PAHAM INGKAR SUNAH
DI INDONESIA
(Studi Tentang Pemikirannya)
Abdul Majid Khon [*]
Abstract
:
Paham Ingkar
Sunah Indonesia timbul dari ketidak tahuannya tentang status Sunah dalam
beragama dan tentang fungsi Sunah terhadap al-Qur’an. Semangat belajar mereka
hanya pada al-Qur’an. Tetapi sayangnya mereka sangat minim penguasaan
ilmu-ilmu dasar untuk memahami al-Qur’an seperti bahasa Arab, tata bahasa dan sastranya, ilmu-ilmu Tafsir dan lain-lain. Mayoritas
ide-ide penolakan Sunah ditransfer dari orientalis yang sengaja
menghembuskan di dunia Islam untuk menyesatkan umat. Inti pandangan mereka bahwa dalam beragama hanyalah al-Qur’an karena kesempurnaannya
sedangkan Sunah atau hadis dipandang sebagai dongeng yang diciptakan oleh
sebagian umat Islam belakangan. Mengikuti Hadis mimicu perpecahan umat yang meneybabkan kelemahan dan kehancuran umat.
Kata
Kunci : Islam Hanya al-Qur’an
Pengantar
Paham Ingkar Sunah muncul di Indonesia secara
terang-terangan kira-kira terjadi pada tahun 1980-an. Persisnya menurut
Zufran Rahman (seorang peneliti pemikiran Ingkar Sunah dan Dosen IAIN Jambi)
pada tahun 1982-1983.[1] Tetapi bukti
menunjukkan, bahwa pada 1981 paham ini sudah ada seperti yang terjadi di
Bogor pimpinan oleh H. Endi Suradi dan
1982 aliran sesat yang diajarkan H. Sanwani asal kelahiran Pasar Rumput
itu sudah berlangsung sejak November 1982.[2]
Kemungkinan besar jauh sebelum itu sudah ada penyebarannya secara
sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh orientalis di Indonesia Snouck Hourgronje. Buku-buku orientalis atau
kaki tangannya sudah bertebaran jauh
sebelumnya.
Indonesia memang
menjadi sasaran gerakan modern Ingkar
Sunah setelah India
dan Mesir. Dalam sejarah penetesan Ingkar Sunah era modern di India dalam rangka melemahkan semangat
jihad umat Islam dan menghancurkan Islam dari dalam melalui ide-ide kaum emperealis
Inggris bekerja sama dengan para tokoh-tokoh Islam India yang koperatif. Kemudian
dikembangkan lagi melalui pemikiran orientalis yang bertebaran di Mesir, karena
mereka tahu benar bahwa Mesir adalah
pusat informasi dunia Islam baik bagi yang berkedok research ilmiah yang
dituangkan ke dalam buku-buklu mereka maupun berhadapan langsung dengan para
mahasiswa maupun dosennya melalui pengajaran di al-Azhar Mesir. Gerakan
pemikiran modern Ingkar Sunah di
Indonesia menjadi target mereka setelah
Mesir, karena Indonesia
berpenduduk mayoritas Islam terbanyak di seluruh dunia Islam.
Sekitar tahun 1980-an paham pemikiran modern Ingkar Sunah Indonesia
bergerak di beberapa tempat dan pada tahun 1983-1985 mengcapai puncaknya
sehingga menghebohkan masyarakat Islam dan memenuhi halaman berbagai harian koran
dan majalah. Pusat pergerakan mereka di Jakarta
yang mendominasi jumlah pembawanya yang mayoritas, kemudian di Bogor Jawa
Barat, Tegal Jawa Tengah dan Padang Sumatra Barat.
Penyebaran paham pemikiran modern Ingkar Sunah melalui berbagai cara di
antaranya ada yang melalui pengajian di beberapa Masjid, diktat tulisan tangan,
ceramah melalui kaset, dan buku. Banyak
di antara umat Islam yang terbawa dan terpengaruh pemahaman tersebut baik
sebagai tokoh, pembantu dan pengikut.
Di antaranya ; Lukman Saad (Dirut
PT Ghalia Indonesia ), Mawardi Saad, Edria Zamora, Boni Alamsyah (ketiganya
karyawan PT Ghalia Indonesia), Ansor W.A. Gani, Husni Nasution, Imran Nasution,
Ali Sarwani Basry, Zainal Arifin, Muhammad Umar (Sekretaris BPMI), Dadang
Satiogroho (karyawan Unilever Bogor), Selamet Sumedi (Grogol), Teguh Esha
(Cipete Dalam), Dahlan (Sawangan Depok), Uas dan istrinya (Sawangan Depok),
Rohadi (Pondok Cina), H. Abdurrahman (Parung), Mahmud (manantu Abdurrahman,
Kebembem), H. Abdullah (Cileduk), H. Sanwani (Pasar Rumput), Safran Batu Bara
(Guru SMP Yayasan Waqaf Muslim Tanah Tinggi), Manirus Taka (Indo-Jerman tinggal
Depok Timur), Ishak Saleh (Cirebon), Dalimi Lubis (Sumatra Barat), [3] Nazwar Syamsu (Sumatra Barat), As’ad
bin Ali Baisa (usia 60 tahun di Tegal Jawa Tengah)[4] dan H. Endi Suradi (Bogor Jawa
Barat).
Paham Ingkar Sunah di Indonesia
terlarang beredar dengan terbitnya Keputusan
Mahkamah Agung RI No :
KEP-169/J.A/9/1983 dan Nomor :
KEP-059/J.A/3/1984. Namun, paham ini masih tetap eksis pada masa berikutnya
sampai skarang. Terkadang masih muncul paham ini secara
sembunyi di berbagai media, baik buku, Koran, bulitin dan lain-lain. Agar pemikirannya dapat ditelaah dengan baik,
artilkel yang singkat ini akan membahas
; siapa Ingkar Sunah di Indonesia ? Bagaimana pemikirannya ? Bagaimana tingkat
keingkaran mereka terhadap Sunah ?. Berikut ini akan dipaparkan secara
singkat di antara tokoh Ingkar Sunah Indonesia dan pemikirannya yang sangat
menonjol dan berperan penting dalam
sejarah.
Tokoh-Tokoh Ingkar Sunah dan
Pemikirannya
1. Ir. M Ircham Sutarto
Ir. M. Ircham Sutarto adalah
Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia di Cibubur Jawa Barat. Menurut Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar
Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang menulis diktat dengan
tulisan tangan. [5] Ircham Sutarto mempunyai peran yang
sangat besar dalam penyebaran paham Ingkar Sunah di Indonesia, karena ia
sebagai Ketua Serikat Buruh perusahaan Unilever milik orang Belanda. Sementara
itu Lukman Saad seorang Direktur PT Ghalia Indonesia
yang bergerak di bidang penerbitan dalam perkembangan berikutnya mendapatkan mesin percetakan modern untuk
mencetak buku-buku Ingkar Sunah setelah
kepergiannya ke negeri Belanda dan bolak balik ke sana. Lukman Saad berasal dari Padang Panjang Sumatra Barat, alumni IAIN
Sunan Kalijaga sampai Sarjana Muda yang mendapat gelar BA pada waktu itu.[6]
Diktat tulisan Ir Ircham Sutarto tersebut belum diberi judul karena
nampaknya masih dalam penyelesaiaan dan diktat inilah yang dijadikan
pegangan dalam mengajar dan ceramah.
Isinya tentang agama (dîn), taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dasar
pembahasannya hanya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sedang dalil selain
al-Qur’an ditolak termasuk Sunah. Tetapi baik disadari atau tidak, di samping
ia tidak sepenuhnya meninggalkan Sunah, ia lebih cenderung menggunakan dalil
akli atau pikirannya. Ketika ia berbicara
dengan lawan bicaranya dan mendengar
dalil Sunah langsung menolak dan
menutup telinga dengan tangannya. [7]
Di
antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan
dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a.
Taat kepada
Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada
jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya (M
Ircham Sutarto : 85).
b.
Allah telah
mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan al-Qur’an kepada
manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal
dalam ajaran agama ( H Ircham Sutarto : 82 & 85).
c.
Al- Qur’an
adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan kepada Rasul (M Ircham Sutarto : 52 & 85)
d.
Keterangan
al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan
keterangan yang disebut al-sunah atau hadis (M Ircham Sutarto : 58)
e.
Semua keterangan
yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis Nabipun termasuk hawa.
Karena itu tidak dapat diterima sebagai
hujah dalam agama (M Ircham Sutarto : 22)
f.
Apa yang disebut
Hadis-hadis Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang
didapat dari mulut ke mulut. Timbulnya
dari gagasan orang-orang yang hidup antara tahun 180 sampai dengan 200 setelah
wafatnya Rasul ( M Ircham Sutarto : 68 & 70)
g.
Rasul tidak ada
hak mengenai urusan perintah agama. Olehnya dibawakan ayat QS Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq) wewenang bagi kamu tentang urusan (perintah) sedikitpun”. (terjemahan
M Ircham Sutarto)
h.
Perbedaan
Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai manusia ; Apabila Muhammad
menyampaikan, membacakan mengajarkan al-Qur’an dan hikmah, di saat itu Muhammad
sebagai Rasul. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang
melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il dan
qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa. (M Ircham Sutarto : 94)
i.
Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat
wahyu, termasuk Muhammad saw. Dalilnya QS. Al-Baqarah/2 : 198
Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan
kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar orang
tersesat. (terjemahan M Ircham Sutarto: 15 & 16)
j.
Di dalam agama,
perbuatan lahiriah merupakan pelengkap
batiniah atau iman (M Ircham Sutarto: 51) [8]
2. Abdurrahman
Abdurrahman tinggal di Pedurenan, Kuningan, Jakarta. Seorang mantan Persis (Persatuan Islam) berusia 30 tahun pada tahun 1983.[9] Dia giat mengajar dan ceramah di beberapa tempat sekitar Jakarta
dan jamaahnya di antar dan dijemput dengan kendaraan mobil. Beberapa masjid di Jakarta ia kuasai salah satu di antaranya
Masjid Asy-Syifa di Rumah Sakit Pusat
Cipto Mangunkusumo. Salah satu Rumah Sakit
yang menyatu dengan Universitas Indonesia
dan menjadi tempat praktek Fakultas
Kedokteran. Pengajian dimulai setelah shalat Maghrib sampai dengan waktu Isya
tiba. Di antara ajarannya :
a. Tidak ada dzan dan tidak ada iqamat pada saat akan menjalankan shalat wajib dengan alasan tidak
ada perintah dalam al-Qur’an.
Senada dengan pengajaran Abdurrahman Ust. H. Sanwani yang berasal dari
Pasar Rumput Jakarta pernah aktif di NU tetapi kemudian menyebrang ke paham
Ingkar Sunah.[11] Dia seorang guru masyarakat setempat
dan mengajar di Masjid al-Burhan di
proyek Pasar Rumput Jakarta Selatan. Pengajarannya sebagaimana Abdurrahman
seorang pengajar di Masjid Asy-Syifa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di antara
ajarannya sebagai berikut :
a. Tidak ada adzan
dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib
b. Seluruh salat
masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c. Puasa Ramadhan
hanya dilaksanakan bagi yang melihat bulan saja berdasarkan QS. Al-Baqarah/2 : 185. “ Karena itu barang siapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Mereka memahami ayat ini bahwa yang wajib
berpuasa adalah yang melihat bulan saja,
bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka
tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya.[12]
Paham Ingkar Sunah yang dikembangkan oleh Abdurrahman dan
pengikut-pengikutnya dan buku tulisan Moch. Ircham Sutarto akhirnya dilarang
beredar Jaksa Agung RI Keputusan No :
KEP-169/J.A/9/1983 yang ditanda tangani oleh Ismail Saleh, SH dengan alasan
keresahan masyarakat, mengganggu keamanan dan ketertiban umum, merusak
kerukunan internal umat beragama dan menggoyahkan persatuan. Demikain juga
Keputusan Komisi Fatwa MUI 27 Juni 1983
M/ 16 Ramadhan 1403 H yang memutuskan kesesesatan Ingkar Sunah.
Setahun kemudian Jakasa Agung
RI mengeluarkan keputusannya
dengan Nomor : KEP-059/J.A/3/1984 yang melarang peredaran kaset suara hasil
produksi PT. Ghalia Indonesia Recording
yang memuat ajaran Ingkar Sunah.
3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
Dalimi Lubis
salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan
IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar
Sunah Indonesia) dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra
Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah dilakukan
melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang
direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia.
Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis tentang penghujatan terhadap perawi
Hadis Abu Hurairah dimuat di Suara
Muhammadiyah No. 05/80/1995.[13] Judul buku-buku karyanya antara lain
; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam Islam Hanya al-Qur’an Saja.
Nazwar Syamsu seirama dengan Dalimi Lubis lebih banyak menulis beberapa buku berpaham Ingkar Sunah dan
ceramah melalui kaset. Ada 14 judul lebih
buku dan ceramahnya yang dicetak dan direproduksi PT Ghalia
Indonesia sebagaimana yang tertera dalam
Keputusan Jaksa Agung dan judul-judul lain yaitu ; Isa dan Venus al-Qur’an dan Benda Angkasa,
al-Qur’an dan Sejarah Manusia (Penerbit Pustaka Sa’diyah Padang Panjang), Haji dari Segi Geologi dan Sosiologi.[14]
Bahkan
menurut Koran Terbit terdiri 23 judul
kaset yang mendapat rekomendasi dari Depag RI No. ND/314/83 antara lain Menghayati
Hukum Agama, Mematuhi Hukum Allah, Iman dan Islam, Akhirat, Hal Mati dan Siksa
Kubur, Asala Muasal Manusia, Isa al-Masih dan Antar Planet, Adam dan Antar
Planet, dan lain-lain.[15]
Isi Kaset yang berjudul Mematuhi Hukum Allah dan kaset lain antara lain :
a. Hadis yang palsu dan dipalsukan. Sebagian besar hadis itu palsu dan
dipalsukan maka timbullah pertentangan atau khilafiah di antara masyarakat Islam. Dalam hal ini Yahudi berhasil tipu muslihatnya.
b. Ahlussunah Wal Jamaah hanya penamaan saja, orang-orang Islam kini
tidak dapat data pasti tentang mereka.
Mengikuti mereka berarti membenarkan khilafiyah. Ahlussunah yang dimaksud empat
madzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi, berdasarkan Hadis Nabi ini gagal
menjadi dasar hukum Islam. [16]
c. Manusia pertama bukan laki-laki dan bukan Adam melainkan seorang
wanita yang tidak diketahui namanya. Manusia pertama itu tidak dijadikan dari
tanah melainkan dari meteor, kemudian ia melahirkan seorang anak laki-laki dan kemudian kawin
dengan anaknya itu. Mereka berdiam di planet Muntaha dan berkembang biak di sana, sehinghga suatu saat
Tuhan memindahkan sepasang dari mereka ke bumi ini dan seterusnya.[17]
Nazwar Syamsu
juga telah menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an 30 juz yang menyesatkan. Di antara
contoh sebagaimana yang dikutip M Amin Djamaluddin, adalah sebagai berikut :
a. QS. Al-Baqarah/2 : 63 :
“Kami angkatkan aurora
di atasmu” (Aurora seperti pelangi atau benda terbang
mengkilap produksi Israil)
b. QS. Ali Imran/3: 136 :
“Dan surga-surga yang
bergerak siang-siang di bawahnya”.
c. QS. Ali Imran/3 : 181
“serta pembunuhan mereka atas
pengkabaran-pengkabaran tanpa hal logis”
Dan masih banyak ayat-ayat atau kalimat yang ditafsirkan secara
menyimpang dengan menggunakan logika belaka semata tidak menggunakan penafsiran
yang mu’tamad sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.
Akhirnaya Jaksa Agung RI mengeluaran Keputusannya dengan Nomor : KEP-085/J.A/9/1985 yang
melarang peredaran barang-barang cetakan/buku-buku karangan dan rekaman
kaset-kaset suara susunan Nazwar Syamsu
dan Dalimi Lubis yang ditanda tangani oleh Jaksa Agung Ari Suharto, SH. Judul
buku-buku dan rekaman kase suara susunan Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis yang
tertera dalam keputusan ini sebagai berikut :
a. Terjemahan (Tafsir) al-Qur’an Jilid I dan II
b. Tauhid & Logika, al-Qur’an
tentang Manusia dan Masyarakat
c. Tauhid & Logika, Manusia dan Ekonomi
d. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang al-Insan
e. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang Mekkah dan Ibadah haji
f. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang Shalat, Puasa dan Waktu
g. Tauhid & Logika, al-Qur’an
Dasar Tanya Jawab Ilmiah
h. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentangPelengkap al-Qur’an Dasar Tanya
Jawab Ilmiah
i. Tauhid & Logika, al-Qur’an
dan Sejarah Manusia
j. Tauhid & Logika, Perbandingan Agama (al-Qur’an dan Bibel)
k. Kamus al-Qur’an (Diktionari)
l. Koreksi
terjemahan al-Qur’an Bacaan Mulia HB. Yasin karangan Nazwar
Syamsu dan
m. Alam
Barzah(Alam Kubur) karangan Dalimi Lubis
Keputusan Jaksa Agung mewajibkan kepada yang menyimpan, memiliki,
mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, mengedarkan, memperdagangkan dan
mencetak kembali barang-barang cetakan/buku-buku dan atau kaset-kaset suara
tersebut untuk menyerahkan kepada Kejaksaan Negeri/ Kejaksaan Tinggi setempat.
Sekalipun sudah ada keputusan Pemerintah
RI untuk melarang peredaran
buku-buku tersebut atau kaset-kaset rekaman ceramah tersebut tidak menghentikan
kegiatan mereka pada tahun 1986 berikut nanti di Tegal Jawa Tengah masih cokol
muncul kembali yang dipimpin oleh As’ad bin Ali Baisa dan 1988 di Bogor
dipimpin oleh H. Endi Suhardi.
4. As’ad bin Ali Baisa
As’ad bin Ali Baisa berusia sekitar 60 tahun pada tahun 1986 tinggal di
Jalan Delima Desa Pepedan komplek Masjid
Nurul Huda Kec. Dukuhturi Tegal Jawa Tengah. Asal orang ini berketurunan Arab asli dan pernah mendapat
pendidikan agama di sejumlah sekolah Islam di Indonesia. Dia telah memiliki
kader dan pengikut sebanyak 20 orang. Kelompok ini juga mempunyai organisasi
pengurus penyebaran ajaran dengan nama ISC (Islamic Study Club).
Kegiatan ajaran agama yang dikembangkan cukup meresahkan masyarakat Tegal
sekitarnya setelah mereka dengan berani menyatakan diri ingkar terhadap Sunah-Sunah Nabi Muhammad saw dan hanya berpegang kepada al-Qur’an saja.
Di antara ajarannya ialah sebagai berikut :
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan 4 rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena
sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid
harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul
mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan
buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja. [18]
5. H. Endi Suradi
H. Endi Suradi tinggal di Kamp. Panca Marga Dermaga Bogor Jawa Barat. Pekerjaannya sebagai
seorang guru yang dan Pimpinan aliran Ingkar Sunah. Aliran sesat ini sudah
dimulai sejak 1981. Pengajiannya diselenggarakan setiap hari Minggu yang
dihadiri terdiri dari kaum pria dan wanita dengan berbagai tingkat golongan
usia. Mula pertama menurut utusan yang menyamar menjadi pengikut, H. Endi mempunyai pengikut sekitar 80 orang terdiri dari 40 pria tua dan muda, 30 wanita tua dan muda dan 10
orang anak-anak. Materi pengajiannya
yang dibahas al-Qur’an dengan metode
ceramah. Al-Qur’an ditafsirkan menurut
faham logika sendiri sepotong-sepotong. Dalam menerangkan arti ayat-ayat
al-Qur’an hanya berdasarkan pemahaman sendiri dalam arti tidak mau mengikuti kaedah-kaedah yang
berlaku umum bagi umat Islam. Nampaknya dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an
masih bersifat tebak-tebakan atau karena
dia sendiri bukan seorang yang faham dan mengerti bahasa Arab dan agama.[19]
Ajarannya membuat keresahan umat Islam. Koordinator Pembrantasan Aliran
Ingkar Sunah Indonesia M Amin Djamaluddin di Jakarta bekerja sama dengan BKSPP
(Badan Kerja sama Podok Pesantren) Jawa Barat KH. Soleh Iskandar yang telah
lama memantau aliran ini melapor dan minta pertanggung jawaban Pemerintah untuk
menghentikan dan melarang kegiatan aliran tersebut melalui Departemen Agama dan
MUI Bogor.
Di antara ajarannya sebagai berikut :
a. Semua shalat lima waktu hanya dilakukan
dua rakaat dan sujudnya dalam setiap rakaat hanya dilakukan satu kali
sujudan dengan alasan mengikuti
shalatnya Nabi Ibrahim.
b. Nabi Muhammadpun
shalatnya mengikuti cara Nabi Ibrahim dengan berpedoman pada dalil al-Qur’an
Surah al-Nisa/4 : 101-103
c. Rukun Islam lima tidak berfungsi apa-apa yang penting
adalah pemahaman al-Qur’an, karena al-Qur’an mencakup segalanya.
d. Syahadat tidak
perlu diucapkan yang penting adalah pemahaman al-Qur’an, dengan memahami
al-Qur’an seseorang dianggap muslim.
Demikian juga shalat diwajibkan bagi yang paham al-Qur’an, bagi yang
tidak paham al-Qur’an tidak wajib shalat.[20]
Demikian pikiran para Pengingkar Sunah di Indonesia yang pada umumnya
menolak Sunah secara keseluruhan.
Secara umum
pokok-pokok ajaran Ingkar Sunah Indonesia
antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
1.
Tidak mengakui
dua kalimat syahadat
2. Tidak mengakui
shalat 5 waktu dan adzan iqamat setiap waktu
3. Tidak mengakui
adanya shalat Idul Fithri, Idul Adha dan shalat terawih
4. Menghilangkan
shalat berjamaah setiap waktu
5. Tidak ada
kewajiban puasa Ramadhan, zakat fithrah dan shalat jum’at
6.
Orang mati tidak
boleh dimandikan, dikafankan dan dishalatkan
7.
Allah dan Rasul
manunggal (dwi tunggal) mengikuti Hadis Nabi haram
9. Dan lain-lain.
Analisis Pemikiran Ingkar Sunah
Analisis
pemahaman dan pemikiran Ingkar Sunah akan difokuskan pada pokok-pokok pikiran
yang penting saja mengingat banyaknya pemikiran tetapi dapat disimpulkan intinya
adalah Islam hanyalah al-Qur’an, Nabi tidak berhak menjelaskan al-Qur’an dan Hadis-hadis yang beredar ini palsu.
Analisis akan difakuskan pada
tiga hal ini :
1. Islam
hanyalah al-Qur’an
Islam memang dapat dikatakan hanyalah al-Qur’an karena kesempurnaan kandungannya.
Al-Qur’an mengandung segala sesuatu,
tetapi keterangannya secara global dan yang pokok-pokok saja. Sedang penjelasan secara terperinci adanya dalam
Hadis. Penjelasan Sunah tidak berarti
mengurangi kesempurnaan al-Qur’an sedikitpun, justru menambah dan memperkokoh
kesempurnaannya.
Sesuatu hal yang tidak dapat diingkari oleh akal sehat
adalah keintegrasian Sunah kedalam
al-Qur’an, karena yang memberikan informasi bahwa ini kalam Allah
adalah perkataan Nabi saw yang disebut dengan Sunah. Jikalau perkataan
Rasul ini tidak dapat dijadikan hujah, maka tidak mungkin terealisasi kemukjizatan al-Qur’an. Demikian juga dalam mengetahui rincian jumlah rakaat salat
fardu, ukuran minimal wajib zakat (nishâb) dan lain-lain, tanpa Sunah
sulit memahami dan melaksanakan kandungan al-Qur’an. Dengan
demikian kehujahan Sunah adalah
merupakan keharusan dalam agama (dlarûrîyah
dînîyah ).
Al-Qur’an perintah mengikuti Nabi, banyak ayat-ayat yang menunjukkan hal
itu, misalnya QS. Al-Hasyr /59 : 7
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah
Bagaimana cara
mengikuti Nabi ? Tentunya dengan
mempelajari Sunah dan mengamalkannya. Jika seseorang konsisten mengamalkan
al-Qur’an berarti ia mengamalkan Sunah. Sunah Nabi sebagai sumber hukum
Islam setelah al-Qur’an dan selalu
berintegrasi dengan al-Qur’an. Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa Sunah, sebagaimana syariat
tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan
kepada Sunah. Para sahabat menerima langsung penjelasan Nabi tentang
syariat yang terkandung dalam al-Qur’an baik dengan perkataan, perbuatan dan
ketetapan beliau yang disebut dengan Sunah itu. Demikian juga umat Islam
setelahnya, tidak mungkin dapat memahami
hakekat al-Qur’an, kecuali harus kembali kepada Sunah. Oleh karena itu umat Islam dahulu dan sekarang sepakat
(kecuali kelompok minoritas), bahwa
Sunah Rasul baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuannya sebagai salah
satu sumber hukum Islam dan seseorang tidak bisa melepaskan Sunah untuk mengetahui halal dan haram.
Memahami al-Qur’an yang benar tentunya
diperlukan penguasaan bahasa Arab dan tata bahasa Arab yang baik, tidak asal
bunyi dan tidak asal diartikan menurut logikanya sendiri. Jika
diperhatikan pemikiran Ingkar Sunah di atas
ditemukan berbagai kekacauan
dalam memahami Islam, baik dari segi terjemahan teks al-Qur’an,
pemahaman dalil teks, kontekstualitas ayat
maupun dari segi konsistensinya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
tidak memahami bahasa Arab dan tata bahasa Arab, tidak paham Ulumul Qur’an,
Asbab al-Nuzul dan ilmu-ilmu lain sebagai perangkat pemahaman ayat-ayat
al-Qur’an dan penafsirannya. Misalnya
beberapa ayat berikut ini :
a.
Penerjemahan QS. QS Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah
ada (haq) wewenang bagi kamu tentang
urusan (perintah) sedikitpun”.
Terjemahan M Ircham Sutarto di
atas menggambarkan bahwa ia memahami al-Qur’an hanya sepotong-potong tidak
melihat kontek kalimat sesudah dan sebelumnya. Mari kita lihat ayat sebelum dan
sesudahnya ayat : 127-128
(Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bantuan itu) untuk
membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka
hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau
mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Konteks ayat berkaitan dengan urusan orang-orang kafir yakni Nabi tidak ada
urusan dengan mereka orang-orang kafir bukan berkaitan dengan perintah Allah.
Pemaknaan ayat hendaknya dikaitkan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya,
sebagaimana disebutkan sebelumnya kata ; الَّذِينَ
كَفَرُوا dan disebutkan pula setrelanya dhamir jamak ; أَوْ
يَتُوبَ عَلَيْهِمْ . Di sini jelas maknya berkaitan dengan urusan orang
kafir, bukan berkaitan dengan perintah Allah.
Terjemahan Ircham Sutanto kelas terjadi penyimpangan pemahaman yang ingin memisahkan antara Nabi dari Tuhan aatu
antara Hadis dengan al-Qur’an.
b. Terjemahan
QS. QS. Al-Baqarah/2 : 198 yang dipahami Muhammad saw telah tersesat sebelum
mendapat wahyu :
Dan ingatlah
kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat.
Pada ayat di atas jelas menggunakan khithab dhamir jama yakni kamu
orang banyak (Nabi dan para sahabat yang
sedang melaksanakan ibadah haji) bukan hanya Nabi Muhammad. Memang Nabi
Muhammad bagian dari mereka dan Nabipun tidak mengetahui cara-cara ibadah haji
dan syariah Islamiyah sebelum ada petunjuk wahyu dari Allah. Sebagaimana pula
dalam QS. al-Dhuha/93 : 7
Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Tetapi bagi Nabi Muhammad makna kata “Dhâll” di sini
tidak mengetahui syariah Islamiyah sebelum mendapat pertunjuk wahyu bukan
berarti lawan dari hidayah [22]
seperti kekufuran, kemusyrikan dan
kemaksiatan sebagaimana dibuktikan dalam
sejaran, bahwa Nabi tidak pernah
melakukan hal-hal tersebut.
Abû Zahw seorang
ulama al-Azhar membagi wahyu menjadi dua bagian yaitu :
1) Wahyu al-matlû
; wahyu yang
dibacakan yaitu al-Qur’an yang
disampaikan Jibril kepada Nabi
saw baik secara lafaz dan maknanya dalam
keadaan berjaga.
2) Wahyu ghayr
al-matlû ; wahyu yang tidak
dibacakan yaitu Sunah Nabi saw yang disampaikan Jibril
atau lain, baik dalam
keadaan berjaga atau
tidur.[23]
Baik
al-Qur’an maumpun Hadis adalah wahyu dari Allah swt. Nabi tidak mengetahui
sesuatu malainkan setelah mendapat wahyu dari Allah. Banyak sekali hadui-hadis yang
menjelaskan malaikat Jibril bertemu
bengan Nabi dan menyapaikan wahyu selain al-Qur’an yang tidak mungkin
diesbutkan pada artikel yang terbatas ini.
c. Terjemahan Nazwan Syamsu . QS. Al-Baqarah/2 :
63 :
“Kami angkatkan aurora
di atasmu” (Aurora
seperti pelangi atau benda terbang mengkilap produksi Israil)
Kata “rafa’nâ
fi’il muta’addi maknanya “Kami angkat”
bukan Kami agkatkan seperti memuta’adikan fi’il muta’addi. Sedang
kata “al-thûr” diartikan aurora Auro seperti pelangi atau
benda terbang mengkilap produksi Israil.
Suatu terjemahan yang aneh dan
mengada-ada, terjemahan yang hanya dipahami secara logika sok tahu saint
bikinan Israil kalau hal itu benar
produksi Israil atau adanya pendekatan dengan Israil.
. QS. Ali
Imran/3: 136 :
“Dan surga-surga yang
bergerak siang-siang di bawahnya”.
Terjemahan
ini menunjukkan ketidak tahuan seorang
penterjemah tentang tata bahasa Arab ada
fi’il mudhari’ tidak jelas mana fa’il-nya. Ketika al-anhâr
diartikan sungai-sungai memang layak menjadi fa’il karena ia kata benda,
tetapi ketika ia diartikan siang-siang menunjukkan katerangan waktu (zharaf
zaman), hpemaknaan ini juga tidak
benar karena ia marfû’ tidak manshûb.
QS. Ali Imran/3 : 181
“serta pembunuhan mereka atas
pengkabaran-pengkabaran tanpa hal logis”
Penyimpangan di sini kata al-anbiyâ
diartikan pengkhabaran, padahal jelas ia jamak dari kata ”Nabiy”.
Pengkhabaran dalam bahasa Arab al-Anbâ jama dari kata Naba’ bukan
al-Anbiyâ’.
Terjamahannya
hanya sekedar dari pemaknaan bahasa yang sangat
minim penguasaannya. Kemampuan mereka dalam berbahasa Arab diragukan.
Bagaimana mereka mengaku bahwa Islam
hanya al-Qur’an sementara
mereka tidak mengetahui bahasa Arab serta tata bahasanya dengaan baik ?
Bukankah pemahaman mereka akan menghancurkan Islam ? Mereka dari kalangan bukan ahli agama dan bukan alumni sekolah agama.
Mereka baru tahap mau belajar agama, tetapi sayangnya mereka mengklaim dirinya
ahli agama dan secara eksklusif merasa
paling benar sendiri sedangkan apa yang
dipahami oleh meyoritas umat Islam dipandang suatu kesesatan yang besar.
2.
Nabi Tidak Berhak Menjelaskan al-Qur’an
Penjelasan Nabi terhadap makna al-Qur’an
diperintah al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Nahl/16 : 44
Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka supaya mereka memikirkan)
Ayat ini jelas Allah perintah kepada Nabi
untuk menjelaskan makna al-Qur’an kepada manusia, sementara Ingkar Sunah
melarangnya, apa maksud pernyataan mereka bahwa Islam hanyalah al-Qur’an. Malah
tidak ada sepotong ayatpun yang perintah Ingkar Sunah agar menjelaskan
al-Qur’an.
Penjelasan Sunah sangat diperlukan untuk
memahami kandungan al-Qur’an. Nabi seorang penerima wahyu tentunya lebih paham tentang makna kandungan
al-Qur’an. Al-Qur’an perintah salat, zakat, puasa haji akan tetapi tidak
menjelaskan bagaiman cara melaksanakan semua itu. Bilangan rakaat salat, waktunya, jumlah salat yang diwajibkan,
syarat dan rukunnya, salat-salat sunah, dan
lain sebagainya dijelaskan Sunah. Demikian juga ibadah dan perintah-perintah
lain.
Al-Qur’an menjelaskan segala
sesuatu secara global dan dasar-dasarnya baik dalam urusan agama dan dunia. Lantas
perinciannya dijelaskan oleh Sunah, sehingga al-Qur`an mampu menjawab segala
persoalan yang timbul seiring dengan perkembangan zaman. Penjelasan Sunah terhadap al-Qur`an tidak mengurangi
kesempurnaan kandungan al-Qur`an, justru menunjukkan keunggulan dan
kesempurnaan yang mengandung mukjizat.
Semua ulama mengakui adanya hubungan bayân
Sunah terhadap al-Qur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka pergunakan.
Misalnya Ahl al-Ra’yi berpendapat penjelasan Sunah terhadap al-Qur’an terbagai
menjadi 3 hal, yaitu ; bayân taqrîr (memperkuat), bayân tafsîr
(menjelaskan yang sulit), dan bayân tabdîl atau nasakh ( mengganti atau menghapus).[24] Imam Malik
membagi ada 5 bagian, yaiyu : bayân taqrîr, bayân tawdhîh (bayân
tafsîr), bayân tafshîl (penjelasan terteperinci), bayân basthî/
bayân ta’wîl (keterangan yang panjang lebar), dan bayân tasyrî`
(menciptakan hukum). [25] al-Syâfi`î
menetapkan 5 bayân, yaitu ; bayân tafshîl, bayân takhshîsh
( mengkhususkan), bayân ta`yîn (menetapkan satu makna dari dua atau
lebih ), bayân tasyrî`, dan bayân nasakh. Sedangkan Imam Ahmad
bin Hanbal dalam hal ini sepaham dengan
al-Syâfi`î. Imam Ibn al-Qayyim dalam kitab A`lâm al-Muwaqqi`în
sebagaimana yang dikutip Ash-Shiddieqy menjelaskan pendapat Imam Ahmad, ada 4
penjelasan, yaitu : bayân ta’kîd, bayân tafsîr, dan bayân
tasyî`, dan bayân takhshîsh serta bayân taqyîd
(memberikan batasan yang mutlak). [26]
Sunah
selalu seirama dengan al-Qur’an yang
berfungsi sebagai penguat (muakkid), penjelas (mubayyin)
dan interpretator (mufassir) ayat-ayat al-Qur’an yang tersembunyi maknanya, dengan penjelasan yang terperinci
dari keterangan ayat-ayat yang global (tafshîl al-mujmal), memberikan batasan keterangan ayat-ayat
al-Qur’an yang bebas ( taqyîd
al-muthlaq), mengkhususkan yang umum (takhshîsh al-`âmm), dan
menjelaskan hukum yang belum disebutkan
dalam al-Qur’an.[27] Keduanya
sebagai wahyu yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Para
ulama sepakat bahwa Nabi bersifat ma`shûm.
Artinya terjaga dari perbuatan dosa besar dan dari kebohongan
dalam menyampaikan risâlah
wahyu dengan dalil mukjizat. Demikian juga, Nabi dijaga dari perbuatan
yang merendahkan pangkat kenabian,
seperti akhlak yang rendah dan
lain-lain, dari kesalahan dan lupa menurut pendapat yang shahîh[28]
3.
Hadis atau Sunah
yang beredar palsu
Sebagian Hadis memang ada yang palsu,
tetapi masih banyak Hadis yang shahih bahkan banyak pula Hadis mutawartir.
Hadis yang dijadikan hujah atau dasar dalam beragama adalah Hadis shahih dan
mutawatir, bukan Hadis palsu. Para ulama ahli Hadis telah meneliti Hadis-hadis yang
beredar di berbagai kitab Hadis dan telah ditemukan manaa Hadis yang shahih dan
mana yang maudhu’. Hadis maudhu’pun
telah dihimpun dalam satu buku sehingga
umat mengetahui dan membedakan antara maudhu’ dan yang bukan maudhu’.
Keterbelakangan masa kodifikasi Sunah karena
perhatian umat Islam awal kepada al-Qur’an yang baru dikodifikasikan pada masa
Utsman bin Affan. Sejak awal Sunah juga sangat diperhatikan para sahabat baik melalui praktek dalam kehidupan, penulisan, dan hapalan mereka yang sangat kuat. Tidak
ada seorang penelitipun yang menilai Sunah ternodai kepercayaannya pada abad
pertama. Kemudian para ulama
abad berikutnya telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan sangat teliti
dalam mengkritik periwayatan baik matan atau sanad-nya sehingga
dapat dibedakan mana yang shahîh dan mana yang tidak shahîh,
untuk dikodifikasikan.
Dalam periwayatan matan Hadis para ulama mempersyaratkan harus
disertai dengan sanad[29], agar orang tidak berbohong
mendengar Hadis dari Rasulillah atau tidak sembarangan meriwayatkan Hadis
kecuali diyakini kebenaraannya dari Rasulillah. Sanad ini sangat penting
dalam ilmu Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral
tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad.
Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas Hadis pada masa Nabi
tidak tertulis sebagaimana al-Qur’an dan diterima secara individu (âhâd)
tidak secara mutawâtir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara
ingat-ingatan dan hapalan para sahabat yang andal. Di samping hiruk pikuk para
pemalsu Hadis yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu tidak semua Hadis
dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan,
di antaranya disertai sanad yang dapat dipertangung jawabkan keshahihannya.
Sanad merupakan salah satu neraca yang
menimbang shahih atau dha`if-nya suatu Hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad
ada yang fasik atau yang tertuduh dusta
atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), dha`îf-lah Hadis tersebut sehingga
tidak dapat dijadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa Hadis
tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (murû’ah),
dan memiliki daya ingat yang kredibel,
sanadnya bersambung dari satu
periwayat kepada periwayat lain sampai
kepada sumber berita pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.
Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad
dalam periwayatan Hadis. Umat dahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci
mereka yang juga tidak ditulis pada masa Nabinya tidak disertai sanad.
Pada hal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabinya. Kitab suci mereka
ditulis berdasarkan ingatan beberapa
generasi yang dinisbatkan kepada para rasul Nabi Isa yang tidak disertai dengan
sanad. Menurut Dr. Maurice Bucaille, « Dalam
karangan-karangan yang ditulis pada permulaan sejarah agama Kristen, Injil baru
disebutkan lama sesudah surat-surat
Paulus. Bukti-bukti tentang adanya Injil baru terdapat pada pertengahan abad II
M dan lebih tepat lagi sesudah tahun 140
M »[30]
Secara
ilmiah periwayatan Hadis lebih otentik dan dapat dipertanggung jawabkan
otentisitasnya dilihat dari metodologi penelitian yang mereka gunakan. Sanad
adalah sebagai bukti dan sakti atas kebenaran
Sunah dari Rasulillah saw.
Kesimpulan
Perkembangan
Ingkar Sunah Indonesia melebihi batas
kewajaran rasionalisasi atau modernisasi
pemahaman Hadis, tetapi lebih kepada penolakan Sunah secara hakiki yakni
menolak Sunah sebagai dasar beragama secara keseluruhan. Amalan ibadah yang berbau Sunah dan tidak
secara eksplisit mereka hilangkan seperti adzan Mereka hanya mengakui
al-Qur’an saja dalam beragama, tetapi kurang baik dalam memahami al-Qur’an.
Hal ini karena keterbatasan mereka dalam
penguasaan bahasa Arab dan tata bahasanya, di samping tidak mengenal ilmu-ilmu dasarnya seperti Ulumul Qur’an atau
Ulumut Tafsir, sastra bahasa Arab, Ulumul Hadis dan lain-lain. Tingkatan Ingkar Sunah seperti ini sangat
berbahaya dalam beragama, karena
petunjuk Hadis dalam memahami al-Qur’an
ditolak, sementara kemampuan
memahami al-Qur’an sangat minim.
Akibatnya, al-Qur’an dipahami dengan
semau pendapat mereka sendiri tanpa
mengacu kepada penjelasan Nabi dalam Hadis atau mengacu kepada kitab-kitab
Tafsir yang mu’tabar. Dengan demikian
bisa jadi sesungguhnya mereka meninggalkan keduanya yakni al-Qur’an dan
hadis atau pemahamannya akan
menghancurkan Islam dari dalam.
[*][*] Dosen Hadis dan Ilmu Hadis Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[1] Zufran Rahman,
Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber
Hukum Islam (Jawaban Terhadap Ingkar
Sunnah), Jakarta : CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995, Cet. Ke-1, h. 162
[2] M Amin Djamaluddin , Bahaya Ingkar Sunah,
, h. 64 dan 123 lihat juga
Harian Terbit, 6 Juni 1983 dan 13
januari 1988.
[3] M Amin D, Bahaya…, h. 26
[5] Hartono Ahmad Jaiz,
Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2004, Cet. Ke-2, h. 30
[6] Ibid. h. 30-31
[7] Ahmad Husnan, Gerakan Inkar as-Sunnah dan
Jawabannya, Jakarta: Media Da`wah,
1995, Cet. Ke-3, h. 8
[8] Ahmad Chusnan, Gerakan Inkar… h. 9-11
[9] Majalah Tempo, 18 Juni 1983 dan M Amin, Bahaya…,
h. 66
[10] Hartono, Aliran…, h. 29
[11] Majalah Tempo, 18 Juni 1983 dan M Amin, Bahaya…,
h. 66
[12] Hartono, Aliran …, h. 29-30
[13] M Amin D, Bahaya…, h. 127-128 dan pelita, 1
Mei 1995
[14] M. Amin D, Bahaya…, h. 84-85 dan terbit 24
Maret 1984
[15] M. Amin D, Bahaya…, h. 78-79 dan Terbit,
Minggu ke-3 Pebruari 1984
[16] Ibid.
[17] M. Amin, Bahaya …, h. 86-87 dan Sinar Pagi, 27
April 1984 Demikian di antara isi kaset Ingkar Sunah menurut keterangan Ketua MUI DKI KH. Abdullah
Syafi’i
[18] M Amin D, Bahaya…, h. 94 dan Harian Merdeka h.
6, 10 Oktober 1986
[19] M Amin D, Bahaya…, h. 123-124 dan Harian
Terbit, 13 Januari 1988
[20] Ibid. h.124
[21] M Amin D, Bahaya…, h. 48-69
[22] M Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafâsîr, Beirut : Dâr al-Fikr, tth. juz 3, h. 573
[23] Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn,
h. 14-15 dan al- Qardlâwî, Kayf Nata`âmal ma`a
al-Sunnah al-Nabawîyah, h. 37
[24] M. Hasbi As-Shiddieqy (Ash-Shiddieqy), Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, Cet. Ke-6, h. 179-182
[25]
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar… , h. 183-186
[27] Lihat : QS. Al-Nahl / 16: 44, al-Malikî,
al-Manhal al-Lathîf…, h. 12-15, dan al-Salafî, al-Sunnah Hujjîyâtuhâ…,
h.97-129
[28] al-Syawkânî
(w. 1250 H), Irsyâd alFuhul ilâ Tahqîq al-Haq min `Ilmi al-Ushûl, Beirut : Dâr al-Sya`ab al-`Ilmîyah, 1999, Juz 1, h. 161dan 162, Abd al-Rahmân, al-Sunnah
Ghâyah al-Wushûl…, h. 31, dan `Abd
al-Khâliq, Hujjîyat al-Sunnah, h. 279.
[29] Sanad ; para perawi (transmitter) Hadis
secara berantai dari penghimpun (kolektor) sampai kepada Rasulillah. Sedang matan
; isi berita yang disadarkan kepada Rasulillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar