Senin, 03 September 2018

Metode Penelitian Hadis



METODE PENELITIAN HADIS
Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag[†]
                                                      
Abstact :
 The method of  Hadis study was preceded by collection  of Hadis data from  rawi ( narrator of Hadis) directly and also many main Hadis books after coding, among of them al-Jâmi’ al-Shahîh li al-Bukhari,  al-Jâmi’ al-Shahîh li-Muslim, Sunan Abu Dawud, Jâmi’al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’î, Sunan Ibn Majah and Musnad Ahmad. It will be  easear  if we use  Takhrîj method. The object of this study  includes two elements are sanad (Hadis eksternal study) and matan ( Hadis internal study). Both of these elements can’nt  be separated  because it will give  some effects  to the outhenticity of Hadis. To analyzie these elements, we can use the analysis of content method, the comparation method, the normative method and historical method with a quality of Hadis shahih standard approach. It  is connected sanad, the equitable narrators and have good memory, not any strangers and hidden defects. Finally, there are Hadis shahih (accepted Hadis) or Hadis dha’if (rejected Hadis).    
Kata Kunci :  takhrij, kritik internal, kritik eksternal

Pengantar
            Ada dua bentuk obyek dalam studi  Hadis. Pertama ; studi  matan/ isi/ content Hadis. Kedua ; studi sanad/ estafetas  personal  periwayat Hadis  dari masa timbulnya yakni pada masa Nabi saw sampai dengan masa kodifikasinya yakni abad ke-2 atau ke-3 Hijriyah. Kedua bentuk studi  tersebut saling berkaitan, karena content Hadis dapat dianggap valid manakala disertai dengan silsilah sanad yang valid pula. Studi  pertama biasanya menurut para pakar Hadis disebut studi internal Hadis sedangkan yang kedua disebut studi eksternal Hadis.  Studi internal content Hadis yang tidak disertai dengan studi eksternal silsilah sanad yang valid atau disertainya tetapi jika seluruh personal dalam sanad tidak memiliki kredebilitas yang tinggi   dapat ditolak, Hadisnya disebut tidak shahih.
Studi internal matan/content Hadis adalah tujuan studi sedangkan studi eksternal silsilah sanad adalah sarana proses kevaliditasan suntu content. Studi internal matan/content Hadis sebagai out put sedangkan studi eksternal silsilah sanad adalah sebagai in put. Studi internal content Hadis bertujuan untuk pengamalan Sunah semata karena Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang harus dipatuhi, sedangkan studi eksternal silsilah sanad Hadis bertujuan memelihara keorigilan syari’ah Islamiyah itu sendiri.
  Sesuai dengan masa timbulnya Hadis memang bersamaan dengan al-Qur’an, namun dalam periwayatan al-Qur’an  tidak mengundang masalah, semua umat Islam menerima tanpa memerlukan kajian silsilah sanad, karena seluruhnya tertulis sejak masa Rasulillah hidup  di samping itu al-Qur’an diterima oleh para periwayatnya secara kolektifitas/mutawâtir, dengan demikian memiliki kepastian hukum/qath’îy al-wurûd. Berbeda dengan Sunah atau Hadis yang tidak tertulis sejak masa  hidup Rasulillah saw, mayoritas Hadis hanya dihapal dan diingat  para sahabat di luar kepala di samping terjadi pemalsuan Hadis dan penyalahgunaan kepentingan dalam perkembangan berikutnya.  Kondisi Hadis seperti di atas mengundang para ilmuan dan para ulama  untuk mengadakan pengkajian, penyelidikan dan penelitian  Hadis untuk dianalisis obyektifitas dan otentisitasnya.
Setelah terjadi pemalsuan Hadis terutama oleh beberapa sekte Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah (41 H) para ilmuan bangkit mengadakan research/penelitian Hadis  dengan berbagai langkah, antara lain :
1.      Mempersyaratkan periwayatan Hadis harus diertai silsilah sanad yang sampai kepada Rasulillah sebagai sumber Hadis
2.      Mengadakan penelitian ke lapangan/fild research menemui tokoh-tokoh Hadis yang masih hidup untuk checking otentisitas  Hadis yang terkait
3.      Menemui para periwayat dan  tokoh-tokoh senior  Hadis, ahli sejarah, dan lain-lain walaupun di tempat yang jauh, karena berpindah dari suatu Negara ke Negara lain dalam rangka ekspansi dakwah Islam  untuk dimintai informasi tentang biodata dan biografi para periwayat baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
4.      Meneliti dan menganalisis sifat-sifat biodata dan biografi para periwayat Hadis  yang dapat diterima dan ditolak periwayatannya
5.      Dan seterusnya.   
Studi Hadis  adalah studi ilmiah yang tertua di dunia keilmuan. Sebab sebelum umat Islam mengenal studi ilmu-ilmu  lain seperti Fikih, Ilmu Kalam/ Teologi dan lain-lain   dalam perkembangannya, terlebih dahulu mereka telah mengenal studi ilmiah Hadis. Bahkan Barat sebelum mengenal studi ilmiah dan sebelum mencapai kemajuan saint dan teknologi umat Islam telah mengenal studi ilmiah yakni studi Hadis ini.
  Dalam artikel ini akan mengungkap metode kedua bentuk studi Hadis di atas  baik secara internal matan/content maupun eksternal/silsilah sanad  dengan pendekatan kualitas bukan pada pemahaman dan pengamalan teks Hadis. Mengapa Hadis  diteiti ? Bagaiman  mereka studi Hadis ? Metode apa saja yang mereka gunakan dalam studi Hadis ? Bagaimana kaedah-kaedah yang dijadikan standar dalam penelitian Hadis  ?
 
Latar Belakang Perlunya penelitian Hadis
Tidak seluruh Hadis dari Nabi  diterima para sahabat secara kolektifitas  (mutawâtir)  seperti al-Qur’an bahkan mayoritas Hadis diriwayatkan secara individualitas ( âhâd). Jika Hadis diterima secara kolektif/mutawâtir dapat diterima secara aklamasi tanpa penelitian sifat-sifat individu para periwayatnya  seperti sifat keadilan, kecerdasan, daya ingat, atau daya hapal (dhâbith), dan lain-lain, karena kualitas kolektifitas tersebut sudah memiliki kualifikasi obyektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Berbeda dengan Hadis âhâd para periwayat dalam sanad harus memiliki kredibeltas yang dapat dipertanggung jawabkan, seperti sanad-nya harus bersambung (ittishâl), para periwayatnya harus memiliki sifat adil/’adâlah,  hapalan  kuat/dhâbith, dan seterusnya. Oleh karena itu Hadis âhâd perlu penelitian dan pemeriksaan sifat-sifat para periwayatnya sehingga memenuhi kriteria Hadis yang dapat diterima sebagai Hadis yang shahih.
Di  antara latar belakang perlunya penelitian Hadis adalah sebagai berikut :
1. Hadis  sebagai  sumber ajaran Islam
Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang memerintah orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah SWT. Di antara  ayat-ayat itu :
a.  Surah al-Hasyr/59: 7  :
Artinya : Apa yang diberikan oleh Rasullah kepadamu maka hendaklah kamu menerimanya, dan apa yang dilarang bagimu maka hentikanlah (Qs.al-Hasyr/59 : 7)

b. Surah al-Nisâ’/4 :80 :
Artinya :  Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. Al-Nisa/4 : 80)
Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa  semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.[1] Kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Segala perintah dan larangan Rasul termuat dalam Hadis atau Sunah beliau, patuh kepada Rasul berarti mengamalkan Sunah tersebut.  Dengan petunjuk dua ayat di atas, jelaslah bahwa Hadis atau Sunah Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Orang yang menolak Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti orang tersebut menolak petunjuk al-Qur’an.
 Dalam sejarah pernah timbul sekelompok minoritas dari umat Islam yang   menolak Hadis atau Sunah Rasulullah sebagai sumber ajaran Islam. Mereka itu dikenal sebagai Ingkar Sunah atau cabang-cabangnya yang  menggunakan baju, nama dan label yang bervaristif. Cukup banyak alasan yang mereka ajukan untuk menolak Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, baik secara tekstualitas/naqlî al-Qur’an  maupun secara rationalitas/’aqlî. Tetapi sesungguhnya semua alasan yang mereka ajukan ternyata sangat lemah dan tidak ilmiah. Karena pada umumnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, dan Ulumul Hadis khususnya berkenaan dengan sejarah penghimpunan Hadis dan metodologi penelitiannya.
Semua umat Islam  meyakini bahwa Hadis Nabi  bagian dari sumber ajaran Islam, maka penelitian Hadis khususnya Hadis âhâd sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk upaya menghindarkan diri dari pemakaian dalili-dalil Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW. Sekiranya Hadis Nabi hanya berstatus sebagai data sejarah belaka, niscaya penelitian Hadis tidaklah begitu penting .

2.Tidak seluruh Hadis tertulis pada masa Nabi
Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis Hadis, namun, beliau  juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulisnya. Laranag tersebut kiranya dimaklumi karena SDM yang bisa menulis masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mareka itu dikonsentrasikan untuk menulis al-Qur’an. Sedangkan bagi sebagian sahabat yang diperbolehkan menulis Hadis karena mereka memang ahli benar dalam tulis menulis sehingga tidak ada kekhawatiran campur aduk dengan al-Qur’an. Kebijaksanaan tersebut mengakibatakn terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahkan para sahabat Nabi, tentang boleh atau tidaknya penulisan Hadis. Beberapa sahabat yang pernah menulis Hadis adalah Abdullah bin Amr bin al-`As, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah dan lain-lain. Namun tidak berarti bahwa semua Hadis telah ditulis, hal ini sangat beralasan karena penulisan tersebut atas kehendak pribadi masing-masing.
Dokumentasi Hadis pada masa awal Islam mayoritas di dalam dada dan sebagian dalam bentuk tulisan. Alasannya bukan hanya karena jumlah sahabat yang tidak bisa menulis lebih banyak tetapi juga karena kegiatan catat mencatat berbagai hal yang terjadi pada seseorang yang masih hidup tidaklah mudah. Tidak semua Hadis terjadi di hadapan banyak orang, misalanya hal-hal yang berhubungan dengan istri beliau, sehingga hal-hal tersebut baru bisa terungkap setelah beliau wafat. Andaikan Hadis telah tertulis semua, tentu Nabi akan mengoreksinya, sehingga penelitian Hadis tidak diperlukan  lagi, namun kenyataannya tidaklah demikian.

