Senin, 03 September 2018

Analisis Materi al-quran Hadis Mts 2008 Aspek tajwid dan Tafsir


ANALISIS MATERI  SUBSTANSI MATA PELAJARAN
AL-QUR’AN HADITS MTs
 (Aspek Tajwid dan Terjemahan)
Abdul Majid Khon [*]

A.    Pengantar
            Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Tsanawiyah yang terdiri atas empat mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. al-Qur'an-Hadits, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. (Permenag No.2/2008).
            Mata pelajaran Al-Qur'an-Hadits MTs ini merupakan kelanjutan dan kesinambungan dengan mata pelajaran Al-Qur'an-Hadits pada jenjang MI dan MA, terutama pada penekanan kemampuan membaca al-Qur'an-Hadits, pemahaman surat-surat pendek, dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Standar Kompetensi Kelulusan (SKL)  Al-Qur'an-Hadits adalah:
1.      Memahami dan mencintai al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam.
2.      Meningkatkan pemahaman al-Qur'an, al-Faatihah, dan surat pendek pilihan melalui upaya penerapan cara membacanya, menangkap maknanya, memahami kandungan isinya, dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan.
3.      Menghafal dan memahami makna Hadits-Hadits yang terkait dengan tema isi kandungan surat atau ayat sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
            Ruang lingkup ranah SK-KD meliputi :
1.     Membaca dan menulis yang merupakan unsur penerapan ilmu tajwid  
2.    Menerjemahkan makna (tafsiran) yang merupakan pemahaman, interpretasi ayat, dan Hadits dalam memperkaya khazanah intelektual.
3.    Menerapkan isi kandungan ayat/Hadits yang merupakan unsur pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
           
B.  Analisis Materi al-Qur’an Hadits
1.                                                                                                       Dari segi kuantitas SK-KD materi al-Qur’an tidak mengalami kemajuan dari materi MI atau dapat dikatakan sama dengan materi al-Qur’an MI, yakni  surah-surah pendek  dari  al-Fatihah sd surah al-Dhuha sebanyak 21 surah atau malah berkurang dari itu. Di sini memang ada keganjilan dari segi materi, surah-surah pendek dari al-Fatihah sampai al-Dhuha menjadi materi SK-KD MI.  Sedang Mts  penyajian materinya  secara tematik dari beberapa surah pendek pilihan sementara MA dari beberapa ayat dari berbagai surah yang ada dalam al-Qur’an. Lantas persoalannya surah-surah lain kapan diberikan ?  Termasuk surah-surah pendek pada juz `Amma atau juz 30 setelah Surah al-Dhuha yakni Surah al-layl sampai dengan al-Naba ?
            Kemungkinan solusi pengembangannya melalui metode penerapan kaedah tajwid dikembangkan dan diperluas  pada berbagai surah dalam al-Qur’an, menggunakan  tugas resetasi misalnya pendekatan information search. Materi bacaan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan siswa tanpa batas surah tertentu, misalnya program membaca bersama pada jam tertentu atau hari tertentu secara terpimpin. Terbuka pada penjelasan atau penafsirannya kiranya dapat  dihubungkan dengan ayat-ayat lain  atau  surah-surah  lain.
            Materi Hadits yang disajikan dalam SK-KD Mts tidak sebanyak materi al-Qur’an. Hadits hanya diberi porsi 5 tema ditambah ilmu dasar  al-Qur’an Hadits 2 tema sama dengan 7. Tentunya porsi Hadits sangat minim, bahkan lebih banyak materi Hadits pada MI yang mencapai 10 tema Hadits.  Perbandingan materi Hadits dan al-Qur’an pada Mts  adalah 7 : 16 berarti sekitar  44 %  dari materi al-Qur’an. Sisi lain secara fungsiaonal Hadits merupakan penjelas terhadap al-Qur’an, selayaknya hubungan Hadits dengan al-Qur’an secara integral. Artinya dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin tanpa menyertakan Hadits Nabi, karena Nabi dalah penafsir utama yang lebih paham tentang makna al-Qur’an (QS. al-Nahl/16 : 44)
            Alternatif pengembangan materi Hadits ada beberapa kemungkinan; misalnya dengan  menampilkan beberapa Hadits yang semakna atau yang dekat dengan tema, setiap penjelasan atau penafsiran ayat atau surah al-Qur’an,  selayaknya dijelaskan dengan Hadits Nabi. Atau ada tugas tambahan yang berbentuk mahfûzhat hapalan Hadits-Hadits pendek.  

C.  Analisis al-Qur’an Hadits Aspek  Tajwid
1.                                                                            Baca Tulis al-Qur’an (BTQ)
Banyak siswa yang hapal surah-surah pendek tertentu tetapi belum bisa membaca al-Qur’an. Ketika siswa disuruh memegang kalam untuk menunjuk huruf yang dibaca, kalamnya ke mana-mana tidak sesuai dengan yang dibaca, padahal terampil dan lancar hapalannya. Atau  ketika disodorkan bacaan al-Qur’an surah-surah yang panjang seperti surah al-Baqarah tidak berbunyi. Ini suatu indikasi bahwa anak belum bisa atau belum menguasai bacaan huruf al-Qur’an. Guru  bisa melatih tulisan yang ada di papan tulis  atau whait board dengan cara menunjuk atau tulisan di buku dengan cara menunjuk.
Pembelajaran awal yang paling esensial adalah pengenalan baca tulis huruf al-Qur’an. Karena bagaimanapun anak tidak bisa belajar al-Qur’an Hadits manakala tidak menguasai baca tulis huruf al-Qur’an. Siswa harus sering diberi tugas menulis ayat-ayat al-Qur’an Hadits dengan tangannya sendiri, agar terlatih dan mampu menulis Arab dengan benar dan baik, jangan biarkan siswa yang malas menulis Arab dan kemaunnya foto kopi saja. Demikian juga jangan biarkan guru yang member tugas foto kopi saja, akibatnya murid but abaca tulis al-Qur’an. Guru harus serius untuk memberantas buta baca tulis huruf al-Qur’an ini melalui beberapa pendekatan:
a.    Mulailah dari pengenalan yang sederhana secara sabar tetapi  anak mengerti huruf, misalnya dari huruf satuan dan huruf kesatuan, dengan pendekatan BPH (Bongkar  Pasang Huruf) yang dikenal  metode Gestalt atau Gelobal  dan lain-lain.   
b.   Lakukan metode yang bervariatif seperti Iqra, Qira’ati, al-Baghdadi, al-Barqî dan lain-lain.
c.     Lakukan pula  analisis metode mana yang lebih tepat dipakai untuk anak-anak tingkat dasar.
Sekalipun dalam silabus al-Qur’an banyak hapalan, diharapkan hapalan plus yakni  hapalan  yang paham bacaan dan tulisan bukan hanya hapalan dari pendengaran. Akibatnya, banyak anak lulus MTs tetapi masih belum bisa membaca dan menulis huruf al-Qur’an. Menghapal yes, tetapi membaca no, menulis no !
   
2.                                                                            Materi Tajwid
Ada dua macam metode dalam penyajian materi Tajwid, yaitu metode induktif (istiqrâ’iy) dan metode deduktif (istinbâthî). Untuk lebih jelas berikut ini paparannya:
a.    Metode induktif (istiqrâ’iy)
Metode induktif  adalah  metode penyajian dimulai dari hal yang konkrit yaitu  beberapa contoh kemudian dianalisis dan disimpulkan menjadi kaedah umum atau  dari kasus-kasus yang khusus kemudian menjadi kaedah  umum atau penyimحul rataan. Misalnya dalam pembelajaran Izhar dan Idgham  ajaklah membaca contoh-contoh berikut  terlebih dahulu   kemudian dianalisis dan disimpulkan  :
 أَنْعَمْتَ                            مِنْ نِعْمَةٍ
يَنْهَى                               فَمَنْ يَعْمَلْ
وَانْحَرْ                              خَيْرٌمِنْ
مِّنْ خَوْفٍ                           عَنْ رَبِهِمْ
مِنْ عَلَقٍ                            لَهَبٍ( 3) وَامْرَأَتُهُ
مَنْ خَفَّتْ                         حَبْلٌ مِن مَسَدٍ
كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ                       رَسُوْلٌ مِنَ اللهِ
نَارٌحَامِيَة                           يَوْ مَئِذٍ يَصْدُرُالنَّاسُ
                                 
Siswa diajak membaca yang benar, bagaimana perbedaannya antara bacaan kelompok kanan dan kelompok kiri apa saja yang  ditemukan. Nun sukun dan tanwin pada kkelompok kiri dibaca jelas nun sukun dibaca jelas dan tanwin juga dibaca jelas ketika bertemu dengan huruf ‘ain, ha, ha, dan kha, bacaan jelas itu disebut Izhar. Sedangkan kelompok kanan Nun sukun dan tanwin hilang bacaannya dan menyatu dengan huruf setelahnya ketika bertemu dengan huruf nun, ya, mim, ra, dan waw. Penyatuan bacaan nun sukun dan tanwin pada huruf setelahnya itulah disebut Idgham. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
1)      Apa bila  nun sukun atau  tanwin bertemu dengan salah satu huruf ‘ain, ha, ha, dan kha bunyi nun sukun dan tanwin dibaca  jelas  (Izhar) ِِ
2)      Apa bila nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf nun, ya, mim, ra, dan waw bunyi nun sukun dan tanwin dibaca meyatu dengan huruf setelahnya (Idgham).

b.    Metode deduktif (istinbâthiy)
Metode deduktif atau istinbathiy adalah seperti yang umum dipakai mayoritas buku-buku Ilmu Tajwid di sekitar kita, yakni dari kaedah atau definisi terlebih dahulu kemudian diberikan contoh. Pemberian kaedah atau definisi ini bentuknya masih abstrak seolah masih di di dunia mimpi, maka perlu diajak ke dunia nyata dengan analisis induksi.  Kelemahan metode deduktif di sini siswa cenderung hapal definisi dan contoh-contohnya tetapi kurang  analisis yang tajam dan kurang dapat mengembangkannya, kecuali jika menggunakan metode campuran.
      Tugas penelusuran atau pembedahan ilmu Tajwid bab tertentu dalam surah tertentu sangat penting dilakukan secara berulang-ulang untuk melatih kecerdasan  anak mempraktekkan penerapannya  ke lapangan di samping bersifat pendalaman teori yang telah diberikan. Misalnya cari dan telusuri bacaan Ikhfa dalam surah al-Dhuha. Tugas seperti ini membuat siswa  kreatif dan aktif dalam mengembangkan dan menerapkan pengetahuannya di lapangan di samping lebih efektif tidak menghabiskan jam pelajaran di kelas.
        Pembelajaran  Ilmu Tajwid sebaiknya menggunakan metode induktif (istiqrâ’î) lebih baik dari pada metode deduktif (istinbâthî) atau menggunakan metode campuran keduanya. Metode deduktif membuat siswa menghapal dan kurang analisis. Metode induktif akan lebih aktif karena siswa diajak ke dunia nyata apa yang dilihat, apa yang disaksikan,  apa yang dirasakan dan apa yang ditemukan baru kemudian disimpulkan. 

3.    Makharijul Huruf dan Gharaib
Materi Tajwid Mts merupakan penyempurna atau  pelanjut materi Tajwid di MI. Materi Tajwid di Mts hendaknya sudah tuntas, karena  SK-KD  MA sudah tidak diberikan lagi, siswa Mts dianggap sudah menguasai atau sudah  matang dalam  ilmu Tajwid.   SKKD materi Tajwid  hendaknya  dikembangkan  secara mendalam terutama materi esensial yang belum diungkap secara eksplisit dalalm SKKD tersebut, misalnya tempat keluarnya huruf dalam bacaan yang benar (makhârij al-hurûf),  sifat-sifat huruf dan keanehan membaca al-Qur’an yang tidak sesuai dengan kaedah tajwid yang disebut Gharâib al-Qira’ah.
            Peluang mengajarkan makhârij al-huruf dan sifat-sifatnya dapat dilakukan secara metode praktis mengingat dibatasi waktu jam pelajaran. Misalnya materi ini diberikan langsung  pada saat mengajarkan bunyi huruf, membaca al-Qur’an murattal dan lain-lain. Demikian juga gharâ’ib al-qira’ah dapat diakukan seperti tersebut atau tadarus sima’an al-Qur’an  atau pengajaran ekstra kurikuler.
Materi makharij dan sifat huruf diutamakan praktik dan menirukan bacaan guru dari huruf ke huruf sehingga benar. Berikut ini contoh peta makharijul huruf dan Shifat-shifat Huruf (https://www. google.com/search?q =makhorijul+huruf &client =firefox-a&hs=Gj2&rls=org.mozilla:en)


https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRjpuZySB0XYDW8UvU_ijf7syuoPvWoWSWZYBKdylDZg9lIJIa0EwSecara garis besar sepuluh Sifat Huruf yang penting dikuasai: )http//mnasrullohrz.blogspot/makhorijul huruf.com/(
1. جَهْرٌ  (Jahar) = menahan nafas, hurufnya ada  19 yaitu :
عَظُمَ وَزْنُ قَارِئٍ ذِيْ غَضٍّ جِدٍّ طَلَبَ
2. هَمْسُ  (Hamas) = mengalirkan nafas.  Hurufnya ada 10 yaitu : فَحَثَّهُ شَخْصٌ سَكَتَ
3. شِدَّةٌ  (Syiddah) = Menahan aliran suara.  Hurufnya ada 8 yaitu : اَجِدُ قِطَّ بَكَتْ
4. رَخَاوَةٌ  (Rakhâwah) = mengalirkan suara. Hurufnya ada 16 yaitu :
خُذْ غَثَّ حَظَّ فّضَّ شُوْصٍ زَيَ سَاهٍ
5. اِسْتِعْلاَءٌ  (Isti’lâ’)=  mengangkat lidah ke langit-langitan. Hurufnya ada 7 yaitu : خُصَّ ضّغْطٍ قِظْ
6.اِسْتِفَالٌ  (Istifâl) = Merendahkan lidah dari langit-langitan. Hurufnya ada 22 yaitu :
ثَبَتَ عِزُّ مَنْ يُجَوِّدُ حَرْفَهُ اِنْ سَلَّ شَكَا
7. اِطْبَاقٌ  (Ithbâq) = Lidah menentang ke langit-langit mulut Hurufnya ada 4 yaitu : صَضْطَظَ
8. اِنْفِتَاحٌ  (Infitâh ) = Membuka ruangan antara langit-langit dan lidah yang menentangnya. Hurufnya 25 yaitu:
مَنْ اَخَذَ وَجَدَ سَعَةً فَزَكَا حَقٌّ لَهُ شُرْبُ غَيْثٍ
9. اِصْمَاتٌ  (Ishmat)= Menahan agar lidah tidak menaik Hurufnya ada 23 yaitu :
جَزُّ غِشَّ سَاخِطٍ صَدَّ ثِقَةٍ اِذْوَعَظَهُ يَحُضُّكَ
10 اِذْلاَقٌ (Idzlaq) = Menaikkan tepi lidah atau tepi bibir. Hurufnya ada 6 yaitu : فَرَّ مِنْ لُبٍّ
  Gharaib ada kalanya dalam tulisan dan adakalanya dalam bacaan. Tulisan karena mengikuti khath Utsmani sedang dalam bacaan minimal guru menguasai salah satu dari 7 imam sepeti qira’ah Hafash yang biasa diikuti mayoritas muslim di Indonesia.
 Berikut contoh gharâib al-Qira’ah:
No.
Tulisan
Keterangan Bacaan
01
وَيَبْصُطُ
Al-Baqarah/2:245, Shu ( صُ ) dibaca Su (سُ), huruf shad dibaca sin biasa. Oleh karena itu sebagian Mush’haf menulis sin kecil di atasnya, dibaca  : وَيَبْسُطُ
02
َبصْطَةً
Al-A`râf/7: 69, Huruf shad ( صْ ), dibaca   sin (سْ) dibaca  :    بَسْطَةً
03
مَجْرَىهَا
Hud/11:41, Huruf Ra ( رَ ) dibaca Imâlah (اِمَالَة ), artinya  kecenderungan fathah kepada kasrah  kurang lebih 2/3 ataun 33,3 % sehingga seolah-olah dibaca  Re. Bagi Imam `Ashim bacaan Imâlah dalam al-Qur’an hanya satu tempat ini.
04
لاَ تَأْمَنَّا
Yûsuf/12 : 11, Huruf Nun yang bertasydid (  مَنَّا ) dibaca Isymâm  ( اِشْمَامْ,) artinya setelah mendengungkan (meng-ghunnh-kan) Nun kemudian bibirnya monyong maju dan ditahan satu harakat, karena asalnya  لاَ تَأْمَنُنَا 
05
بِئْسَ اْلاِسْمُ
Al-Hujurât/ 49 : 11,  Lam Alif  (  لاِ) dibaca kasrah Lam-nya, sedangkan kata Ismun (  اِسْمٌ ) hamzahnya tidak dibaca. Jadi bacaannya  بِئْس لِسْمُ . Alasannya adanya pertemuan dua huruf yang mati keduanya dalam satu tempat yaitu matinya  lam ( الْ  ) dan Sin  ( سْ  ) maka huruf mati yang pertama dihidupkan dengan kasrah sesuai dengan kaedah bahasa Arab :
 " وَالسُّكُوْنُ اِذَا حُرِّكَ حُرِّكَ بِالْكَسْرِ  "
“Sukun (huruf mati) jika dihidupkan, hidupkanlah dengan dengan kasrah”.
Alasan kedua Hamzahnya lafazh Ismun sebagai hamzah washal, jika dipertengahan tidak terbaca.
06
اَءَ عْجَمِيٌّ
Fushshilat/ Hamîm al-Sajdah/41 : 44, Hamzah kedua A ( ءَ ) dibaca Tas’hîl (  تَسْهِيْل), artinya hamzah diperlunak dibaca tengah-tengah antara hamzah dan alif menyambung dari bacaan hamzah pertama tanpa dipanjangkan.  Seolah-olah Hamzah kedua tersebut  menjadi antara alif dan hamzah mati yang menyambung  bacaan hamzah pertama.
 

D.      Analisis  al-Qur’an Hadits Aspek Terjemahan (Tafsir)
Metode penyajian al-Qur’an Hadits Mts pada umumnya  menggunakan dua metode yaitu metode tahlîlî  dan maudhu’î. Untuk lebih jelasnya berikut ini uraiannya sebagai berkut:
1.        Metode tahlîliy adalah menjelaskan  makna ayat-ayat al-Qur’an atau teks Hadits  secara terurai sesuai dengan urutan ayat demi ayat  atau  urutan surah demi surah dan dari kalimat ke kalimat.
Metode tahlîliy atau yang dinamai oleh  Baqir al-Shadr sebagaimana yang dikutip oleh M Quraysh Shihab sebagai metode ta’jîziy adalah  satu metode tafsir yang  yang mufassirnya berusaha  menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an  sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.
2.      Metode maudhu’iy (metode tematik) adalah menampilkan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi sesuai dengan tema tertentu i kemudian ditafsirkan atau dijelaskan makna  kandungannya sebagaimana penefsiran para ulama.
            Tafsir  Metode maudhu’î adalah  mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan ayat yang berkaitan  dengan persoalan atau topic yang ditentukan sebelumnya. Kemudian mufassir membahas  dan menganalisis  kandungan ayat-ayat  tersebut sehingga menjadi  satu kesatuan yang utuh. (M Quraysh Shihab, 1996: 86-87)
Pendekatan penyajian al-Qur’an  Hadits yakni secara  tematik (mawdhû’î) dalam hal pemahaman arti atau kandungannya serta penerapannya akan lebih baik, lebih memudahkan dan lebih menggaerahkan siswa.  Pemahaman al-Qur’an layaknya diambil dari ayat-ayat pendek yang berkaitan dengan tema Hadits dan layaknya ayat-ayat yang ada di sekitar surah-surah pendek atau ayat-ayat pendek yang ada dalam al-Qur’an. Atau sebaliknya adanya  tema-tema tertentu disesuaikan ayat-ayat dan hadits-haditsnya.  Misalnya dalam salah satu tema ayat atau Hadits tentang fenomena alam  dihubungkan dengan gunung Merapi yang meletus, banjir yang melanda suatu daerah dan seterusnya.
Sistematika pembelajaran yang aktif baik materi al-Qur’an maupun Hadits adalah sebagai berikut :
1) Teks ayat atau Hadits
2) Kosa kata (mufradât) terbimbing, agar siswa mampu menerjemahkan  sendiri
3) Terjemahan secara mandiri
4) Penjelasan kandungan 
5) Pelajaran yang dipetik dari kandungan (kesimpulan)
Teks ayat atau Hadits ditulis di papan, white board atau di layar monitor. Tulisan guru  hendaknya  benar, berharakat, lurus garis dan indah, agar  siswa terbiasa menulis yang benar dan indah. Kosa kata dimaksudkan arti  kata yang dianggap sulit oleh siswa tidak seluruhnya dan tujuannya pembekalan kepada siswa agar mampu menerjemahkan teks tersebut secara mandiri dengan dibantu kosa kata ini.
Terjemahan atau alih bahasa dapat dilakukan dengan mudah jika arti kosa kata dalam teks  sudah dikuasai, di samping adanya kemampuan menyusun bahasa Indonesia dengan kalimat  yang benar dan  baik. Sususnan bahasa Arab berbeda dengan susunan bahasa Indonesia, siswa harus diajak berkemampuan membedakannya. Dalam Jumlah fi’liyah susunan kalimatnya  Prediket + Subyek + Obyek sedang dalam bahasa Indonesia susuna ini tidak populer. Susunan kalimat  yang populer adalah SPO.
Misalnya dalam bahasa Arab :
قَرَأ  مُحَمَّدٌ الْقُرْآنَ = Muhammad membaca al-Qur’an
Susunan di atas  terjemahan asalnya adalah membaca Muhammad al-Qur’an. Susunan kalimat ini dalam bahasa Indonesia sulit dipahami,  sebaiknya diubah susunannya menjadi Muhammad membaca al-Qur’an dan kalimta inilah yang benar dalam bahasa Indonesia. Dalam al-Qur’an maupun Hadis banyak sekali didapatkan jumlah fi’lîyah seperti di atas. Misalanya dalam surah al-Fatihah :
 إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engka kami menyembah.
 Asalnya : Kepada Engkau menyembah kami. Dasar-dasar terjemahan  seperti ini mestinya sudah  diberikan kepada murid-murid Mts sesuai dengan tingkiatan kelasnya.
Penjelasan kandungan adalah uraian secara  rinci dari matan Hadis atau dari ayat yang masih gelobal terjemahannya. Uraian ini dimaksudkan  memperjelas makna matan atau ayat dengan menghubungkan dengan kehidupan nyata yang dialami siswa  atau dihubungkan dengan  pengalaman, pengetahuan dunia nyata, kisah-kisah, dan perkembangan iptek dengan diberikan contoh-contoh yang kongkrit. Penjelasan hendaknya lebih luas, lebih dalam dan lebih terurai dilengkapi dengan latar belakang turunnya ayat atau surah (Asbâb al-Nuzûl)  atau latar belakang datangnya Hadits (Asbâb wurûd al-hadîts) jika didapatkan dan sejarah sebagian pembawa atau periwayat Hadits jika memungkinkan.
Pelajaran yang dipetik dengan menggali dari kandungan teks sehingga teks ayat atau matan Hadits itu dapat dijadikan sebagai dalil atau dasar dalam penggalian tersebut (istinbath). Pelajan yang dipetik ini semacam penyimpulan induktif tetapi tendensius, karena harus didasarkan pada teks.

E.     Terjemah atau  Tafsir
 Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an Hadits yang sangat berbeda karakteristiknya  dan tingkat  kesulitannya. Ada dua macam terjemah, yaitu :
1.                  Tarjamah Harfiah (Letterleijt),
            Tarjamah Harfiyah adalah  memindahkan beberapa lafal (mentranslite)  bahasa asal kepada bahasa lain dengan memelihara urutan per-kata atau per-kalimat
  2. Tarjamah Tafsiriyyah atau Maknawiyah
Terjemah secara Tafsiriyyah atau Maknawiyah  adalah menjelaskan makna kalimat dengan bahasa lain tanpa terikat dengan urutan per-kata atau  per-kalimat.
   Menerjemahkan al-Qur’an secara harfiah (Letterleijt) menurut kebanyakan ulama merupakan hal yang mustahil mengingat penerjemahan semacam ini memerlukan beberapa persyaratan yang tidak mungkin dapat direalisasikan, yaitu:
a.  Adanya murâdifât (sinonim) per-huruf antara bahasa penerjemah dan        bahasa             yang             diterjemahkan.
b. Adanya tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah dan bahasa yang diterjemahkan atau minimal ada kemiripan
c. Di dalam susunan kata harus ada kesamaan antara kedua bahasa baik dalam          kalimat, sifat atau pun tambahan-tambahannya.
Para ahli bahasa menyatakan tarjamah harfiyah tidak mungkin dapat memelihara kontaks bahasa asal dengan segala maknanya, karena bahasa al-Qur’an memiliki karakteristik yang berbeda; Misalnya dalam Jumlah Fi’liyah Prediket  ( fi’il)  lebih dahulu dari  Subyek (fa’il),  Yang diterangkan (maushuf) lebih dahulu dari yang menerangkan (shifat) dan seterusnya.(al-Qathan/1973: 313).  Sebagian ulama mengatakan bahwa menerjemahkan secara harfiah bisa terealisasi pada sebagian ayat  akan tetapi sekali pun demikian ia tetap diharamkan sebab tidak mungkin berfungsi menjadi makna yang sempurna apalagi memiliki pengaruh terhadap jiwa sebagaimana pengaruh al-Qur’an dalam bahasa Arab yang begitu jelas (Muhammad bin Shaalih al-‘Utsaimiin, tth.: 32-33).
            Sedangkan hukum penerjemahan secara makna terhadap al-Qur’an pada dasarnya adalah dibolehkan karena tidak ada larangan dalam al-Qur’an atau Hadis. Bahkan terkadang bisa jadi wajib  atau suatu keharusan (dharuri) ketika ia merupakan satu-satunya sarana untuk menyampaikan isi kandungan al-Qur’an atau ajaran Islam kepada selain bangsa Arab.  Sesuai dengan kaidah:
مالا يتم الواجب إلا به فهو واجب
 Sesuatu wajib menjadi tidak sempurna tanpa dia maka diapun hukumnya menjadi wajib
            Beberapa Syarat Tarjamah Tafsiriyah sebagaimana yang disampaikan Dr. Muhammad Husen al-Dzahabiy dalam bukunya  al-Mufassir wa al-Mufassirûn (1/12) yaitu sebagai berikut :
a.       Persyaratan terjemahan sebagaimana persyaratan Tafsir, yatiu harus berpedoman pada Hadis Nabi, Ilmu Bahasa yang benar dan ilmu-ilmu dasar yang ditetapkan dalam syari’ah islamiyah
b.      Berakidah yang tidak menyimpang dari Islam
c.       Mendalami kedua bahasa yaitu bahasa asal dan bahasa terjemahan
d.      Menulis ayatnya terlebih dahulu, kemudian dikuti penafsiaran dan terjemahan tafsiriyahnya sehingga tidak timbul  kesalah pahaman bahwa ini terjemah harfiyah.( al-Dzahabiy, 1/12)
Untuk memperjelas persyaratan dia  atas bahwa di antara yang pokok dari beberapa persyaratan di atas  bahwa penerjemah memahami bahasa dan disiplin ilmu berkaitan dengan yang diterjemahkan.
1.    Penerjemah hendaknya di sampaing menguasai dua bahasa juga harus menguasai disiplin ilmu yang diterjemahkan. Jika mengangkut ilmu kedokteran atau kesehatan dia harus memahami ilmu kedokteran atau kesehatan dan seterusnya. Kalau tidak demikiab, ia akan mengalami kesalahan fatal.  Seperti Hadis dalam Shahih Ibnu Hibban dari  Ibnu Abbas ketika ada dua orang perempuan berkelahi dan saling meempar batu, salah satunya meninggal:
فَقَضَى عَلَى الْعَاقِلَةِ الدِّيَة = Rasulullah memutuskana atas wanita berakal membaya diat (denda)
Atau senada dengan hadis tersebut  kata Umar riwayat al-Tturmudzi, Umar berkata:
الدية على العاقلة  =Diat (denda) dipikulkan  atas wanita berakal
Terjemahan di atas  oleh  orang yang hany menguasai bahasa  tanpa memahami  disiplin ilmu yang berkaitan dengan ditrjemahkan. Padahal makna yang sebenarnya tidak demikian, yang benar di artikan:
Rasulullah memutuskan atas keluarganya  membayar denda.
 Diat (denda) atas keluarganya.
 Disiplin ilmu yang harus dimiliki di sini  adalah Hadis dan Fikih karena hal tersebut  berkaitan disiplin ilmu ini. Demikian juga akan terjadi kesalahan jika seorang menrjemahkan al-Qur’an hanya mengenal bahasa Arab saja. Mislnya coba terjemahkan:
 الْقَارِعَةُ،
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا (1) فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا (2) فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّين
2.        Hendaknya penerjemah menguasai dasar-dasar ilmu al-Qur’an seperti Asbab al-nuzul atau asbab wurud  bagi Hadits  sehingga maknya kontekstual. Misalnya QS. al-Baqarah/2: 115
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (115)
Ayat  ini bagi yanag tidak tahu asbab nuzul dijadikan dasar menghadap  kemana saja dalam shalat, karena Allah ada di mana saja. lihat lagi QS. al-Baqarah/2:157
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158)
Hadis Rasulillah saw
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ. (أخرجه  البخاري)
   Dari Abi Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Sesuatu yang berada di bawah mata kaki dari pada kain di dalam neraka.” (HR. Bukhari)

عن ام حَمِيْدٍ  قالت، قال رسول الله ص م : صَلا تُكُنَّ فِي بُيُوْتِكُنَّ أَفْضَلُ  مِنْ صَلاَتِكُنَّ  فِي حُجُرِكُنَّ (أخرجه أحمد والطبراني والبيهقي )
Rasulullah saw bersabda : “Shalat kalian di rumah kalian lebih baik dari pada shalat kalian di kamar kalian, (HR. Ahmad, al-Thabarani dan al-Baihaqi)

F.   Penutup
Pembelajaran al-Qur’an hadits memang komplek permasalahannya, karean ia  tidak sekedar  menghapal  tetapi  belajar baca dan menulis huruf Arab (huruf al-Qur’an), kaligrafi Arab (khath dan  imlak), pelajaran tajwid, Ilmu Hadits dan Ilmu al-Qur’an, Tafsir, tahfîzh dan lain-lain. Dengan ragam pembelajaran ini guru dituntut berhasil mengantar siswa mencapai tujuan yang ingin dicapai. Guru harus pandai menyajikan pmbelajaran yang menarik dan menyenangkan active learning dengan pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Guru hendaknya mampu menggunakan metode yang variatif sehingga  tidak menjemukan atau tidak membosankan.
Dalam pembelajarn terjemahan atau makna al-Qur’an hadis perlu  guru membekali diri seperangkat persyaratan sebagai penerjemah atau mufasir dalam al-Qur’an Hadits yang benar. Di antaranya menguasai bahasa Arab dan tata bahasanya (Nahwu Shafat) , menguasa  bahasa terjemahan, mendalami Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an Hadis seperti Ulum al-Qur’an dan Ulum al-Hadits dan mendalami disiplin ilmu yang diterjemahkan. Semoga kita semua menjadi guru yang baik. Amin
  
G.      Daftar Pustaka
Humam, As’ad, Buku Iqra Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an,  Yogyakarta : Balai Litbang LPTQ Nasional, 2000, Edisi  Revisi.
-------, Cara Cepat Belajar Tajwid Praktis, Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional, 2002
Shihab,  M Quraysh, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu  dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1996
Majid Khon, Abdul, Ululuml Hadits, Jakarta : Amzah Bumi Aksara, 2010, cet. ke 4
--------, Praktikum Qira’at Keanehan Bacaan al-Qur’an qira’at Ashim dari Hafash, Jakarta : Amzah Bumi Aksara, 2007, cet. ke-1  
Mulyasa, E, Implementasi  Kurikulum 2004, Bandung : PT Remja Rosdakarya, 2006, cet. 4
Munadi, Yudhi dan Hamid Faridah,  Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, Jakarta : FITK UIN Jakarta, 2009
Al-Nawawy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawy, Indonesia : Maktabah Dakhlan,tth.
Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 , Jakarta : 11 Juni 2003
Permenag No. 2, 2008, standar kompetensi lulusan dan standar isi  pendidikan agama standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran pendidikan agama Islam dan Bahasa Arab Mts dan MA
al-Qardlâwî,  Yûsuf, Kayf Nata’âmal  ma`a   al-Sunnah al-Nabawîyah, Mesir: Dâr al-Wafâ, 1994, Cet. Ke-7
al-Qathan, Mannâ’,  Mabâhits fî Ulûm al-Qur’an, ttp. Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973
Rahman,  Fazlur,   Major Themes of the  Qur’an,  Terjemahan ; Anas Mahyudin ; Tema Pokok al-Qur’an,  bandung : Pustaka, 1996, Cet. 2
-------, Islam, Terjemahan ; Ahsin Muhammad, Bandung : Pustaka,  1997, cet. 3
Sanjaya, Wisna, Pembelajaran dalam Implementasi  Kurikulum Berbasis  Kompetensi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,  2008, Cet. 3
Tafsir, Ahmad, Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam, Bandung : Maestro, 2008, Cet. 1
Umam, Khathibul, al-Qur’an Hadits, kelas 7 –9,  Semarang : Thaha Putra, 2008 











[*] Makalah disampaikan pada  Diklat Teknis Fungsional  Peningkatan Kompetensi Guru Muda  Mata Pelajaran  al-Qur’an Hadits MTs  Kementerian Agama  di Wisma  Iniversitas Terbuka, Jln Cabe Raya, Pondok Cabe Pamulang  Tangerang  Selatan  7 September  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar