
disebutkan satu kali kecuali jika berbeda
dan nama seorang perawi yang terulang-ulang di berbagai sanad hanya
disebut sekali. Seluruh matan dan seluruh sanad suatu Hadis dapat terinventarisasir ke dalam Akar Tunggang Sanad dengan
menggunakan metode kongklusi
induktif atau deduktif.
Berikut
ini diberikan contoh Akar Tunggang Sanad
:
Rasulullah saw
bersabda :
Abu
Hurairah Ibn
Abbas Ibn
Umar
Muhammad bin Ziyad Ibn Hunain Nafi’ Ibn
Zaid Ibn Dinar
Syu’bah Ubaidillah Ashim
Malik
Al-Bukharî al-Nasa’î Muslim
Ibn Khuzaimah al-Syafi’i
3.
Metode analisa data
Data
Hadis yang akan dianalisis juga matan dan sanad Hadis, analisisnya disebut Kritik Hadis. Dalam analisisnya ada dua kritik Hadis, yaitu kritil matan
yang disebut dengan kritik internal (al-dâkhilî) dan kritik sanad
yang disebut dengan kritik eksternal (al-khârijî). Untuk memperjelas
permasalahan dua kritik tersebut berikuti ini akan dipaparkan penjelasannya :
1.
Kritik internal (al-dâkhilî)
Kritik
internal yakni kritik pada matan,
apakah ia bertentangan dengan ratio manusia, bertentangan dengan Hadis yang lebih kuat, atau bertentangan
dengan al-Qur’an. Para ulama telah membuat
parameter dan kaedah yang dijadikan standar penilaian apakah Hadis itu shahih,
Hasan dan dha`if. Di antaranya, kriteria matan Hadis Shahih adalah tidak
ada cacat yang tersembunyi yang disebut dengan illat dan tidak ada
keganjilan yang disebut dengan syadz.
Illat dan syâdz ini
terjadi pada matan sebagaimana pula terjadi pada sanad. [12]
Untuk mengetahui keganjilan dan cacat pada matan ulama Hadis menyebutkan
kriteria-kriteria Hadis mawdhû`, antara lain :
a. Hadis bertentangan
dengan akal dan tidak menerima ta’wil
b. Menyalahi indra dan persaksian
c. Menyalahi dalil-dalil qath`î atau Sunah Mutawâtirah
dan atau ijma` ulama serta tidak munkin
dikompromikan
d. Belebih-lebihan dalam ancaman suatu perbuatan yang kecil
atau janji pahala yang terlalu besar
terhadap perbuatan yang kecil[13].
2.
Kritik eksternal (al-khârijî)
Karitik
eksternal yakni kritik sanad. Para ulama mempersyaratkan masing-masing para periwayat
dalam sanad harus bertemu langsung (ittishâl) dengan periwayat (syeikh) di atasnya dari
awal sampai akhir sanad. Untuk menelusuri katersambungan sanad ini harus dikaji ilmu Rijâl al-Hadîts
atau Târîkh al-Ruwâh. Demikian juga para ulama mempersyaratkan para
perawi harus adil dan kuat hapalannya/dhabith. Untuk mengetahui
periwayat yang adil dhabith atau tidak disediakan regerensi tentang sifat-sifat para periwayat Hadis yang
disebut dengan Ilmu al-Jarh wa
al-Ta`dîl.
Sanad dan matan Hadis yang telah
direntangkan dari berbagai buku primer di atas, dianalisis secara kritis dengan
mengunakan metode deskriptip,
perbandingan (comparative/ muqâranah), normatif, dan kesejarahan.
a.
Analisis deskriptip
Metode
deskriptip dilakukan untuk menjelaskan semua komponen tersebut, baik yang berkaitan dengan sanad maupun
dengan matan. Tujuan pendekatan
deskriptip ini adalah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai
gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum. Pada sanad terdapat
istilah-istilah khusus yang digunakan dalam periwayatan, misalnya haddatsnâ/haddatsani,…
artinya ; memberitakan kepada kami/
saya… diinterpretasikan seorang perawi bertemu langsung dengan syeikhnya
dan seterusnya. Menurut Cohn [yang
dikutip oleh Ace Suryadi dan A.R. Tilaar] pendekatan deskriptip ini disebut
juga pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan
dalam menyajikan suatu state of the
Art atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang diteliti dan yang perlu diketahui oleh para pemakai.[14]
b.
Analisis komparatif (perbandingan)
M.
Mushthafâ al-A`zhamî mengatakan, bahwa sejauh menyangkut kritik nash atau dokumen terdapat banyak metode, akan tetapi hampir
semua metode itu dapat dimasukkan ke dalam kategori metode perbandingan (cross
reference).[15] Metode perbandingan dalam Hadis dilakukan
dengan banyak cara, antara lain:
1) Perbandingan
antara beberapa Hadis dari berbagai murid seorang guru (syekh).
2) Perbandingan
antara pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang
dikeluarkan pada waktu yang berlainan.
3) Perbandingan antara pembacaan lisan dengan
dokumen tertulis.
4) Perbandingan antara Hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan.[16]
5)
Perbandingan antara sanad dan matan untuk
mengetahui adanya keganjilan/syâdz, cacat/’illat atau tidak.
Metode
perbandingan juga dilakukan oleh para ulama Hadis ketika dihadapkan
permasalahan dua Hadis yang kontroversi (Mukhtalif al-Hadîts),
yaitu ada 4 langkah ;, komppromi (al-jam`u wa al-tawfîq), teks
Hadis belakangan menghapus hukum (nasakh) pada teks Hadis
pendahulunya jika diketahui datangnya, diambil yang lebih kuat (tarjîh
), dan ditinggalkan atau tidak diamalkan.
c.
Analisis normatif
Secara khusus pendekatan normatif untuk menganalisis pemikiran yang
berkaitan dengan kritik internal (al-dâkhilî) yakni kritik matan, di samping kritik
eksternal yakni sanad. Pendekatan normatif yang sering disebut pendekatan preskriptip merupakan upaya ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma kaedah atau
resep yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka pemecahan suatu
masalah. Tujuannya ialah agar para
pengambil keputusan memahami
permasalahan yang disoroti dari isu suatu kebijakan[17] Tolak ukur penelitian matan ialah
tidak bertentangan al-Qur’an, Hadis yang lebih kuat, akal sehat, indra, sejarah, dan susunan bahasa.[18]
Pendekatan normatif atau pendekatan
preskriptif digunakan dalam rangka pemecahan
suatu masalah (problem solveing), yaitu dengan menawarkan
norma-norma, kaedah-kaedah, dan atau resep-resep dalam dimensi rasionalitas, moralitas, kontekstualitas, dan tekstualitas
(`aqlî dan naqlî).
Kedua pendekatan deskriptip dan normatif juga digunakan untuk menjelaskan pemahaman makna Hadis yang dianggap tidak sesuai dengan zaman dan
situasi sekarang. Karena Sunah yang
salah satu fungsinya sebagai
penjelas dan interpretator al-Qur’an
memiliki universalitas makna
seperti al-Qur’an. Ia juga sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan
kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi
yang dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman.[19]
d. Analisis kesejarahan
Sedangkan pendekatan
kesejarahan secara khusus digunakan kritik terhadap pemikiran yang berkaitan
dengan kritik eksternal yaitu sanad, karena Sunah
merupakan fakta sejarah yang berkaitan dengan pernyataan, prilaku, sifat, dan pengakuan
Nabi saw. Para ahli Hadis berpendapat
bahwa studi matan Hadis dan kitab-kitab Riwâyah tidak berarti, jika tidak disertai dengan `Ilm
al–Hadîts Dirâyah, yaitu analisis
kesejarahan terhadap perkataan
dan perbuatan Rasul saw, sifat-sifat dan keadaan para periwayat (transmitter) Hadis dan
matan-nya.[20]
Demikian juga, salah
seorang guru besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas al-Azhar Thâhâ
al-Dasûqî Hubaysyî berpendapat, bahwa
analisis kesejarahan (târîkh)
merupakan keharusan bagi para peneliti dan periwayat (transmetter) Hadits, karena
tugas transmetter adalah mentransfer informasi dari
beberapa generasi, sedang tugas
peneliti adalah memeriksa sifat
dan kondisi para transmetter tersebut.
Sunah Nabi adalah event
sejarah hidupnya yang benar-benar terjadi, bukan andai-andai
logis yang menetapkan ada atau tidaknya
suatu perkara dan yang memerlukan eksperimen.[21] Sementara Sartono Kartodirdjo
menekankan: “apabila suatu penelitian masyarakat mengambil perspektif atau orientasi historis,
maka bahan dokumenter mempunyai
arti metodologis yang sangat penting.”[22]
Dengan demikian, pendekatan
kesejarahan mutlak dipergunakan
dalam penelitian Sunah karena Sunah itu
sendiri merupakan dokumentasi sejarah, baik sanad yang terdiri dari sejarah para periwayat Hadis (transmetter)
dari generasi ke generasi maupun
latar belakang matan yang merupakan materi atau isi Sunah yang
diriwayatkan.
Keempat metode analisis di atas
sangat diperlukan dalam penelitian
Sunah secara empiris setelah diadakan penelusuran data baik sanad
maupun matan Hadis melalui takhrîj,
sehingga dapat ditemukan kualitas Hadis
apakah diterima sebagai Hadis yang Shahih atau ditolak sebagai Hadis
Dha’if/lemah. Dengan demikian, ditemukan
pemahaman yang benar tentang Hadis baik
dari kedudukan Sunah sebagai sumber hukum Islam
maupun sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kemajuan.
Penutup
Studi Hadis adalah studi ilmiah awal dalam perkembangan
dunia research baik di kalangan internal umat Islam maupun eksternal umat
manusia. Studi Hadis dilatar belakangi oleh kondisi Hadis itu sendiri yang
mayoritas hanya diingat dan dihapal umat
Islam awal dari generasi ke generasi
sampai pada masa kodifikasi secara sempurna yakni pada abad ke 3 H. Pada masa inilah umat Islam
berhasil menghimpun dan menverivikasi Hadis dari para pembawa dan periwayatnya baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal secara ilmiah sampai pada pucuk
sumber Hadis yaitu Rasulillah saw.
Studi Hadis meliputi dua unhsur, yaitu unhsur isi
Hadis/matan yang biasa disebut unhsur internal
dan unhsur sanad atau para periwayat Hadis secara estafet yang
menghubungkan dari sumber berita pertama
yakni Rasulillah saw sampai kepada periwayat terakhir sebagai penghimpun dalam
sebuah buku karyanya yang biasa disebut unhsur
eksternal Hadis. Kedua unhsur tersebut saling bertalian yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi dalam menentukan keotentisitasnya.
Suatu Hadis dikatakan shahih manakala kedua unhsur ini terpunuhi
syarat-syaratnya, yaitu persambungan sanad (ittishâl al-sanad), keadilan
dan kuat hapalan para periwayat (`adl al-ruwâh wa dhabthuhum) , tidak
ada keganjilan (`adam al-syudzûdz) dan tidak ada cacat yang tersembunyi (‘adam
al-‘illah).
Studi Hadis diawali dari
pengumpulan data Hadis sanad dan matan dari para pembawanya yang
hapal pada masa awal Islam dan dari berbagai buku induk Hadis pada masa
setelah pengkodifikasian dengan menggunakan metode Takhrîj. Data Hadis
diolah dan ditelaah dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan sebagaimana dalam ilmu pengetahuan di
antaranya metode komparasi, normatif dan historis. Sejumlah buku induk Hadis seperti al-Jâmi’
al-Shahih li al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahih li Muslim dan lain-lain adalah
contoh kongkrit hasil studi para pakar Hadis awal yang secara langsung
mengadakan penelitian ke lapangan. Masih banyak Hadis yang bertebaran di
berbagai buku, kitab, majalah dan lisan
umat Islam yang belum tersingkap status dan kualitasnya. Para
pemerhati Hadis diharapkan mampu mengkaji dan meneliti Hadis-Hadis tersebut
sebagai kontribusinya terhadap umat Islam dalam melaksanakan sjaran agama islam dengan benar.
[1]
al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân (Kairo:Dar al-Kitab
al-‘Arbi,1387 H /1967 M), Juz XVII,h. 17
[2]
Syakir, Syarh Alfiah al-Suyuti fî `Ilm al-Hadîts, Bairut:Dar
al-Ma’rifah,[tth],h.90
[3]
Muhammad Ajjajal-khatib, al-Sunah Qabla al-Tadwin, (Cairo: Maktabah
Wahbah ,1383 H/1963 M), h.273-275
[4]
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang,1988M, h. 98 dan 100
[6]
Ibn al-Shalâh ,’Ulumul al-Hadîts, (al-Munawarah : al-Maktabah
al-‘Ilmiyah,1972M), h.190-192
[7]
M.Syuhudi Ismail,Kaedah Kesahihan…, h.71-72
[8]
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan …,
h.41-43
[9]
Cik Hasan Bisri (Bisri), Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan
Skripsi Bidang IlmuAgama Islam, ( Ciputat: Logos Wacana Ilmu,1998),
Cet. Ke-1, h.60
[11] Ibid.
[12] Muhammad Syuhudi Isma`il ( Isma`il ), Metodologi Penelitian Hadis Nabi, ( Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 4-5
[13]
Muhammad `Alawî al-Malikî, al-Manhal
al-Lathîf fi Ushûl al-Hadîts al-Syarîf, (Jiddah : Mathâbi` Sihr,1982), Cet.
Ke-4, h. 32
[14].
Lihat : Ace Suryadi dan A.R.Tilaar
(Suryadi) , Analisis Kebijakan
Pendidikan, (Bandung : PT Rosdakarya, 1994), Cet. Ke-2, h. 46
[15]
Muhammad Mushthafâ al-A`zhamî (al-A`zhamî ), Studies In Hadis
Methodology and Leterature, Terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992), h. 86.. Ibid. h. 87
[16]
Lihat : Mahmûd al-Thahân (al-Thahân), Taysîr Mushthalah
al-Hadîts, h.56-58 dan Al-Mâlikî al-Hasanî…, h. 165-167
[17]. Ibid.
[18]
Lihat : Shalâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî (al-Adlabî), Manhaj
Naqd al-Matn, (Beirut: Dâr al-Aflâq al-Jadîdah,1983), h.238
[19]
Yûsuf al-Qardlâwî (al-Qardlâwî), Kayf Nata’âmal ma`a
al-Sunnah al-Nabawîyah,( Mesir: Dâr al-Wafâ, 1994), Cet. Ke-7, h. 16
[20] Shubhî
Al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, Beirut:
Dâr al-`Ilm, 1969, Cet, ke-5, h. 278
[21]
Thâhâ al-Dasûqî Hubaysyî (Hubaysyî), al-Sunnah fî Muwâjahat
A`dâ’ihâ, (Cairo: Maktabah
Risywan, 1995), Cet. Ke-1, h. 163
[22]
Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo), Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-Metode
Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), Cet.
Ke-14, h.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar