Jumat, 27 September 2013

Khutbah Idul Adha 35



HIKMAH KORBAN DI BALIK
BERBAGAI BENCANA   
الخطبة الأولى  :
الله اكبر 9× لا اله الا الله والله اكبر, الله اكبر  ولله الحمد
        الحمد لله حمدا كثيرا كما أمر, نحمده سبحانه وتعالى  على قدرته وبرحمته  وجعل الخليل  ابراهيم إماما للناس  ولسائر البشر,  أشهد أن لاإله الا الله وحده لاشريك له الملك الجبّار,  وأشهد أنّ محمّدا عبده  ورسوله  المبعوث للناس لينقذهم من كيد الشيطان الرجيم وينجيهم من عذاب النار, اللهم صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمٌد المختار, وعلى آله وأصحابه الأخيار.  أما بعد, فيا أيها الناس !  أوصيكم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون كما وصٌاكم به الله تعالى فىكتابه الكريم: ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله حقّ تقاته  ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون (آل عمران:  102)
PENGANTAR
Ma`asyiral Muslimin wal Muslimat Jama`ah Shalat `Idil Adhha, Rahimakum Allh !
Mari kita panjatkan puji serta syukur kepada Allah swt, bahwa pada hari ini kita sekalian dapat melaksanakan shalat `Idul Adhhâ  dan di antara saudara kita sebentar lagi  ada berkorban menyembelih binatang ternak kambing atau sapi. Keduanya dilaksanakan sebagai bukti syukur kita kepada Allah swt yang telah memberikan banyak keni`matan. Firman Allah swt  dalam QS. Al-Kautsar/ 102: 1-2 :
                       إِنَّا أَعْطَيْناَكَ الْكَوْثَرَ ,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
 “Sesungguhnya   Kami  telah  memberikan  kepadamu kebaikan  yang                  banyak.    Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”.

Kepribadian Santri




 KEPRIBADIAN  KESANTRIAN  
SEBAGAI ETIKA DAN MODEL PEMBELAJARAN    
 KITAB TALÎM AL-MUTA’ALLIM
Oleh  : Abdul Majid Khon[*]

Abdtract :
Ta’lim Muta’allim book, which is thought in almost of boarding school in Indonesia, has major influence in forming student’s personality. Generally, the student’s personality has Islamic positive ethics and behavior. The personality of Islamic student is made the target of study in Islamic boarding school, beside that it is made as the study’s method and ethic to reach the target. There are two study method which have been submitted by Ta’lim; rational method and irrational method. The rational method as like as in modern education, among of them drill method, question and answer, discussion, etc. the irrational method are ethics method, kindness, and behavior. These two methods are the grateful of Ta’lim’s method to reach the study target which can’t found in modern education.

Kata Kunci : model pembelajaran santri

A. Pengantar
Pada umumnya  Kitab Ta’lîm al-Muta’allim   dijadikan sebagai bidang studi   Akhlak  yang diajarkan di berbagai pesantren tradisional (salafiyah) di seluruh Indonesia di tingkat  Menengah.  Pernyataan ini diakui oleh  berbagai pondok pesantren di seluruh Indonesaia dalam berbagai diskusi dan seminar.   Sedang di kalangan pesantren modern  yang menekankan pemahaman  terhadap kitab-kitab salaf  agak berkurang, kitab Ta’lîm al-Muta’allim nyaris tidak populer, bahkan tidak dikenal sama sekali.     
Kitab Ta’lîm  al-Muta’allim  sangat populer di setiap Pondok Pesantren, seakan menjadi buku wajib bagi stiap santri. Sedang  di madrasah luar pesantren  atau di sekolah-sekolah umum, kitab ini tidak diajarkan dan baru sebagian kecil yang mengenalnya sejak buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruh pengajaran kitab inilah di antaranya yang menjadi penyebab  perbedaan kepribadian antara santri alumni Pondok Pesantren dan alumni dari Sekolah Umum atau madrasah yang tidak mengajarkan kitab tersebut. Pada umumnya kepribadian santri lebih moralistis dibandingkan dengan pelajar sekolah non pesantren. Kepribadian santri  sarat  dengan nilai-nilai moral spiritual  sementara pelajar non pesantren relatif lebih kurang atau malah hampa dari nilai-nilai tersebut.
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim (TM) atau sebagian orang menyebut kitab Ta’lîm  mendidik para santri  dengan meletakkan akhlak dan  etika sebagai dasar utama dalam menggunakan metode belajar. Metode belajar yang ditawarkan metode berganda yaitu metode  rasional sebagaimana dalam pendidikan modern dan metode irrasional yaikni metode akhlak seperti hormat guru,  mengagungkan ilmu dan kitab-kitab tentang ilmu. Oleh karena itu jarang terdengar para santri mengadakan demontrasi kepada para Kyai atau para Ustadznya, atau para santri tawuran dengan santri lain da  lain-lain.      
Al-Zarnujî sendiri sebagai penulis Ta’lîm mengungkapkan bahwa  saya melihat banyak para santri, pelajar, mahasiswa dan mahasantri pada masa kita, sudah bersungguh-sungguh mencari ilmu tetapi tidak menghasilkan apa-apa atau tidak memetik buahnya yakni mengamalkannya, karena  mereka salah jalan atau metode yang digunakan bahkan mereka mengabaikan  berbagai persyaratannya. Padahal barang siapa yang salah menentukan jalan maka sesat dan tidak mencapai maksud yang diharapkan (Isamail : 3).  Ini maknanya metode dan model pembelajarannya tidak hanya mengandalkan rasio belaka tanpa menggunakan pemndekatan kepada Allah swt yakni pendekatan akhlak, etika dan moral yang baik. Sesuai dengan nama  kitab ini adalah Ta’lîm al-Muta’allim Tharîqat al-Ta’allum, maknanya  Pengajaran  Metode Belajar Bagi Para Santri kata “tharîq” diartikan metode atau model pembelajaran.
            Kitab TM   ditulis oleh Syeikh al-Zarnujî (w. 640 H/1242 M). Nama al-Zarnujî di ambil dari  nama sebuah kota  tempat beliau tingal yaitu Zarnuj  termmasuk wilayah Irak. Tetapi boleh jadi pada peta sekarang  sebagaimana keterangan Yaqut al-Hamawî yang dikuti M Aly As’ad dalam buku terjemahannya, ia masuk wilayah Turkistan (Afghanistan) yang dekat   dengan kota Khoujandan (M.Aly As’ad/2007 : ii).  Para peneliti belum menemukan kapan al-Zarnujî dilahirkan, tetapi diyakini hidupnya  satu kurun dengan al-Zarnujî  lain yang namanya Nu’man bin Ibrahim al-Zarnujî seorang ulama besar yang wafat pada tahun 640 H/1242 M.(al-Yasu’i/ : 337)
            Dulu sekitar masa orde baru banyak kritikan  yang dialamatkan kepada kitab Ta’lîm baik dari kalangan ahli didik  maupun ilmuan lain, yang  pada intinya merendahkan nilai-nilai pengajaran kitab tersebut. Terutama pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian santri yang dinilai suatu kemunduran bagi umat Islam seperti tawadhu` (rendah hati) yag membuat rendah diri dan lain-lain.  Tetapi dewasa ini kepribadian santri justru dicari dan dijadikan referensi dalam pembentukn karakter bangsa Indonesia stelah bangsa Indonesia mengalami morat-marit dan dilanda krisis moral.
             Dari kalangan ahli didik Islam juga mengkritik kitab tersebut.   Salah satu kritikus adalah Dr. Ahmad al-Ahwanî dalam bukunya al-Tarbiyah al-Islamiyah. Di antara kritikannya, bahwa dalam kitab Ta’lîm banyak angen-angen kosong  dan tidak ilmiah  sehingga menurunkan derajat i’tiqad  orang awam. Misalnya ia berkata  hal-hal yang mencegah datangnya rizki :  menyapu rumah pada malam hari, membakar kulit bawang merah dan putih, menyisir rambut  dengan sisir yang telah rusak, mengenakan serban dalam keadaan duduk dan mengenakan celana dalam keadaan berdiri (al-Ahwani, tth. : 238-239) dan lain-lain adalah suatu ungkapan  yang tidak patut diucapkan oleh ulama.
Dalam artikel yang sederhana ini penulis tidak akan menanggapai kritik etika atau sopan santun sebagaimana kritikan al-Ahwanî,  tetapi lebih kepada kepibadian yang dibentuk sifat-sifatnya, karena etika yang diajarkan al-Zarnujî hanya berdasarkan rasio, tradisi,  madharat manfaat atau menempatkan sesuatu yang tidak apada tempatnya saja tidak menyangkut aqidah. Ia hanya sebagai motivasi agar santri berbudi pekrti dan mernjaga sopan santun yang baik. Misalnya, menyapu pada malam hari memang  jelas tidak baik karena malam hari waktu beristirahat, membakar kulit bawang mmbencikan baunya, bersisir yang rusak akan melukai kepala dan seterusnya.          
           
B. Kepribadian Kesantrian
1. Pengertian
            Kepribadian dari asal kata dasar “pribadi” kemudian mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang menunjukkan sifat pribadi. Dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa arti kepribadian adalah : “ Keadaan manusia  sebagai perseorangan, keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang (bisa juga bergeser berarti ; orang yang baik sifat dan wataknya). Misalnya ia terkenal sebagai seorang pemimpin yang kuat kepribadiannya ; dalam cerita  karangannya terbayang kepribadian pengarangnya. (PJS  Poerwadarminta, 1984 : 768).
Menurut terminilogi Ilmu Jiwa Kepribadian, adalah ; “Suatu totalitas organisir dari disposisi-disposisi psykhis manusia yang individual yang memberi kemungkinan untuk membedakan  ciri-cirinya yang umum dengan pribadi lainnya”. (Suparlan Surya Pratondo, 1980 : 109)
            Sidi Gazalba mengemukakan bahwa kerpibadian adalah : “sifat jasmaniah dan terutama cara berpikir  serta cara merasa ruhaniah yang menyatakan diri pada tabiatnya yang selanjutnya jadi ciri-ciri pembeda antara dia dengan orang-orang lain”.  (Sidi Gazalba/1970 : 26)
            E.Y.Kemp yang dikutip oleh Rahmayulis mengatakan, bahwa kepribadian adalah integritas dari pada sistem kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan cara khas pada individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan (Rahmayulis, 2002 : 288) 
            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan,  bahwa kepribadian adalah suatu totalitas  sifat-sifat jasmani, ruhani  dan nafsani hasil dari suatu proses kehidupan yang dijalani oleh seseorang  yang sudah menjadi tabiat atau watak perseorangan sehingga membedakan antara pribadi seseorang dengan pribadi orang lain.
            Sedang kesantrian berasal dari kata “santri”. Secara etimologis para ahli berbeda pendapat tentang asal kata santri ini. Di antara mereka  ada yang mengatakan dari bahasa Tamil yang berarti ; guru mengaji. Ada juga yang mengatakan dari bahasa India ; “shastri” yang berarti  orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu dan ada juga yang  berpendapat dari  kata “Shastra” yang berarti buku-buku suci  atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Zamakhsyari/  : 18).
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan  santri diartikan ; Pertama, orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam (dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren). Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang saleh. (WJS Poerwadarminta, 1984  : 870).
            Dengan demikian kepribadian  santri adalah  sifat-sifat  kepribadian yang  dimiliki  santri yakni seperti  mencintai ilmu, mencintai orang  berilmu, mencintai ibadah, dan memiliki sifat-sifat saleh lain.  
            Menurut KH Imam Zarkasyi -- seorang pendiri Pondok Pesantren Gontor yang terkenal --   sifat-sifat kesantrian itu ada 5  yang disebut dengan Panca Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kesanggupan menolong  diri sendiri atau berdikari, jiwa ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas (KMI Pondok Gontor, 1404 : 12).
Sedang Dawam Rahardjo mengemukakan sifat-sifat keperibadian  santri adalah :
            Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwwah (persaudaraan), ta’âwun (tolong menolong atau kooperasi), ittihâd (persatuan), thalab al-‘ilmi ( menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihâd (berjuang), tha’at (patuhkepada Tuhan, Rasul, ulama atau Kyai  sebagai pewaris Nabi  dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin) dan berbagai nilai  yang eksplisit tertulis  sebagai ajaran Islam ikut menmdukung Pondok ( Dawam Rahardjo, 1979 : 3)
            Melihat dari berbagai sifat  atau ciri-ciri kesantrian di atas, maka kepribadian santri  identik dengan kepribadian muslim, karena kandungan kepribdian santri di atas  sesuai dengan ajaran agama Islam yang menjadi tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana kata Ahmad D Marimba bahwa kepribadian  muslim adalah “ kepribadian  seluruh aspek yakni tingkah laku luar, kegiatan jiwa, filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian  kepada Tuhan  serta penyerahan diri kepada-Nya ( A D Marimba, 1974 : 73). Hanya saja kepribadian santri lebih menonjolkan sifat-sifat kesantriannya yang  lebih menitik beratkan pada akhlak al-karimah menuju kepada kepribadian  muslim yang lebih sempurna yakni mencakup tiga aspek ; aqidah, syari’ah dan akhlak.
            Dr. Ahmad Fuad al-Ahwanî memposisikan akhlak  merupakan bagian dari kepribadian sebagaimana ungkapannya, bahwa perbuatan seseorang setelah beberapa masa, akan sampai pada tingkat pembiasaan yang kuat dan otomatis. Perbuatan itu menjadi ciri khusus  bagi  kepribadiannya yang kemudian disebut dengan kepribadian. Bagian dari kepribadian  inilah yang dinamakan akhlak seperti dapat dipercaya,  jujur, dan lain-lain.(al-Ahwani,tth. : 127).
Akhlak menurut penjelasan di atas, merupakan bagian dari kepribadian. Sedangkan kesantrian adalah bagian dari akhlak, karena kepribadian kesantrian belum merealisir seluruh nilai-nilai akhlaq al-karîmah dalam Islam.  Akhlak di sini ditinjau  dari segi materi yang berpengertian sempit bukan secara luas. Sebab jika akhlak dilihat dari pengertian yang luas kata akhlak sudah mengakomodir seluruh aspek dalam agama tersebut. Sebagaimana sabda Rasulillah saw : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari dan Baihaqi ) Demikian juga Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi menjawab : “Akhlak beliau adalah al-Qur’an” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)             
            Makna Hadis di atas, akhlak adalah seluruh ajaran agama Islam dengan segala aspeknya, tidak  secara  persial.  Lebih dari itu al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak adalah  suatu sifat atau keadaan  yang telah tertanam dalam jiwa yang dapat direalisasikan  dalam berbagai  perbuatan dengan mudah tanpa dipikir-pikir dulu. Jika sifat-sifat yang direalisasikan itu baik dan terpuji baik menurut ratio maupun menurut syara’, maka dinamakan akhlak yang baik dan jika perbuatan yang direalisasikan  itu buruk maka sifat itu dinamakan akhlak yang buruk (al-Ghazali,tth. : 53)
            Dari definisi di atas  akhlak adalah bantuan nafsaniah dan tetap pada nafsani  itu sendiri. Nafsani seseorang bukanlah  sesuatu yang beku dan kaku tetapi ia membentuk diri  dalam nilai-nilai akhlak yang kemudian menampakkan diri menjadi sifat-sifat yang mewarnai tingkah laku seseorang  adakalanya tercela dan adakalanya terpuji. Meneliti nafsani berarti membongkar dokumen pribadi, mencari dan menghitung-hitung  cela diri   yang terselip pada perbendaharaan  nafsani dan setelah itu  ada usaha mawas diri  untuk membentuk kepribadian. Sedangkan kepribadian seseorang adalah nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai moral. Jadi akhlak adalah bagian dari kepribadian dan kemudian diusahakan untuk membentuk kepribadian, karena walaupun  akhlak bentukan  nafsani yang abstrak, tetapi dimanifestasikan  dalam bentuk sifat-sifat yang  mewarnai segala tingkah laku  seseorang yang harus melibatkan melalui nafsu dengan berbagai macamnya, jasmani dan rohani.
        
2. Pembentukan Kepribadian Santri
            Kepribadian seseorang tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, akan tetapi harus dibentuk dan dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan  ke arah tujuan yang sesuai dengan kepribadian yang diinginkan. Oleh karena itu perlu proses yang disebut dengan pembentukan kepribadian. Pembentukan kepribadian ini dijadikan etika dan metode pembelajaran sehingga tercapai sebuah tujuan pembelajaran yang ditentukan yaitu kepribadian kesantrian pula. Di sini ada perbedaan antara  pembentukan kepribadian santri dalam proses motivasi dengan kepribadian santri yang sudah menjadi tabiat watak yang menjadi tujuan pembelajaran.
 Menurut kitab Ta’lîm al-Muta’allim pembentuk kepribadian adalah beberapa  faktor  berikut :
a. Santri (al-muta’allim),
b. Guru (al-Ustadz) dan
c. Bapak  (al-Abu)  (Ibrahim bin  Ismail : 21).
d. Teman (al-Syarîk ) (Ibid : 15-16)
Syeikh al-Zarnujî menomorsatukan faktor santri, karena meskipun ia menjadi obyek pendidikan yang harus dibentuk kepribadiannya, namun santri harus proaktif  dalam usha pembentukan kepribadian tersebut, karena pada dasarnya  santri sebagai anak  sudah mempunyai potensi fithrah Islamiah sejak dilahirkan. Di sini berarti al-Zarnujî sangat menghargai potensi santri, santri tidak dianggap sebagai benda mati, tetapi makhluk hidup yang berpontensi dan dapat berbuat dan berkembang sesuai dengan pengembang di sekelingnya. Segala etika dan metode pembelajaran selalu diarahkan kepada santri atau pencari ilmu, misalnya santri hendaknya mempunyai niat yang baik dalam mencari ilmu yakni  mencari rida Allah, tekun dan ulet tahan, membawa pena di mana saja untuk mencatat ilmu.     
Pesantren adalah  merupakan kelanjutan pendidikan si anak didik yang telah diawali  dari orang tua dalam keluarga. Komunmitas  pesantren terdiri dari santri, guru (ustadz)  dan Kyai. Para ustdaz dan Kyai inilah yang  menjadi orang tua santri di dalam pesantren bahkan disebut lebih tinggi yakni bapak dalam agama. Hubungan antara Kyai, Ustadz dan santri  seperti hubungan antar keluarga yang saling menyayangi dan menghormati.  Di samping itu lingkungan pesantren  adalah lingkungan religius  yang dapat menggabungkan antara ilmu teoritis dan pragmatis. Anak-anak santri dalam pesantren terbina dengan pendidikan yang optimal dan lingkungan yang sangat mendukung.
  Kitab Ta’lîm  di atas menyebutkan  faktor lingkungan teman atau bermasyarakat sebagaimana dalam pendidikan modern, bahklan beliau sangat mengutamakan dalam bab tersendiri yang disebut sebagai al-Syarîk = sekutu, rekanan, teman persekutuan. Interpretasi kata tersebut oleh  Dr. Ahmad Syalabi  mengingat suatu kemanfaatan bersama yang menghubungkan teman dengan teman  dan mengingat pula bahwa kerja sama antar mereka menghasilkan  berbagai kebaikan untuk mereka bersama. Sebagaimana yang terjadi antara dua orang berserikat  dalam suatu perdagangan  atau usaha-usaha keuangan lainya.  Karena kerja sama dan keikhlasan masing-masing pihak terhadap lainnya akan mendatangkan laba yang banyak bagi mereka bersama dan mempunyai pengaruh  yang besar untuk memasukkan  tujuan bersama yang diusahakan mencapainmya oleh mereka berdua. (Ahmad Syalabi : 315).
Dengan demikian al-Zarnujî sudah meletakkan sejak awal pembentuk kepribadian atau pengaruh  dalam pendidikan ada tiga faktor sebagaimana dalam pendidikan modern yaitu ; santri atau murid itu sendiri, guru berarti lingkungan sekolah, orang tua lingkungan rumah tangga dan masyarakat yakni teman pergaulan.
Kepribadian santri adalah tujuan akhir pendidikan kitab Ta’lîm al-Muta’allim sedangkan tujuan pendidikan di pesantren pada umumnya  lebih mementingkan pendidikan akhlak. Oleh karena itu segala upaya dan usaha pesantren pada umumnya  diarahkan untuk membentuk kepribadian kesantrian. Kepribadian dalam proses pembentukannya dapat berlanjut dengan baik  asal ada kontinuitas pendidikan yanmg dialami  individu dalam kehidupan  yang membawa kontinuitas perobahan kepribadian. Kepribadian itu secara kontinuitas mengalami proses  pembentukan sampai kepada tingkat  kedewasaan yang stabil. Itupun kemungkinan besar masih akan mengalami  perobahan hanya agak lamban, sehingga kepribadian  yang diperoleh  bentuknya seolah-olah tidak berobah lagi.
Kemudian aspek-aspek kepribadian  yang meliputi aspek jasmani, aspek rohani dan jasmani masing-masing mempunyai potensi. Aspek  jasmani, meliputi seluruh tenaga yang bersumber pada  pisik dibentuk oleh tenaga jasmani. Aspek   nafsani meliputi karsa, rasa dan cipta dibentuk oleh tenaga nmafsani. Sedang  aspek  rohani yang luhur dibentuk oleh tenaga budhi.       
            Ada tiga  proses pembentukan  kepribadian santri, yaitu sebagai berikut :
            a. Pengulangan dan  Pembiasaan
            Dalam pembiasaan al-Zarnujî menggunakan teori pengulangan (trail and eror). Menurutnya,  jika pelajaran pertama yang diajarkan itu memerlukan waktu  yang lama dan santri memerlukan pengulangan 10 kali, maka sampai akhirpun demikian sehingga menjadi kebiasaan. Pembiasaan seperti itu akan sulit dihilangkan kecuali dengan susah payah. Dikatakan, bahwa pelajaran satu huruf pengulangannya 1000 kali.( Ibrahim Ismail/tth. : 28)
            Pembiasaan membentuk aspek kejasmaniahan dari kepribadian atau kecakapan  berbuat dan mengucapkan sesuatu dengan dibantu tenaga-tenaga nafsani.  Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan untuk membentuk kepribadian yang dinginkan. Misalnya pembiasaan melaksanakan salat sejak kecil, pembiasaan hormat kepada guru, pembiasaan berkata jujur dan lain-lain.
             Sidi Gazalba menjelaskan, pendidikan adalah proses yang kontinu. Ia merupakan pengulangan yang perlahan-lahan tetapi serba terus sehingga sampai pada bentuk yang diingini. Laksana tetesan air yang serba terus menitik akhirnya membolongi batu, demikianlah misal dari proses  aspek pendidikan (Sidi Gazalba : 15)   
            Dengan pembiasaan yang kontinu pribadi santri yang sekeras apapun lambat laun akan dapat diukir sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidik. Pengulangn yang ditawarkan oleh kitab Ta’lîm al-Muta’allim tidak tanggung-tanggung satu huruf diulang sampai 1000 kali. Ini ungkapan yang menunjukkan betapa pentingnya pengulangan yang tidak ada bosan, atau diartikan banyak kali.
            b. Pembentukan kognisi
            Nilai-nilai kepribadian santri yang ditanamkan  akan membentuk pengertian (kognisi), minat dan sikap melalui pengajaran, ceramah, konsultasi pribadi dan lain-lain. Misalnya cinta dan taat kepada Allah,  Rasul, Kyai, ulama,. guru   dan para pimpinan, cinta ilmu, ikhlas dalam pengabdian, wara’ (memelihara diri dari haram), tawadhu’ (merendahkan hati),  menjauhi sifat-sifat tercela dan  lain-lain.
            Pembentukan kognisi sesuatu yang berproses yang berlaku pada seseorang  dengan memberikan interpretasi  pada miliau. Samuel Soeitoe mengatakan, bahwa  hendakanya anak dikenalkan beraneka ragam pengertian melalui proses kognisi. Perkembangan kepribadian pada anak dipengaruhi oleh pengertian-pengertian  yang dikuasai oleh anak. (Samue Soeitoe, 1982 : 54)
       Dalam membentuk pengertian, minat dan sikap mengenai  dasar dan pokok sebagaimana dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim  tersebut, perlu diperhatikan  bahwa manusia yang ingin dibentuk  adalah manusia secara keseluruhan melalui tenaga-tenaga aspek kepribadian.  Dengan mempergunakan akal pikiran  dapat ditanamkan pengertian ikhlas dan lain sebagainya  yang akan membentuk sikap  dan pandangan seorang santri. Sedangkan pembentukan aspek nafsani dengan mempergunakan tenag-tenaga karsa, rasa dan cipta yaitu dengan memberi pengertian dan  poengetahuan  tentang amalan-amalan  dan ucapan-ucapan yang biasa dilakukan oleh  para santri dan penanaman dasar-dasar kesusilaan serta pokok-pokok kepercayaan.
c. Pembentukan rohani 
            Pembentukan rohani  adalah dengan memperbanyak dzikir, misalnya wirid, dzikir dan berdo’a setelah salat wajib, melanggengkan wudhu,  dalam keadaan bersuci dari hadats ketika mudzakarah, membaca kitab dan lain-lain (Ibrahim Ismail : 45-47). Alat utama  untuk membentuk kerohaniahan  adalah budhi dibantu  oleh tenaga-tenaga kejiwaan yang akan menghasilkan adanya kesadaran dan  pengertian yang dalam. Segala pemikiran, pemilihan dan keputusan didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sendiri.
            Ahmad D Marimba mengemukakan,  bahwa budhi adalah inti tenaga dalam taraf pembentukan  ini dan budhi pulalah justru yang dibentuk dalam taraf ini. Budhi yang telah dapat bekerja dengan baik akan  mendapat pengaruh-pengaruh  dari alam ghaib, dari alam jin mukminm, dari alam malakût dan lâhût. (Ahmad D Marimba/1974 : 86-87)
            Lingkungan pesantren sangat mendukung  pembentukan rohani ini, karena suasana relegius karena kesatuan sistem pendidikannya dari madrasah, asrama dan masjid. Para santri melaksanakan segala aktifitas di pesantren seperti air mengalir artinya sangat mudah beraktifitas karena terbawa oleh kingkungan  di sekitarnya,  seperti shalat berjamaah,  dzikir setelah shalat, mengaji kitab dari waktu ke waktu, mengaji al-Qur’an daln lain-lain. Suasana ini sangat mendukung dalam membentuk dan memperbaharui iman dan pembentukan rohani santri sebagaimana Rasululllah saw bersabda : “Perbaharuhilah imanmu dan perbanyaklah membaca “Ttidak ada Tuhan selain Allah” (HR. Ahmad)

C. Sifat-sifat Kepribadian Kesantrian
            Sebagaimana keterangan di atas bahwa kepribadian santri dijadikan sebagai etika atau metode untuk mencapai tujuan pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran itu sendiri yakni agar sifat-sifat kepribadian itu  melekat menjadi watak,  tabiat dan pribadi. Paparan ini akan menjelaskan sifat-sifat keperibadian santri. Yang perlu dimaklumi terlebih dahulu, bahwa kepribadian  adalah keseluruhan sifat-sifat jasmani, rohani dan nafsani yang sudah menjadi watak seseorang sehingga membedakan   antara pribadi satu dengan lainnya. Namun,  bisa dikatakan bahwa kepribadian  yang terikat dengan kesantrian mempunyai persamaan atau hampir sama karena satu proses dan satu  produk pendidikan serta  lingkungan yang sama. Kepribadian adalah suatu hal yang abstrak dan non indrawi, tetapi dapat dilihat beberpa indikatornya yang disebut dengan sifat-sifat kepribadian santri. Di antara sifat kepribadian santri  yang sangat menojol  adalah  sebagai berikut :
1. Ketekunan dalam pembelajran
            Di antara motivasi yang diberikan kitab Ta’lîm untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran adalah kesungguhan, sebagaimana yang disebutkan di sebagaian sebab-sebab tercapainya hapalan adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi makan,  shalat layl (salam malam hari) dan membaca al-Qur’an. Dikatakan,  bahwa tidak ada sesuatu yang lebih menambah daya hapal terhadap ilmu melainkan membaca al-Qur’an. (Ibrahim Ismail : 40)
            Ketekunan dalam pembelajaran  yang ditawarkan adalah ketekunan lahir batin atau ketekunan pisik dan non pisik. Ketekunan pisik adalah ketekunan rasional yakni  kerja keras secara kontinui. Sedangkan ketekunan non pisik adanya pendekatan kepada Allah swt seperti berpuasa, mengurangi makan, shalat malam dan membaca al-Qur’an.

2. Ikhlas dalam pengabdian
            Dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengabdian yang ditanamkan kepada santri  di samping  pengabdian kepada Allah adalah   pengabdian kepada guru. Guru di sini diposisikan seperti dokter  terhadap pasiennya, keduanya tidak akan mengantarkan  kesuksesan jika tidak dipatuhi.( Ibrahim bin Ismail : 18). Pengabdian kepada guru dimaksudkan  sebagai penghormatan dan kepatuhan, karena guru sebagai sumber ilmu  yang sangat berharga.  Penghormatan tersebut merupakan kewajiban santri terhadap orang alim,  bukan guru yang  minta dihormati. Sebagaimana   sabda Nabi  saw :
“Tidak tergolong umat kami barang siapa yang tidak menghormati orang  tua di antara kami,  tidak menyayangi yang lebih kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami”. (HR. Ahmad).
            Ali bin Abi Thalib meskipun salah seorang  sahabat yang sangat alim sampai dikatakan Nabi sebagai “Pintu Kota Ilmu”  menghambakan dirinya terhadap guru. Sebagaimana kata beliau : “Saya hamba orang yang mengajar aku satu huruf, jika ia  berhendak  menjual aku atau memerdekakan dan atau tetap menjadikan buda”. (Ibrahim bin Ismail : 16)
            Pada umumnya santri yang banyak membantu guru adalah santri yang dekat dan  dicintai guru. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi santri dengan berharap ilmu yang didapatkannya mengandung keberkahan. Dan konsep seperti itu banyak dibuktikan para alumninya setelah pulang ke kampung halaman. Mereka sekalipun tidak terlalu banyak ilmunya tetapi mendapat kepercayaan masyarakat untuk membangun madarasah atau pesantren yang banyak  santrinya.

3. Cinta dan Menghormati Ilmu    
            Ada  beberapa metode  yang dilakukan para santri sebagaimana yang dianjurkan kitab Ta’lîm dalam mencapai keberhasilan pembelajarannya, di antaranya menghormati ilmu itu sendiri, menghormati kitabnya dan menghormati guru  sebagai sumber ilmu serta  keluarganya.
a. Menghormati ilmu
Di antara cara menghormati ilmu adalah melanggengkan wudhu (bersuci) selama pembelajaran berjalan. Alasan yang dikemukakan al-Zarnujî adalah ilmu itu cahaya, berwudhu juga cahaya, cahaya ilmu akan bertambah dengan cahaya berwudhu (Ibrahim : 18). Syeikh al-Zarnujî menganjurkan agar  para santri benar-benar mendengarkan dan memperhatikan ilmu yang disampaikan guru dengan penuh ta’zhim dan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengar berkali-kali. Sebagaimana kata beliau dengan mengutip  kata sebagian ulama, bahwa orang yang  ta’zhimnya kepada guru (dalam ilmu ) setelah mendengar 1000 kali tidak seperti ta’zhimnya pada pertama  kali, tidak tergolong  ahli ilmu (Ibrahim : 19).
Retorika Ta’lim memang indah sesuai dengan psichlogi para santri yang pada umunya anak remaja atau muda. Setiap pesan-pesan yang diberikan selalu dibungkus dengan motoivasi-motivasi yang menarik jiwa mereka sehingga seorang santri terbawa untuk melaksanakannya dengan senang hati. Misalnya pada  anjuran mendengarkan atau memperhatikan ilmu disertai motivasi menjadi seorang ilmuan atau pakar ilmu.
b.  Menghormati kitab-kitab  ilmu
 Cara lain yang dilakukan adalah menghormati kitab yang berisikan ilmu. Sebagaimana kata al-Zarnujî, bahwa di antara ta’zhim (hormat ilmu) yang wajib  adalah tidak memanjangkan kaki ke arah kitab, menumpuk kitab Tafsir  di atas segala kitab lain karena keagungannya dan  tidak meletakkan sesuatu benda di atas kitab (Ibrahim : 18)  Di sinilah letak perbedaan yang menonjol antara antara santri yang mempelajri kitab Ta’lîm dengan santri  atau pelajar yang tidak pernah mempelajrinya. Bagi santri atau pelajar  yang tidak pernah mempelajarinya tidak merasa salah ketika memanjangkan atau melonjorkan  kaki ke arah kitab, bahkan menarauh kitab sembarangan di tempat yang tidak terhormat. Bahkan meletakkan al-Qur’anpun sembarangan temapt tidak ada rasa ta’zhim dan penghargaan yang tinggi.
Di antara penghormatan kepada kitab ilmu juga menghormati kepada penulisnya, karena penulispun sebagai guru utama baik lagsung maupun tidak langsung. Realisasi penghormmatan para santri dan para guru santri pada umumnya ketika memulai akan membaca  atau mengajarkan sebuah kitab selalau membaca surah al-Fatihah. Atau  selalu mendoakan penulisnya, sebagaimana yang sering dibaca :
قَالَ الشَّيْخُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تعَالَى ونَفَعنَا بهِ وَبُعلُوْمِهِ فِي الدَّارَيْنِ آمين
 Syeikh penulis buku berkata, semoga Allah merohmatinya dan memberi manfaat ilmunya kepada kita dunia akhirat.
c. Menghormati guru dan keluarganya
            Di antara penghormatan terhadap guru yang dipaparkan kitab Ta’lîm, adalah tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru,  tidak memulai berbicara  kecuali dengan izin, tidak banyak bertanya pada saat guru lelah, harus menjaga waktu dan  tidak mengetuk pintu ketika bertamu tetapi sabar sampai guru keluar. Singkatnya santri mencari rida guru, menjauhi yang dibenci guru dan melaksanakan yang diperintah kecuali maksiat kepada Allah. Berikutnya Syeikh al-Zarnujî mengutip dari perkataan Syeikh Imam Sadid al-Dîn al-Syairazî, bahwa para masyâyikh (para gurunya) berkata :  Barang siapa yang ingin   anaknya  menjadi orang alim   hendaknya menghormati para ulama dan para guru terutama yang hidup dalam perantauan. Hormati mereka, agungkan mereka dan beri hadiah. Jika tidak anaknya, cucuknya akan menadi orang alim (Ismail : 17 ).
Sedangkan alinea berikutnya ada motivasi seorang ingin menjadi alim atau anak kalau tidak cucunya hendaklah menghormati guru dan mencari ridanya.
Dalam kitab Ma’a al-Raîl al-Awwal, bahwa Imam Abu Hanifah (w.150 H) mengatakan ; Aku tidak shalat  sejak wafat gurunya  yakni Syeikh Hammad bin Muslim al-Asy’ari (w. 120 H) kecuali aku memohonkan ampunan bersama ayahandaku  dan aku tidak pernah melonjorkan kakiku  ke arah rumahnya yang jaraknya kurang lebih 7 gang. Sungguh aku memohonkan ampunan  kepada orang yang aku pernah belajar dari padanya atau orang yang pernah mengajar aku. (Muhib al-Dîn al-Khathîb,tth. : 68)    
Di antara penghormatan kepada guru adalah menghormatan kepada anak, istri atau  keluarganya. Anjuran ini disertai dengan kisah yang menarik. Seorang Ulama besar  Syeik al-Islam Burhan al-Dîn pengarang kitab al-Hidayah, mengkisahkan bahwa salah seorang ulama senior dari negeri Bukhara duduk di majlis pengajaran, sesekali ulama itu beridiri. Ketika ditanya  para santrinya, beliau menjawab : “Anak guru saya bermain sama teman-temannya di jalanan, ketika aku melihat aku berdiri karena ta’zhim kepada guru saya”.
   Pesan Ta’lîm pada alinea di atas  disertai bukti-bukti pengalaman sejarah, kisah atau peristiwa yang terjadi sebagai kisah ahli didik bagaimana ia dapat mencapai sutu tujuan yang dinginkan dengan cara penghormatannya kepada guru dan keluarganya. Dengan demikian mudah dicerna dan dipahami oleh murid, kartena semua orang pada umumnya senang mendengar cerita-cerita atau kisah orang-orang yang berpengalaman.
Banyak pertanyaan atau diskusi dengan guru   tentang ilmu tidak menghalangi makna ta’zhim (hormat ) terhadap guru. Kitab Ta’lîm sendiri menganjurkan bertanya kepada guru asal pada waktu dan kondisi yang tepat. Ibnu Abbas pernah ditanya, dengan apa engkau berhasil mendapatkan ilmu ?  Ibnu Abbas menjawab : “Dengan lesan yang banyak bertanya dan akal yang banyak berpikir”. (Ibrahim : 31).
            Tradisi sebagian santri atau pelajar yang lebih banyak diam di hadapan guru dan merasa tidak sopan banyak pertanyaan adalah tradisi budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan setempat bukan anjuran dari kitab Ta’lîm,  kitab ini menganjurkan bertanya dengan sopan artinya  sesuai dengan waktu dan  kondisi yang baik. Bukankah Nabi telah mengajarkan penyampaian ilmu dengan tanya jawab. Ketika Jibril datang seperti seorang laki-laki datang duduk manis di hadapan Nabi sambil menyandarkanm kedua lututnya pada kedua lutut Rasulillah dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya dengan penuh ketenangan, penuh perhatian dan penuh ta’zhim. Kemudian Jibril  bertanya tentang iman, Islam dan ihsan. Setelah itu Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ia Jibril datang  kepada kalian untuk mengajar agama kalian”. (HR Muslim)

4. Wara’ (menjaga dari hal yang haram) 
            Di antara sifat pribadi santri adalah wara’ artinya berhati-hati dari barang haram. Bahkan wara’nya santri  yang diajarkan kitab Ta’lîm adalah menjauhi dari syubhat (barang yang tidak jelas statusnya antara halal dan haram), dan menjauhi dari makanan yang kurang berkah. Di antara ungkapan al-Zarnujî, sayogyanya santri menjaga dari makanan pasar jika mungkin,  karena makanan ini lebih mudah terkena najis atau kotoran,  menjauhkan   dzikir kepada  Allah dan lebih dekat kepada kemunafikan, menjadi arah pendangan orang-orang fakir  sedang mereka tidak mampu membelinya sehingga menjadi sedih  sehingga menghilangkan keberkahan. (Ibrahim : 39)
            Memang sulit dan amat berat pada zaman sekarang  seseorang hidup bersifat wara’ menjaga dari hal yang haram, syubhat dan makanan pasar. Apa lagi hidup di kota-kota besar seperti di Jakarta  yang banyak tantangan dan godaannya. Di antara tantangannya hidup yang serba efektif dan efisien seperti budaya makanan yang siap saji bahkan makanan  matang masakan pasar siap disaji. Al-Qur’an perintah makan makanan yang halal dan yang baik (thayib) seperti dalam QS al-Mukminun : 51 :
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51)
            Syeikh Muhammad Alawî al-Malikî memberikan komentar bahwa ayat tersebut memberi isyarat, bahwa makanan yang halal  menolong   untuk beramal saleh. Oleh karena itu Ibrahim bin  al-Adham  berkata : “Buat sebaik mungkin makananmu dan tidak ada alasan engkau tidak bangun pada malam hari untuk beribadah dan berpuasa pada siang hari”. Artinya engkau tidak merasa terbebankan  dan tidak merasa berat melaksanakannya. Taufik Allahlah yang menyertaimu  sehingga engaku ringan menjalankannya. Demikian itu implikasi dari makanan halal, sebab setiap daging yang tumbuh dari makanan haram neraka lebih utama baginya. (al-Maliki/1393 : 107)
             Dengan demikian makanan halal yakni yang   tidak mengandung haram, syubhat dan  yang tidak barakah punya pengaruh dalam pembentukan kepribadian santri yakni peribadi muslim yang berakhlak.

5. Tawâdhu’ (rendah hati)
            al-Zarnujî menukil bait-bait syair tentang  tawadhu’, di antaranya :
Sesungguhnya tawadhu’ itu di antara  sifat orang taqwa
Dan dengan taqwa  inilah seseorang  dapat naik ke derajat yang tinggi
Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong
Bagaikan air musuh bagi tempat yang tinggi (Ibrahim : 12,20)
            Semua sifat-sifat kepribadian yang dipaparkan al-Zarnujî selalu dikaitkan dengan tercapainya tujuan pembelajaran seperti tercapainya ilmu yang bermanfaat sebagaimana  yang disebutkan pada syair di atas. Sifat tawadhu’ adalah sifat rendah hati dengan sesama manusia meskipun banyak kelebihan seperti kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu dan lain-lain. Orang tawadhu’ sekalipun banyak kelebihan tidak membanggakan kelebihannya itu dan tetap hormat kepada orang lain dan tidak merendahkan potensi orang lain.
            Para santri pada umumnya terlatih sifat tawadhu’nya  selama berionteraksi dengan lingkungan di pesantren. Mereka menundukkan kepalanya dan merendahkan suara pada saat berkomuniklasi dengan orang yang lebih tua terutama  dengan gurunya dan  mencium tangan para guru ketika berjabat tangan. Sifat tawadhu’ ini  sedikit demi sedikit menghilangkan sifat kesombongan, anani, sifat ingin dihormati, ingin dilayani dan  lain sebagainya. Sifat rendah hati tidak mesti  bukan berarti menjadi rendah,  akan tetapi menurunklan suhu  emosi dan ambisi kedudukan dan penghormatan yang tidak pada tempatnya.      
            Beberapa sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitab Ta’lim sebagai upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi model rasional yakni model akhlak dan etika yang sesuai dengan kaedah aaran agama Islam. Al-Shabuni dalam bukunya  al-Shafwat al-Tafâsîr menjelaskan, bahwa ilmu ada dua macam yaitu  :
1. Ilmu Kasbi, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang tekun
2., Ilmu Wahbi, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha pembelajaran (outodidak).
            Ilmu pertama diperoleh  dengan kesungguhan, ketekunan dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua  dengan jalan taqwa dan amal saleh sebagaimana firman allah dalam QS. Al-Baqarah/2 : 282  Dan takutlah kepada Allah dan Dia mengajarkan kamu dan Allah dengan segala sesuatu Maha Mengetahui”.  Ilmu ini juga disebut ilmu laduni sebagaimana firman-Nya QS. Al-Kahfi/18 : 66 “Dan ia Kami berikan ilmu dari pada Kami” yaitu ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dari para hamba yang taqwa kepada-Nya (al-Shabuni : 165)
            Demikian juga syair al-Syafi’i  tentang pengaduannya kepada guru tentang hapalannya yang kurang baik.:
            Aku mengadu kepada Imam Waki’ tentang hapalanku yang lemah
            Maka ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalklan segala maksiat
            Beliau menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya
            Dan cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.
            Syair al-Syafi’i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujî dalam kitab Ta’lîm (Ismail .14). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran al-Syafi’i, Muhammad Ali al-Shabuni dan al-Zarnujî tentang perlunya pemndekatan kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk memperoleh ilmu yang bermnanfaat.

E. Penutup
            Kitab Ta’lîm al-Muta’allim mempunyai pengaruh besar dalam membentuk kepribadian santri. Kepribadian santri di samping dijadikan tujuan pembelajaran di pesantren juga dijadikan sebagai metode serta etika pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut. Metode pembelajaran yang ditawarkan Ta’lim ada dua yaitu metode rasional atau pisik dan metode irrasional atau non pisik. Metode rasional  atau pisik  pada umumnya di kalangan santri disebut usaha lahir Sedangkan metode irrasional atau nonpisik disebut usaha batin. Metode pisik sebagaimana yang diajarkan dalam pendidikan modern, seperti metode drill, trail and error dan lain-lain. Metode irrasional adalah metode etika yang  berbentuk akhlak dalan budi pekerti seperti yang sekaligus  merupakan tujuan pendidikan. Metode berganda inilah di antara keistimewaan metode kitab Ta’lim yang diperaktekan oleh mayoritas santri di berbagai pesantren di Indonesia yang juga merupakan kepribadian  santri, seperti tawadhu’, hormat kepada guru dan lain-lain.  
            Dalam kehidupan santri sehari-hari tidak lepas dari  double method  dalam meraih suatu ilu yakni metode lahir dan batin.  Metode lahir untuk menempuh ilmu  kasbi  sedang metode  etika dan akhlak untuk mencapai ilmu wahbi atau laduni. Keseimbangan antara dua metode tersebut  dijadikan suatu metode untuk mencapai ilmu baik kasbi dan laduni. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa membedakanm antara dua ilmu tersebut setelah dimilikinya, keduanya secara sbstansial datangnya dari Allah.







DAFTAR  PUSTAKA
Al-Ahwanî, Ahmad Fuad,  al-Tarbiyah fi al-Islâm, Cairo : Dâr al-ma’ârif, tth
.
Abd al-Qâdir, Muhammad, Thuruq Ta’lîm al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Mesir : Maktabah al-Nahdhah,  tth

Dhafir, Zamakhjsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1984

Gazalba, Sidi, Pendidikan Umat Islam, Jakarta : Bahtera, 1970

Al-Ghazalî, Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn,  Beirut : Dâr al-Fikr,  tth,

Al-Ghulâyayni, Mushthafa, ‘Izhat al-Nâsyi’în, Mesir : al-Ashriyah, tth
   
Ibn Isma’il, Ibrahim, Syarah Talîm al-Muta’allim, Citrebon, al-Maktabah  al-Mishriyah, tth

al-Khathîb,  Muhib al-Dîn,  Ma’a al-Raîl al-Awwal, Beirut : Dar a;l-Fikr, tth.

KMI Pondok Gontor, Khuthbah Iftitah (diktat) dalam Pekan Perkenalan, Ponoroga : 1404 H

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat pendidikan Islam, Bandung : PT al-Ma’arif, 1974

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarata :  Balai Pustaka, 1984

Raharjdo, M. Dawam (ed), Pesantren dan pembaharuan, Jakarta : Mutiara,  1979

Rahmayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002 

Shaleh, Abd. Rahman, et al., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta : Depag RI, 1982

Syalabi, Ahmad,  Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Terjemahan Mukhtar Yahya dan M sanusi Lathif, Jakarta  : Bulan Bintang,  1973

Soeitou, Samuel, Psikologi  Pendidikan : Mengutamakan Segi-Sego Perkembangan, Jakarta : Fak. Ekonomi UI, 1982

Suryapratondo, Suparlan, Ilmu Jiwa Kepribadian, Jakarta : Paryu Barkah, 1980

 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : Rosdakarya, 2007 Cet. Ke-7
Al-Yasû’î, Abu Luwîs, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut : Dar al-Masyriq, tth.
Al-Zarnuji, Talîm al-Muta’allim, Terjemahan Aly As’ad, Kudus : Menara Kudus, 2007 Edisi Baru
Zuhairini, at al., Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya : Usaha Nasional : 1981




[*] Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri  Jakarta