3. Timbul berbagai pemalsuan Hadis
Para ulama berpendapat bahwa kegiatan pemalsuan Hadis mulai muncul dan berkembang pada zaman Khalifah `Alî bin Abî Thâlib (35-40H). Pada mulanya, faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan Hadis adalah kepentingan politik. Yakni pertentangan politik antara pendukung Alî bin Abî Thâlib dan pendukung Mu`awiyah bin Abî Sufyan. Para pendukunng antara dua kubu yang bertikai tersebut saling membuat Hadis-Hadis palsu untuk melegitimasi kelompoknya masing-masing dalam rangka memenangkan pertikaian. Pertentangan tersebut juga telah menimbulkan perpecahan umat Islam dalam aliran teologi, dimana masing-masingn aliran juga membuat Hadis palsu untuk menjastifikasi dan memperkuat argumen kelompok mereka. Tentu saja hal ini sangat dimanfaatkan para musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan cara membuat Hadis palsu yang sangat merugikan agama Islam. Faktor selanjutnya yaitu faktor ekonomi, mereka membuat Hadis palsu agar mendapat hadiah dari para pejabat.
Berbagai pemalsuan Hadis tersebut menyulitkan umat Islam untuk mengetahui berbagai riwayat Hadis yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad. Sehingga para ulama ahli Hadis berusaha seoptimal mungkin untuk menyelamatkan Hadis–Hadis Nabi dengan cara menyusun berabagai kaidah dan ilmu Hadis yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian Hadis.[2] Dalam hubungan itu, sanad Hadis menjadi sangat penting dan penelitian pribadi para periwayat yang menyatakan telah memperoleh suatu riwayat Hadis menjadi salah satu bagian terpokok dalam penelitian Hadis.
Kegiatan penelitian Hadis menjadi sangat penting, karena tanpa dilakukan penelitian,  Hadis Nabi akan bercampur aduk dengan yang bukan Hadis dan ajaran islam akan dipenuhi oleh berbagai hal yang menyesatkan umatnya.

4. Proses penghimpunan Hadis  dalam waktu lama
Penghimpunan Hadis secara resmi dan massal terjadi atas perinth Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( w. 101H/720 M). Dikatakan resmi karena merupakan kebijaksanan Kepala Negara, dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli Hadis pada zaman itu. Namun perintisan pengkodifikasian Hadis ini telah ada sejak ayah beliau yaitu Abd al-Aziz bin Marwan yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Mesir, melalui surat beliau meminta kepada Katsîr bin Murah (seorang tabi’in di Himsh), untuk mencatat berbagai Hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi selain Abu Hurairah, karena beliau telah memiliki catatan sendiri.[3] Salah seorang ulama Hadis yang telah berhasil melaksanakan perintah Khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihâb al-Zuhrî seorang terkenal dari negeri Hijaz dan syam. [4]
Dengan demikian jarak waktu masa penghimpunan Hadis dan kewafatan Nabi cukup lama. Hal ini mengakibatkan berbagai Hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang sekasama untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.

5. Jumlah kitab Hadis  dan teknik penyusunan yang beragam
Jumlah kitab Hadis yang telah tersusun cukup banyak, dan sulit dipastikan dengan angka disebabkan sumber referensi  Hadis (Makhârij al-Hadîts) tidak terhitung jumlahnya juga. Di antara kitab yang masih beredar luas dalam masarakat adalah : Shahîh al-Bukhârî susunan Imam al-Bukhârî, Shahîh Muslim susunan Imam Muslim, Sunan Abî Dâwûd susunan Imam Abî Dâwûd, Sunan al-Turmudzî, dan lain-lain. Metode penyusunan kitb-kitab di atas sangat beragam, karena yang lebih ditekankan dalam kegiatan penulisan ini adalah penghimpunan bukan metode penyusunan. Masing-masing penulis/penghimpun/mukharrij mempunyai metode penulisan tersendiri, baik dalam sistematika, topik yang dikemukakan, maupun kriteria kualitas Hadisnya masing-masing, sehingga standar penilaian Hadis masih belum baku.
   Dalam kriteria Hadis yang masih beragam tersebut, kualitas Hadis dalam kitab-kitab tersebut tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah Hadis yang termuat dalam kitab-kitab himpunan itu shahih atau tidak,  diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakan kegiatan peneliltian tersebut dapat terhindar dari penggunaan Hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai hujah.

 6. Terjadi periwayatan Hadis secara makna
Pada umumnya sahabat membolehkan periwayatan Hadis secara makna, di antaranya adalah `Alî bin Abî Thâlib ,`Abdullah bin `Abbâs, `Abdullah bin Mas’ûd, Anas bin Mâlik. Namun ada juga yang menentang kebolehan periwayatan Hadis secara makna tersebut. Mereka adalah  `Umar bin al-Khathâb, `Abdullah bin `Umar bin al-Khathâb, Zayd bin Arqam.[5] Ulama yamg membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya periwayat yang bersangkutan harus mendalami pengetahuan Bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudî, dan periwayatan ini dilakukan bila dalam keadaan terpaksa[6] dan terjadi sebelum masa  pengkodifikasian, sehingga periwayatan ini tidak berlangsung dengan longgar.
Walaupun persyaratan periwayatan secara makna cukup ketat namun kebolehan ini memberi petunjuk bahwa matan Hadis yang diriwayatkan secara makna telah ada.[7] Padahal untuk mengetahui kandungan petunjuk Hadis tertentu, diperlukan mengetahui susunan redaksi (tekstual) dari Hadis yang bersangkutan khususnya yang berhubungan dengan Hadis dalam bentuk perkataan/qawli Rasul. Oleh karena itu, kegiatan penelitian Hadis sangat diperlukan .

Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam Hadis adalah  sanad dan matan-nya. Untuk meneliti kualitas suatu Hadis apakah shahih atau tidak, kiranya perlu di-takhrîj atau ditelusuri terlebih dahulu sanad dan matan-nya dari buku sumber asli yaitu Buku Induk Hadis sehingga dapat ditemukan siapa pembawa berita atau para periwayat yang ada dalam sanad dan bagaimana isi berita yang dikandung dalam matan Hadis tersebut, untuk diverifikasi kebenarannya.

Metode Penelitian
1.  Takhrîj Pengumpulan Data Hadis
Langkah awal yang dilakukan seorang  peneliti Hadis adalah mengumpulkan data Hadis yang teridiri dari matan dan sanad yang lengkap melalui berbagai jalan/sanad. Penghimpunan data Hadis lansung dari para periwayat yang menyampaikannya disertai dengan sanad pada masa sebelum pengkodifikasian atau dari buku-buku induk Hadis setelah masa pengkodifikasian dengan menggunakan metode Takhrîj.     Baiklah di sini sebelum berbicara metode Takhrîj terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian Takhrîj. Kata  Takhrîj secara  etimologi diartikan ; mengeluarkan dan  menampakkan  sesuatu dari suatu tempat. Menurut terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, antaranya sebagai berikut :
a.       Mengambil beberapa Hadis dari sebuah kitab Hadis  dengan menyebutkan sanad sendiri yang ia peroleh dari para guru/masyâyikh yang berbeda dengan sanad kitab asal. Maka bisa jadi ada pertemuan  syeikh atau guru syeikhnya  antara kedua pengarang tersebut. Seperti kitab al-Mustakhraj `ala al-Bukhârî yang ditulis oleh Abû Bakar al-Ismâ`ilî. Orang yang  melakukannya disebut mukharrij atau mustakhrij.
b.      Menerangkan bahwa Hadis itu terdapat dalam sebuah kitab yang dipindahkan (diriwayatkan) ke dalamnya  oleh penyusunnya dari sebuah kitab lain. Misalnya perkataan seseorang  : Akhrajahu al-Bukhârî = diriwayatkannya oleh al-Bukhari. Orang yang melakukannya disebut Mukharrij.
c.       Menyampaikan sebuah atau beberapa Hadis serta sanadnya dan diterangkan   kualitasnya. Seperti al-Bukhari misalnya menyampaikan periwayatan Hadis serta sanadnya   dan diterangkan kualitasnya.
d.      Menunjukkan asal Hadis pada sumber aslinya yakni buku induk Hadis yang di dalamnya dikemukakan matan dan sanad secara lengkap masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian dijelaskan kualitasnya. [8] Buku Induk Hadis itu seperti  kitab al-Jâmi’ al-Shahîh li al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh li-Muslim, Sunan Abu Dawud, Jâmi’al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’î, Sunan Ibn Majah dan Musnad Ahmad yang kemudian disebut Tujuh Buku Induk Hadis.    
Definisi pertama tidak dapat dilakukan orang pada era sekarang, karena menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli Hadis era sekarang, di samping keterputusan predikat sebagai periwayat Hadis. Kecuali jika dilakukan  sesama Muhaddits atau Thalib al-Hadîts dalam arti yang sederhana. Definisi kedua,  dapat dilakukan sepanjang masa baik secara langsung atau ditulis di berbagai buku. Misalnya seseorang yang mengutip sebuah Hadis dari  kitab al-Bukharî mengatakan pada  awal atau akhir  penukilan :  أخرجه البخاري  Hadis di-takhrîj oleh al-Bukhârî dan seterusnya. Untuk menyatakan perawi suatu Hadis dikatakan dengan kata :  رواه  البخاري   Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
Definisi ketiga dan keempat juga masih terbuka lebar kesempatan bagi para peneliti Hadis untuk mengadakan penelusuran   dari sumber aslinya atau dari buku Induk Hadis  untuk diteliti sanad dan matan-nya sesuai dengan kaedah-kaedah Ilmu Hadis Riwâyah dan Dirâyah, sehingga dapat  menyimpulkan  kualitas suatu Hadis. Definisi terakhir inilah yang berlaku di Perguruan Tinggi Islam pada umumnya dalam meningkatkan kualitas studi Hadis yang lebih kritis dan ilmiah.
Metode takhrij dalam arti penelusuran Hadis dari sumber beberapa buku induk dalam rangka mengumpulkan data Hadis paling tidak ada lima metode yang dapat digunakan  yaitu  sebagai  berikut :
a.  Takhrîj bi al-lafzhi, yaitu penelusuran  Hadis melalui lafazh matan-nya baik dari permulaan, pertengahana, dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini adalah Kamus al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawî  yang disusun  A.J. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid yang berefensi pada 9 bukui Induk Hadis. Tujuh buku induk di atas ditambah al-Muwththa’ karya Imam Malik dan Sunan al-Dârimî.
b.  Takhrîj bi al-Mawdhû`, yaitu penelusuran Hadis yang didasarkan pada topik (mawdhû`), misalnya bab shalat, nikah, jual beli, dan lain-lain. Salah satu  kamus yang digunakan dalam Takhrîj ini adalah  Miftâh min Kunûz al-Sunnah  oelh Dr. Fuad Abd al-Bâqî, terjemahan dari A Handbook of Early Muhammadan karya A.J. Wensink pula yang berefensi pada 14 buku iInduk Hadis.
c. Takhrîj bi Awwal al-Matn,  takhrîj menggunakan permulaan matan, misalnya dengan menggunakan  kitab al-Jâmi` al-Shaghîr karangan al-Suyuthî  dan Mu`jam Jâmi` al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, karya Ibn al-Atsîr.
d. Takhrîj melalui sanad Hadis yang pertama  yakni sahabat dengan menggunakan kitab Musnad atau al-Athrâf seperti kitab Musnad al-Imam Ahmad.
e. Takhrîj berdasarkan status Hadis, misalnya mencari Hadis Mawdhû` di dalam buku  himpunan Hadis Mawdhû` al-Mawdhû`ât karya Ibn al-Jawzî, mencari Hadis mutawâtir ke dalam kitab al-Azhâr al-Mutanâtsirah `an al-Akhbâr al-Muawâtirah, karya al-Suyûthî, dan lain-lain.
   Beberapa metode Takhrîj di atas hanya merupakan alternatif, seorang peneliti bisa memilih salah satu  dari 5 metode Takhrîj di atas  sesuai dengan kebutuhan  dan kondisi yang ada. Dengan melalui salah satu metode di atas seorang peneliti akan mendapatkan petunjuk di dalam buku Hadis apa saja Hadis yang diteliti didapatkan. Kemudian baru dilacak ke berbagai buku induk Hadis dan dikeluarkan dari padanya untuk diolah dan dianalisis matan dan sanadnya.
 Penelitian Hadis  bersifat normatif dan kesejarahan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah naskah kepustakaan dan dokumentasi yang terkait, sebagaimana  kata Cik Hasan Bisri  “Dalam penelitian normatif yang bersumber pada bahan bacaan dilakukan dengan cara penelaahan  naskah, terutama studi kepustakaan. Dalam penelitian kesejarahan  yang bersumber pada bahan bacaan  dan pelaku sejarah  dilakukan  dengan cara  studi kepustakaan dan dokumentasi, serta wawancara  dengan pelaku  sejarah apabila yang bersangkutan  masih hidup.”[9]
Untuk menelaah  dan mengkaji  isi kandungan  buku-buku primer tersebut   digunakan teknik  content analysis (kajian isi). Hal ini didasarkan  pada pendapat  Lexy  J. Moleong  yang mengatakan bahwa : “Untuk memanfaatkan dokumen yang padat isinya biasanya digunakan teknik tertentu. Teknik yang paling umum digunakan adalah content analysis atau dinamakan ‘kajian isi.’ [10]
Metode penelitian  content analysis  umumnya digunakan dalam penelitian komunikasi. Namun, metode ini dapat digunakan  dalam penelitian pemikiran normatif. Umpamanya,  penelitian  mengenai teks al-Qur’an  dan pemikiran ulama  di dalam berbagai kitab Fikh dapat menggunakan metode ini. Isi teks al-Qur’an  atau pemikiran ulama tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan kaedah-kaedah  bahasa  atau kaedah lain yang telah dikenal  seperti kaedah Fikh, Ushûl  al-Fiqh, dan Manthiq[11]  jika diperlukan. Untuk memahami berbagai tulisan  yang merupakan bagian dari dokumen pemikiran seseorang  yang di dalamnya mengandung teks Hadis atau yang lain, digunakan metode content analysis dengan menggunakan norma atau kaedah yang disebutkan para ulama dalam `Ulûm al-Hadîts.
2. Pengolahan data
Setelah  data Hadis dapat terhimpun dari berbagai buku induk Hadis kiranya dapat dihitung ada berapa tempat Hadis tersebut tertulis  pada masing-masing buku induk, pada bab/kitab apa, nomor berapa, halaman berapa dan juz berapa untuk memudahkan recheck jika diperlukan baik bagi peneliti maupun orang lain yang berkepentingan. Kemudian data Hadis ditelaah ulang mana  yang masih reliable dan valid  dan mana yang tidak untuk direntangkan sanadnya dalam bentuk seperti akar tunggang (sebutlah Akar Tunggang Sanad). Bentuk rentangan seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam kajian sanad di samping lebih efensiensi dan efektif karena matan Hadis hanya disebutkan satu kali kecuali jika berbeda  dan nama seorang perawi  yang  terulang-ulang di berbagai sanad hanya disebut sekali. Seluruh matan dan seluruh sanad suatu Hadis  dapat terinventarisasir  ke dalam Akar Tunggang Sanad dengan menggunakan  metode kongklusi induktif  atau deduktif.
                        Berikut ini diberikan  contoh Akar Tunggang Sanad :
Rasulullah saw bersabda :


Abu Hurairah                          Ibn Abbas                               Ibn Umar

Muhammad bin Ziyad                        Ibn Hunain      Nafi’    Ibn Zaid          Ibn Dinar
              
Syu’bah                                               Ubaidillah       Ashim             Malik

Al-Bukharî                              al-Nasa’î    Muslim    Ibn Khuzaimah    al-Syafi’i     

 

3.   Metode analisa data
Data Hadis yang akan dianalisis juga matan dan sanad Hadis, analisisnya disebut  Kritik Hadis. Dalam analisisnya ada  dua kritik Hadis, yaitu kritil matan yang disebut dengan kritik internal (al-dâkhilî) dan kritik sanad yang disebut dengan kritik eksternal (al-khârijî). Untuk memperjelas permasalahan dua kritik tersebut berikuti ini akan dipaparkan penjelasannya :
1. Kritik internal (al-dâkhilî)
Kritik internal  yakni kritik pada matan, apakah ia bertentangan dengan ratio manusia, bertentangan dengan  Hadis yang lebih kuat, atau bertentangan dengan al-Qur’an. Para ulama telah membuat parameter dan kaedah yang dijadikan standar penilaian apakah Hadis itu shahih, Hasan dan dha`if. Di antaranya, kriteria matan Hadis Shahih adalah tidak ada cacat yang tersembunyi yang disebut dengan illat dan tidak ada keganjilan yang disebut dengan  syadz. Illat dan syâdz ini  terjadi pada matan sebagaimana pula  terjadi pada sanad. [12] Untuk mengetahui keganjilan dan cacat pada matan ulama Hadis menyebutkan kriteria-kriteria Hadis mawdhû`, antara lain :
a.        Hadis bertentangan dengan akal dan tidak menerima ta’wil
b.       Menyalahi  indra dan persaksian
c.       Menyalahi dalil-dalil qath`î atau Sunah Mutawâtirah dan atau ijma` ulama  serta tidak munkin dikompromikan
d.      Belebih-lebihan dalam ancaman suatu perbuatan yang kecil atau  janji pahala yang terlalu besar terhadap perbuatan yang kecil[13].
2. Kritik eksternal (al-khârijî)
Karitik eksternal  yakni kritik sanad. Para ulama mempersyaratkan masing-masing para periwayat dalam sanad harus bertemu langsung (ittishâl)  dengan periwayat (syeikh) di atasnya dari awal sampai akhir sanad. Untuk menelusuri katersambungan sanad  ini harus dikaji ilmu Rijâl al-Hadîts atau Târîkh al-Ruwâh. Demikian juga para ulama mempersyaratkan para perawi harus adil dan kuat hapalannya/dhabith. Untuk mengetahui periwayat yang adil dhabith atau tidak disediakan regerensi  tentang sifat-sifat para periwayat Hadis yang disebut dengan  Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dîl.
Sanad dan matan Hadis  yang telah direntangkan dari berbagai buku primer di atas, dianalisis secara kritis dengan mengunakan metode deskriptip,   perbandingan (comparative/ muqâranah), normatif, dan kesejarahan.
      a.  Analisis deskriptip
Metode deskriptip dilakukan untuk menjelaskan semua komponen tersebut, baik  yang berkaitan dengan sanad maupun dengan  matan. Tujuan pendekatan deskriptip ini adalah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum. Pada sanad terdapat istilah-istilah khusus yang digunakan dalam periwayatan, misalnya haddatsnâ/haddatsani,… artinya ; memberitakan kepada  kami/ sayadiinterpretasikan seorang perawi bertemu langsung dengan syeikhnya dan seterusnya.  Menurut Cohn [yang dikutip oleh Ace Suryadi dan A.R. Tilaar] pendekatan deskriptip ini disebut juga pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan dalam menyajikan suatu  state of the Art atau keadaan apa adanya dari suatu gejala  yang sedang diteliti  dan yang perlu diketahui oleh para pemakai.[14] 
      b.  Analisis komparatif (perbandingan)
M. Mushthafâ al-A`zhamî mengatakan, bahwa sejauh menyangkut kritik nash atau dokumen  terdapat banyak metode, akan tetapi hampir semua metode itu dapat dimasukkan ke dalam kategori metode perbandingan (cross reference).[15]   Metode perbandingan dalam Hadis dilakukan dengan banyak cara, antara lain:
1) Perbandingan antara beberapa Hadis dari berbagai murid seorang guru (syekh). 
2) Perbandingan antara pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang
   dikeluarkan pada waktu yang berlainan.
3)  Perbandingan antara pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4) Perbandingan  antara Hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an yang   berkaitan.[16]
5) Perbandingan antara sanad dan matan untuk  mengetahui adanya keganjilan/syâdz,  cacat/’illat atau tidak.
Metode perbandingan juga dilakukan oleh para ulama Hadis ketika dihadapkan permasalahan dua Hadis yang kontroversi (Mukhtalif al-Hadîts), yaitu ada 4 langkah ;, komppromi (al-jam`u wa al-tawfîq),  teks  Hadis belakangan menghapus hukum (nasakh) pada teks Hadis pendahulunya jika diketahui datangnya, diambil yang lebih kuat (tarjîh ), dan  ditinggalkan  atau tidak diamalkan.
   c.  Analisis normatif
Secara khusus pendekatan normatif untuk menganalisis pemikiran yang berkaitan dengan kritik internal (al-dâkhilî) yakni  kritik matan, di samping kritik eksternal yakni sanad. Pendekatan  normatif yang sering  disebut pendekatan preskriptip merupakan  upaya ilmu pengetahuan  untuk menawarkan suatu norma kaedah atau resep yang dapat  digunakan  oleh pemakai dalam rangka pemecahan suatu masalah. Tujuannya ialah  agar para pengambil keputusan  memahami permasalahan  yang disoroti dari isu  suatu kebijakan[17]  Tolak ukur penelitian matan ialah tidak bertentangan al-Qur’an, Hadis yang lebih kuat,  akal sehat, indra,  sejarah, dan susunan bahasa.[18] Pendekatan normatif atau  pendekatan preskriptif digunakan dalam rangka pemecahan  suatu masalah (problem solveing), yaitu dengan menawarkan norma-norma, kaedah-kaedah, dan atau resep-resep  dalam dimensi rasionalitas,  moralitas, kontekstualitas, dan tekstualitas (`aqlî dan naqlî).
Kedua pendekatan deskriptip dan normatif juga digunakan  untuk menjelaskan  pemahaman makna Hadis  yang dianggap tidak sesuai dengan zaman dan situasi  sekarang. Karena Sunah yang salah satu fungsinya  sebagai penjelas  dan interpretator  al-Qur’an  memiliki  universalitas makna seperti al-Qur’an. Ia juga  sebagai sumber  ilmu pengetahuan  dan  kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan  interpretasi  yang dinamis  sesuai dengan perkembangan zaman.[19]
   d.  Analisis kesejarahan
Sedangkan pendekatan kesejarahan secara khusus digunakan kritik terhadap pemikiran yang berkaitan dengan kritik eksternal yaitu sanad, karena  Sunah  merupakan fakta  sejarah  yang berkaitan dengan  pernyataan, prilaku, sifat, dan pengakuan Nabi saw.  Para ahli Hadis   berpendapat  bahwa  studi matan  Hadis dan kitab-kitab Riwâyah tidak berarti, jika tidak disertai dengan `Ilm al–Hadîts Dirâyah, yaitu analisis  kesejarahan  terhadap perkataan dan  perbuatan Rasul saw,  sifat-sifat dan keadaan para  periwayat (transmitter)   Hadis dan  matan-nya.[20]
Demikian juga, salah seorang guru besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas al-Azhar  Thâhâ al-Dasûqî Hubaysyî  berpendapat,  bahwa  analisis  kesejarahan (târîkh)  merupakan  keharusan  bagi para peneliti dan periwayat (transmetter) Hadits, karena  tugas transmetter adalah mentransfer informasi  dari  beberapa generasi, sedang tugas  peneliti adalah  memeriksa sifat dan kondisi  para transmetter  tersebut.  Sunah Nabi  adalah  event  sejarah hidupnya yang benar-benar terjadi, bukan  andai-andai  logis yang menetapkan ada atau tidaknya  suatu perkara dan yang memerlukan eksperimen.[21] Sementara Sartono Kartodirdjo menekankan:   “apabila  suatu penelitian masyarakat  mengambil perspektif atau orientasi historis, maka bahan dokumenter  mempunyai arti  metodologis yang  sangat penting.”[22]
Dengan demikian, pendekatan kesejarahan mutlak  dipergunakan dalam  penelitian Sunah karena Sunah itu sendiri  merupakan dokumentasi sejarah,  baik sanad yang terdiri dari  sejarah para periwayat Hadis (transmetter)  dari generasi ke generasi maupun latar belakang matan yang merupakan materi atau isi Sunah yang diriwayatkan.
Keempat metode analisis  di atas sangat diperlukan dalam penelitian   Sunah secara empiris setelah diadakan penelusuran data baik sanad maupun  matan Hadis melalui takhrîj, sehingga dapat ditemukan  kualitas Hadis apakah diterima sebagai Hadis yang Shahih atau ditolak sebagai Hadis Dha’if/lemah.  Dengan demikian, ditemukan pemahaman yang benar tentang Hadis  baik dari kedudukan Sunah sebagai sumber hukum Islam  maupun sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kemajuan.

Penutup
            Studi Hadis  adalah studi ilmiah awal dalam perkembangan dunia research baik di kalangan internal umat Islam maupun eksternal umat manusia. Studi Hadis dilatar belakangi oleh kondisi Hadis itu sendiri yang mayoritas  hanya diingat dan dihapal umat Islam awal  dari generasi ke generasi sampai pada masa kodifikasi secara sempurna yakni pada  abad ke 3 H. Pada masa inilah umat Islam berhasil menghimpun dan menverivikasi  Hadis dari para pembawa dan periwayatnya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal secara ilmiah sampai pada pucuk sumber Hadis yaitu Rasulillah saw.
                Studi Hadis meliputi dua unhsur, yaitu unhsur isi Hadis/matan yang biasa disebut unhsur internal  dan  unhsur sanad atau  para periwayat Hadis secara estafet yang menghubungkan dari  sumber berita pertama yakni Rasulillah saw sampai kepada periwayat terakhir sebagai penghimpun dalam sebuah buku karyanya yang biasa disebut unhsur  eksternal Hadis. Kedua unhsur tersebut saling bertalian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi dalam menentukan keotentisitasnya. Suatu Hadis dikatakan shahih manakala kedua unhsur ini terpunuhi syarat-syaratnya, yaitu persambungan sanad (ittishâl al-sanad), keadilan dan kuat hapalan para periwayat (`adl al-ruwâh wa dhabthuhum) , tidak ada keganjilan (`adam al-syudzûdz) dan tidak ada cacat yang tersembunyi (‘adam al-‘illah).
            Studi Hadis diawali dari pengumpulan data Hadis sanad dan matan dari para pembawanya  yang  hapal pada masa awal Islam dan dari berbagai buku induk Hadis pada masa setelah pengkodifikasian dengan menggunakan metode Takhrîj. Data Hadis diolah dan ditelaah dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan  sebagaimana dalam ilmu pengetahuan di antaranya metode komparasi, normatif dan historis.  Sejumlah buku induk Hadis seperti al-Jâmi’ al-Shahih li al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahih li Muslim dan lain-lain adalah contoh kongkrit hasil studi para pakar Hadis awal yang secara langsung mengadakan penelitian ke lapangan. Masih banyak Hadis yang bertebaran di berbagai buku, kitab, majalah  dan lisan umat Islam yang belum tersingkap status dan kualitasnya. Para pemerhati Hadis diharapkan mampu mengkaji dan meneliti Hadis-Hadis tersebut sebagai kontribusinya terhadap umat Islam dalam melaksanakan  sjaran agama islam dengan benar.   


[†] Dosen FITK UIN Jakarta


[1] al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân (Kairo:Dar al-Kitab al-‘Arbi,1387 H /1967 M), Juz XVII,h. 17
[2] Syakir, Syarh Alfiah al-Suyuti fî `Ilm al-Hadîts, Bairut:Dar al-Ma’rifah,[tth],h.90
[3] Muhammad Ajjajal-khatib, al-Sunah Qabla al-Tadwin, (Cairo: Maktabah Wahbah ,1383 H/1963 M), h.273-275
[4] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang,1988M, h.  98 dan 100
[5] M. Syuhudi ismail,  Kaedah Kesahihan…,  h.103
[6] Ibn al-Shalâh ,’Ulumul al-Hadîts, (al-Munawarah : al-Maktabah al-‘Ilmiyah,1972M), h.190-192
[7] M.Syuhudi Ismail,Kaedah Kesahihan…, h.71-72
[8] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan …,  h.41-43
[9] Cik Hasan Bisri (Bisri), Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian  dan Penulisan  Skripsi Bidang IlmuAgama Islam, ( Ciputat: Logos Wacana Ilmu,1998), Cet. Ke-1, h.60
   [10] Lexy J.Moleong (Moleong), Metodologi  Penelitian Kualitatif, ( Bandug: Remaja Rosdakarya, 1998), Cet. Ke-9, Cet. Ke-9, h. 163
[11] Ibid.
[12] Muhammad Syuhudi Isma`il ( Isma`il ), Metodologi Penelitian Hadis Nabi, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992),  h. 4-5
[13] Muhammad `Alawî al-Malikî,  al-Manhal al-Lathîf fi Ushûl al-Hadîts al-Syarîf, (Jiddah : Mathâbi` Sihr,1982), Cet. Ke-4,  h. 32
[14]. Lihat : Ace Suryadi  dan A.R.Tilaar (Suryadi) , Analisis  Kebijakan Pendidikan, (Bandung : PT Rosdakarya, 1994), Cet. Ke-2, h. 46
[15] Muhammad Mushthafâ al-A`zhamî (al-A`zhamî ), Studies In Hadis Methodology and Leterature, Terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992),  h. 86.. Ibid. h. 87
[16] Lihat : Mahmûd al-Thahân (al-Thahân), Taysîr Mushthalah al-Hadîts, h.56-58 dan Al-Mâlikî al-Hasanî…,  h. 165-167
[17].  Ibid.
[18] Lihat : Shalâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî (al-Adlabî), Manhaj Naqd al-Matn, (Beirut: Dâr al-Aflâq al-Jadîdah,1983), h.238
[19] Yûsuf al-Qardlâwî (al-Qardlâwî), Kayf Nata’âmal  ma`a   al-Sunnah al-Nabawîyah,( Mesir: Dâr al-Wafâ, 1994), Cet. Ke-7, h. 16
[20] Shubhî Al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh,  Beirut: Dâr al-`Ilm,  1969, Cet, ke-5,  h. 278
[21] Thâhâ  al-Dasûqî Hubaysyî (Hubaysyî),  al-Sunnah  fî Muwâjahat  A`dâ’ihâ,  (Cairo: Maktabah Risywan, 1995), Cet. Ke-1, h. 163
[22] Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo), Metode Penggunaan  Bahan Dokumen, dalam  Koentjaraningrat (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), Cet. Ke-14, h.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar