BAB III
SIFAT KEPRIBADIAN PENDIDIK
Seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat
kepribadian yang positif. Bagaimanapun
alasannya seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat kelebihan dari anak
didiknya. Karena dia bertugas mendidik
dan mengajar anak-anak didik serta
mengantarkannya menuju keberhasilan tujuan yang dicita-citakan yakni memeliki keperibadian
yang taqwa kepada Allah. Sulit rasanya seorang pendidik mampu membawa anak didiknya menuju keberhasilan
tujuan pendidikan tersebut, jika seorang guru atau seorang pendidik tidak terlebih dahulu memiliki sifat-sifat
kepribadian tersebut. Seorang guru di samping keberadaannya sebagai figur
contoh (figur centered) di hadapan anak didik, dia juga harus mampu
mewarnai dan merobah kondisi anak didik dari kondisi yang negatif menjadi yang
positif dari keadaan yang kurang menjadi lebih. Guru atau pendidik terhadap anak didik bagaikan orang tua terhadap
anak-anaknya. Sebagaaimana sabda Nabi
saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah :
إِنَّمَا
أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ
Sesungguhnya aku terhadap kamu
menduduki sebagai orang tua aku
mengajarkan kamu
Mayoritas Hadis yang
ditampilkan adalah tentang sifat-sifat orang tua yang baik terhadap
anak-anaknya, karena hakekat orang tua adalah pendidik atau guru utama dan pertama Banyak sifat-sifat
kepribadian yang harus dimiliki seorang pendidik, namun dalam buku ini sesuai
dengan standar kompetensi yang ingin dicapai mendeskripsikan Hadis-Hadis
tentang sifat pendidik adil, kasih sayang, penyampai ilmu daana tawadhu`.
- Pendidik Bersikap Adil
عَنْ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَحَلْتُ
ابْنِي هَذَا غُلَامًا فَقَالَ أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ
مِثْلَهُ قَالَ لَا قَالَ فَارْجِعْهُ (متفق عليه)
1. Kosa Kata (Mufradât)
a. نَحَلْتُ = وَهَبْتَ = aku memberi suatu pemberian yang tidak
karena membalas budi. Al-Nahl dapat juga diartikan madu, kemudian diartiklan memberi karena pemberian itu manis
seperti madu.
b. غُلَامًا =
budak, pembantu atau pelayan
c. وَلَدِكَ =
anakmu, kata walad mencakup laki-laki dan perempuan
d. فَارْجِعْهُ =
maka kembalikanlah dia atau minta kembali
e. عَلَى جَوْرٍ = atas kezaliman
2. Terjemahan
Dari
Nu’man bin Basyir ra bahwa ayahnya dating membawanya kepada Rasulullah saw dan
berkata : “Sesungguhnya saya telah memberikan seorang budak (pembantu) kepada
anakku ini”. Maka Rasulullah saw bertanya : “Apakah semua anakmu kamu beri
budak seperti ini ?”. Ayah menjawab : “Tidak”. Rasulullah saw lantas bersabda :
“Tariklah kembali pemberianmu itu”. (HR. Muttafaq Alayh).
4. Penjelasan (Syarah Hadis)
Asbab Wurud al-Hadis ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Nu’man bin al-Basyir berkata : ”Ayahku
bersedekah sebagian hartanya kepadaku”. Lantas ibuku Amrah binti Rawahah berkata : ”Aku tidak rela
sehingga engkau persaksikan sedekah ini kepada Rasulillah saw”. Maka
berangkatlah ayahku menghadap Rasulillah
saw uantuk mempersaksikannya tentang sedekah kepadaku. Kemudian Rasul bertanya
: ”Apakah kamu lakukan seperti ini terhadap semua anakmu ”?. Dan seterusnya
sebagaimana Hadis di atas.
Hadis
di atas menjelaskan pengajaran Nabi terhadap seorang bapak agar bertindak seadil-adilnya terhadap anak-anaknya. Seorang
bapak di dalam rumah tangganya sebagai pendidik terhadap keluarganya harus
bersikap adil baik dalam sikap, ucapan dan segala tindakan. Karena sikap adil
ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pembinaan keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Tindakan adil dari orang tua
atau dari seorang pendidik merupakan pendidikan terhadap anak-anaknya.
Dalam
Hadis diriwayatkan bahwa bapak Nu’man
yang bernama Basyir pernah membawa anaknya
yakni Nu’man datang menghadap
Rasulillah saw mohon dipersaksikan, bahwa ia memberi anaknya seorang pembantu
rumah tangga. Dalam kitab Riyâdh al-Shalihîn ada beberpa periwayatan
yang sama dengan Hadis di atas yaitu sebagai berikut :
وفي
رواية : فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا
قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.
Dalam
riwayat lain dikatakan : “Rasulullah saw bertanya: “Apakah kamu berbuat seperti
itu kepada semua anakmu ?”. Ayah menjawab :”Tidak”. Beliau bersabda :”Takutlah
kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu”. Kemudian ayahku kembali
pulang dan menarik kembali pemberian
itu”.
وفي رواية : فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بَشِيرُ أَلَكَ وَلَدٌ
سِوَى هَذَا قَالَ نَعَمْ فَقَالَ أَكُلَّهُمْ وَهَبْتَ لَهُ مِثْلَ هَذَا قَالَ
لَا قَالَ فَلَا تُشْهِدْنِي إِذًا فَإِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ.
Dalam
riwayat lain : Rasulullah saw bertanya
: “Wahai Basyir, apakah kamu mempunyai
anak selain ini ?”. Ayah menjawab. “Ya”. Beliau bertanya lagi : ”Apakah semua
anak kamu beri budak seperti apa yang diberikan kepada anak ini ?”. Ayah
menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, janganlah kamu persaksikan
kepadaku karena sesungguhnya aku tidak akan menjadi saksi terhadap
penganiayaan”.
وفي رواية : قَالَ لَا تُشْهِدْنِي
عَلَى جَوْرٍ .
Dalam satu
riwayat, beliau bersabda : “Janganlah
engkau mempersaksikan aku pada kezhaliman”.
وفي
رواية : قَالَ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي ثُمَّ قَالَ أَيَسُرُّكَ أَنْ
يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً قَالَ بَلَى قَالَ فَلَا إِذًا (متفق عليه)
Dan dalam
riwayat lain, beliau bersabda : “Persaksikanlah perkara ini kepada selain
saya”, kemudian bersabda lagi : “Tidakkah engkau bergembira jika mereka sama
berbuat baik kepada engkau”. Ayah
menjawab : “Tentu senang”. Beliau
menjawab : “Kalau begitu jangan”. (HR. Muttafaq Alayh)
Ketika Nu`man bin al-Basyir minta
persaksian itu ditanya oleh Rasulillah
saw :
أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ = Apakah semua anakmu kamu beri pembatu
seperti ini?. Dalam satu riwayat beliau bertanya :
أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ = Apakah kamu berbuat seperti itu
kepada semua anakmu ?
Pertanyaan
ini sebenarnya sudah mengharuskan pemberian orang tua terhadap anak itu harus semua dan sama. Semua anrtinya
semua anak, jika salah satunya diberi sesuatu yang lainpun harus diberi pula
dan jika tidak diberi satu ridak diberi semua. Sedangkan sama artinya
pemerianpun harus sama, kalau salah
satunya diberi satu petak rumah yang
lainpun harus sama. Tidak boleh salah satunya diberi dua petak rumah atau rumah
gedong, sedang yang laian tidak. Ketidak adilan dalam pemberian akan memicu
pertikaian dan perkelahian dalam keluarga.
Ketika Basyir
ditanya apakah semua anak kamu beri pembantu
yang sama ? Jawabannya : لَا = “tidak”. Artinya tidak semua anak diberi bantuan oleh
sang ayah. Maka Rasulullah bersabda : فَارْجِعْهُ = Tariklah
kembali pemberianmu itu. Artinya pemberi bantuan orang tua tersebut harus
diminta kembali, karena terjadi kecurangan atau ketidak adilan yaitu bantuan
hanya dinerikan kepada seorang anak saja sementara yang lain tidak. Dalam satu riwayat dengan tegas Rasulullah
menuntut keadilan orang tua terhadap anaknya :
اتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ
أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ =
Takutlah kepada Allah dan
berlaku adillah kepada anak-anakmu. Kemudian ayahku kembali pulang dan menarik kembali pemberiannya itu.
Dalam redaksi Hadis, perintah
keadilan terhadap anak, didahului perintah taqwa kepada Allah. Redaksi ini menunjukkan
betapa pentingnya sifat adil di tengah-tengah mereka yang dijadikan sebagai
tanda orang yang taqwa kepada Allah. Kemudian orang tua pulang dan meminta
kembali atau meralat kembali atas pemberian tersebut. Ini di antara sifat para
sahabat setelah mendapat nasehat atau setelah mengetahui hukum segera
dilaksanakan.
Dalam riwayat
lain ketika Basyir tidak memberi seluruh anaknya, beliau bersabda :
فَلَا تُشْهِدْنِي إِذًا فَإِنِّي لَا
أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ =
Kalau begitu, janganlah kamu persaksikan kepadaku karena sesungguhnya
aku tidak akan menjadi saksi terhadap penganiayaan.
Kehadiran Basyir kepada Nabi memang bertujuan
mempersaksikan atas pemberiannya kepada anaknya. Tetapi karena pemberian itu
tidak diberikan secara adil, kemudian beliau mengungkapkan yang demikian.
Tindakan yang tidak adil terhadap anak adalah suatu kecurangan atau
oenganiayaan.
Pemberian atau dalam bahasa Fukihnya Hibah memang tidak sama
dengan harta warisan. Perbedaannya antara lain :
- Hibah diberikan pada saat orang tua masih hidup sedangkan waris dibagi dan dimiliki pada saat orang tua telah meninggal dunia.
- Hibah diberikan harus pada semua anak dan sama bagiannya sedang harta waris dibagikan semua anak tetapi tidak harus sama sebagaimana yang diatur dalam Islam
Keadilan terhadap anak dimaksudkan anak mempunyai
hak yang sama baik dalam hibah, nafkah, pendidikan dan lain-lain maupun dalam
menerima harta warisan. Jika adil diartikan hak yang sama maka pembagian waris,
nafkah, kesehatan dan pendidikan tidak
harus sama diberikan kepada anak kecuali hibah. Jika seorang anak yang masih kecil duduk di sekolah TK dan yang
lain di SMA dan yang lain lagi di sebuah Perguruan Tinggi tentu uang jajanan, uang transportasi dan biaya sekolah
tidak mungkin sama. Adil di sini adalah
pelayanan anak sesuai dengan kebutuhan, bahkan kalau disamakan pelayanannya
yang kecil dan yang besar, yang sehat dan yang sakit malah tidak adil namanya
karena di luar kebutuhan. Demikian juga dalam pembagian harta waris disesuaikan
dengan beban anak laki-laki yang lebih berat dibandingkan dengan anak
perempuan. Anak laki-laki mempunyai beban tanggung jawab terhadap kehidupan
keluarganya sedang anak perempuan ditanggung hidupnya oleh kepala keluarga.
Tentunya
orang tua lebih suka jika seluruh anaknya sama-sama berbuat baik terhadapnya dan tidak suka jika hanya
sebagian dari anak-anaknya saja yang berbuat baik kepadanya. Kerukaan orang tua
itu terungkap dengan pertanyaan Rasulillah saw :
أَيَسُرُّكَ
أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً = Tidakkah engkau bergembira jika
mereka sama berbuat baik kepada engkau.
Perbuatan baik dari anak-anak akan tumbuh
dari keadilan orang tua terhadap mereka. Oleh karena itu keadilan orang tua sebenarnya merupakan pendidikan terhadap
mereka.
Demikian
juga keadilan seorang guru terhadap murid-muridnya selalu dituntut sebagaimana
keadilan orang tua terhadap anak-anaknya. Guru harus adil terhadap anak didiknya dalam pelayanan kependidikan dan
kepengajaran, tidak boleh membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Semua
harus dilayani dengan sikap dan penilaian yang sama. Tidak ada bedanya antara
anaknya orang kaya dan yang tidak kaya, tidak ada bedanya antara anak pejabat
dan anak rakyat biasa dan tidak ada bedanya antara yang cantik ganteng dan yang
tidak cantik ganteng dan seterusnya. Keadilan seorang guru dalam kelas akan menumbuhkan suasana kondusif dan
merupakan pendidikan terhadap mereka.
Seorang guru tentu merasa senang jika murid-muridnya sama-sama berbuat baik
dengan sesamanya.
5. Pelajaran yang dipetik dari Hadis
a. Seorang pendidik baik guru maupun orang tua
harus bersikap adil terhadap anak-anaknya dalam segala hal baik dalam sikap,
pelayanan dan penilaian
b. Dalam masalah hibah terhadap anak harus
dilakukan secara merata dan sama atau tidak semua. Berbeda dengan masalah harta
warisan harus merata tetapi tidak harus sama
c. Anak berhak menerima
keadilan, tetapi makna keadilan yang sesungguhnya tidak selalu diartikan sama
d. Kesungguhan para sahabat pada ilmu atau hukum
Islam ketika menghadapi suatu persoalan selalu bertanya kepada Nabi atau
dipersaksikan kepadanya.
6. Biografi Singkat Perawi Hadis
Nu’man bin Basyir al-Anshariy
al-Khazrajiy. Bapak seorang sahabat Nabi saw
demikian juga ibunya juga
seorang sahabat wanita. Dia salah
seorang sahabat Anshar yang pertama kali dilahirkan stelah hijrah Nabi ke
Madinah. Dia tinggal di Syria menjadi
Hakim di Damaskus dan gubernur Kufah
pada masa Muawiyah. Kemudian dipindahkan
ke Himsha. Dia terkenal pemurah, khathib dan ahli syair. Dia terbunuh di suatu kampung di Himsha
pada tahun 65 H dan meriwayatkan Hadis sebanyak 114 Hadis tersebar di berbagai
kitab Hadis.
B.
Pengasih dan Adil
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ جَاءَتْنِي مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ
كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً
لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا
فَشَقَّتْ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا
فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا
الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنْ النَّارِ ( أخرجه مسلم)
- Kosa Kata (Mufradât)
a. مِسْكِينَةٌ = wanita miskin (peminta atau
pengemis)
b. فَأَطْعَمْتُهَا =
maka aku beri makanan dia
c. إِلَى فِيهَا =
ke mulutnya, kata فِي asalnaya فَمٌ berarti
mulut
d. فَاسْتَطْعَمَتْهَا = maka dia minta
makan akan dia
e. فَشَقَّتْ التَّمْرَةَ = maka ia membelah, memotong,
memotek korma itu
f. فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا = maka kondisinya
mengherankan aku
g. أَوْجَبَ لَهَا =
wajib baginya, berhak bagiya
h. أَعْتَقَهَا =
memerdekakannya
- Terjemahan
Dari
‘Aisyah ra berkata : “Ada
seorang perempuan miskin datang kepadaku dengan membawa kedua anak
perempuannya, maka saya berikan kepadanya tiga butir biji korma. Ia memberikan
kepada masing-masing anaknya sebutir biji korma dan yang sebutir lagi sudah ia
angkat ke mulutnya untuk dimakan tetapi (tiba-tiba) diminta oleh kedua anaknya
juga, ia lalu membelah biji korma yang akan dimakannya itu dan dibagi kepada
kedua anaknya itu. Saya sangat kagum melihat perilaku orang perempuan itu.
Kemudian saya ceritakan kepada Rasulullah saw, peristiwa yang dilakukan wanita
itu, beliau lantas bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menentukan sorga
baginya atau ia dibebaskan dari api neraka lantaran perbuatannya itu”.
(HR. Muslim)
- Penjelasan (Syarah Hadis)
Hadis di atas menjelaskan adanya
seorang wanita miskin bersama dua orang anak wanitanya datang kepada Aisyah
minta sedekah makanan. Wanita itu dikasih 3 butir korma. Tentunya sesuai dengan
kondisi Aisyah pada saat itu adanya korma yang terbatas di samping sesuai
dengan jumlah jiwa yang hadir yakni seorang ibu dan dua orang anak wanita. Memang kondisi Aisyah istri Nabi saw
di rumah biasa-biasa saja tidak termasuk orang kaya, terkadang ada yang dimakan
dan terkadang tidak ada sesuatu. Sebagian riwayat menyatakan kalau pagi hari
tidak ada makanan apa-apa di rumah Nabi berpuasa. Tiga butir korma itu diserahkan langsung ke tangan
seorang ibu.
Kemudian 3 butir korma itu
dibagikan secara adil oleh ibundanya
masing-masing anak satu butir korma dan yang satu butir lagi untuk ibunya. Begitu kedua anak mendapat makanan
langsung dimakan dengan lahapnya. Sedangkan ibundanya makan belakangan, baru mengangkat tangan kanannya ke arah mulut
untuk memakannya, belum sampai dimakan kedua anak tersebut minta makan lagi kepada
ibunya, karena sebutir korma belum dirasa mengenyangkan dari kelaparan. Hati
seorang ibu yang penuh kasih sayang itu tidak tega makan sebutir korma yang ada
di tangannya sekalipun sebenarnya ia juga sangat lapar. Bagaimana sikap seorang ibu yang adil dan
penuh kasih sayang terhadap dua orang
anak yang minta makan lagi sementara di tangannya tinggal satu butir
korma ?.
Ibu yang bijak, adil dan penuh kasih sayang tentu membaginya secara sama, satu butir korma
itu dibelah menjadi dua dan di bagi untuk berdua, dirinya rela tidak
kabagian. Begitu jiwa kasih sayang seorang ibu yang rela mengorbankan dirinya
demi ksenangan dan kesejahteraan anak-anaknya, padahal masih ada kesempatan untuk dirinya andaikata
sebutir korma itu dibelah menjadi tiga. Tetapi seorang ibu ini memang
benar-benar tulus dan sayang. Kondisi seorang yang demikian yang membuat Aisyah taajub dan menyampaikannya peristiwa
itu kepada Rasulillah saw, ia mengatakan :
فَأَعْجَبَنِي
شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ = Aku heran keadaan seorang ibu itu kemudian aku
sampaikan kepada Rasulillah apa yang diperbuatnya itu.
Kemudian beliau bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنْ
النَّارِ = Sesungguhnya
Allah telah menentukan sorga baginya atau ia dibebaskan dari api neraka
lantaran perbuatannya itu
Pahala orang yang bersikap sayang dan adil terhadap anak-anaknya adalah masuk surga dan
selamat atau merdeka dari ancaman api neraka. Orang masuk surga adakalanya
masuk neraka terlebih dahulu sebagai hukuman
terhadap dosanya sebagai keadilan Allah dan adakalanya masuk surga secara langsung. Balasan orang yang sayang
terhadap anak-ankanya adalah baik
langsung atau sebagai pembebasan dari api neraka.
Dalam periwayatan al-Bukhari Muslim dari Aisyah yang intinya hampir sama dengan kasus
di atas :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ
عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ
ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ
النَّارِ (متفق عليه)
Dari Aisyah ra berkata : Ada
seorang perempuan yang meminta-minta datang kepadaku dengan membawa kedua anak
perempuannya tetapi saya tidak mempunyai apa-apa kecuali satu butir biji korma
kemudian saya berikan kepadanya. Perempuan itu membagi biji korma itu kepada
dua orang anaknya dan ia sendiri tidak memakannya, lantas bangkit dan keluar.
Kemudian Nabi saw datang kepada kami maka saya menceritakan peristiwa yang baru
saja terjadi. Beliau bersabda : “Barang siapa yang diuji dengan anak-anak
perempuan kemudian ia dapat mengasuhnya dengan baik maka anak-anak perempuannya
itu menjadi tirai baginya dari api neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada kasus kedua datang seorang
wanita peminta ke rumah Aisyah di rumah tidak ada apa-apa melainkan sebutir
korma. Pernyataan Aisyah :
فَلَمْ
تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ =
Aku tidak mendapatkan sesuatu
di sisiku melainkan sebutir korma.
Sungguh keadaan ini menunjukkan
kesederhanaan hidup Nabi saw. Sekalipun beliau seorang Nabi dan Rasul, tetapi
kehidupannya tidak mewah dan tidak menumpuk harta kekayaan. Ketika kasus
tersebut muncul hanya ada satu butir korma yang ada di dalam rumahnya.
Sekalipun demikian satu butir korma ini
disedekahkan kepada peminta.
Lebih heran lagi keadaan seorang ibu peminta ini yang capai membawa dua orang anak
wanitanya. Dia berjalan dari rumah ke rumah dari tempat ke tempat lain untuk
mencari sesuap makanan untuk anak-anaknya. Begitu mendapatkan makanan sedekah
satu butir korma tidak ditelen sendirian, bahkan korma itu dibelah menjadi dua
dibagikan kepada kedua orang anaknya tersebut dan rela dirinya kelaparan tidak
makan apa-apa. Sifat mereka adalah
orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan suka rela dan tidak memperoleh
sedekah melainkan sekedar
kesanggupannya. Sebagaimnana yang diterangkan Allah dalam QS. al-Taubah/ : 80
الَّذِينَ
يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَيَجِدُونَ إِلاَّ
جُهْدَهُمْ
(orang-orang
munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu'min yang memberi sedekah
dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya. (QS. 9:79)
Ada beberapa catatan yang dapat ditarik benag merah dari dua Hadis di atas yaitu sebagai berikut :
a.
Ada dua orang yang memiliki sikap keadilan
dan kasih sayang yaitu Aisyah terhadap
seorang ibu bersama dua orang anaknya
dan seorang ibu terhadap kedua orang anaknya sendiri. Aisyah membagi segala apa
yang dimiliki terhadap mereka yakni 3 butir korma pada kasus Hadis pertama atau
satu butir korma pada kasus Hadis kedua
sekalipun dalam keadaan membutuhkan banget. Sedangkan Ibunda membagi kepada
masing-masing kedua anak wanitanya satu
butir dan setengah tanpa memperdulikan dirinya sebagai rasa keadilan dan kasih
sayangnya kepada mereka.
b.
Antusias
Aisyah dalam bersedekah. Aisyah sangat memperhatikan kondisi seorang ibu
bersama kedua orang anaknya yang meminta sedekah. Aisyah tidak menolak dan
tidak pernah menolak para peminta
sekalipun seadanya, sesuai dengan pesan Nabi pada Hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bazzar dar Abi Hurayrah, beliau bersabda :
" لاَ يَرْجِعْ مِنْ عِنْدِكَ سَائِلٌ وَلَوْ
بِشِقَّ تَمْرَةٍ "
Jangan ada yang kembali dari sisimu
seorang peminta sekalipun hanya sebelah dari butir korma.
Sedekah yang dikeluarkan seorang istri
dari rumah suami membawa pahala bagi semua. Istri mendapat pahala karena dialah
yang mengeluarkannya dan suami juga mendapat pahala karena dialah yang mempunyai
harta dan rela disedekahkannya. Sedekah
dari kata صدق
يصدق صدقا وصدقة
(shadaqa, yashduqu,
shidqan wa shadaqatan) yang berarti benar atau jujur, karena ia membenarkan
keimanan seseorang yang percaya kepada
Allah dan kepada janji-janji-Nya.
c.
Islam memberi motivasi pahala besar bagi yang mencintai,
menyayangi dan memperhatikan
pendidikan anak-anak wanita pada saat manusia membencinya yakni pada
zaman Jahiliyah. Pada waktu itu sudah
menjadi tradisi siapa di antara mereka yang melahirkan anak wanita dipendam hidup-hidupan. Sabda Nabi saw :
مَنْ
ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ = Barang siapa yang
diuji dengan anak-anak perempuan kemudian ia dapat mengasuhnya dengan baik maka
anak-anak perempuannya itu menjadi tirai baginya dari api neraka.
Redaksinya
menggunakan kata : مَنْ
ابْتُلِيَ = barang siapa diuji. Mempunyai
anak wanita adalah suatu ujian, karena pada umumnya pada masa Jahiliyah mereka tidak
suka mempunyai anak wanita. Mereka tidak
suka hidup bersama anak-anak wanita karena merasa rendah diri atau gengsi. Oleh karena
itu Hadis menenangkan masyarakat, jikalau seseorang diuji hal tersebut sabar,
mencintai, menyayangi dan membesarkannya dengan pendidikan yang baik. Semua pebuatan
baik itu sebagai tirai dari api neraka maknanya mereka dimasukkan ke dalam surga.
Kasih
sayang seorang guru dalam pembelajaran sama dengan kasih sayang orang tua
terhadap anaknya dalam rumah tangga, sebab guru di sekolah bagaikan orang tua
terhadap anaknya sendiri. Bedanya orang tua mempunnyai tanggung jawab dalam
kehidupan, sedang guru mempunyai tanggung awab dalam pendidikan. Dalam hadis
disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ
بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا
أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا
يَسْتَدْبِرْهَا وَلَا يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلَاثَةِ
أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ
(أخرجه ابو داود في الطهارة)
Dari Abi Hurairah ra berkata
: Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya aku terhadap kamu berkedudukan
sebagai orang tua (terhadap anak kandungnya). Jika salah seorang di antara kamu
mendatangi buang air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan membelakanginya
dan jangan bersuci dengan tangan kanan. Beliau perintah bersuci dengan tiga batu dan
melarang dengan kotoran dan tulang”. (HR. Abu Dawud dalam Bab al-Thaharah)
Hadis ini menunjukkan perlunya kasih sayang guru
sebagaimana kasih sayang orang tua bukan berarti Nabi sebagai Rasul sama dengan
tingkatan bapak, tentunya Nabi lebih tinggi dari segala kedudukan yang ada. Kasih sayang Nabi sebagai pendidik adalah
mengajarkan etika dalam buang air dan bersuci.
al-Abrasyi dalam kitab al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Falsafatuha memaparkan kisah kasih saying
Umar terhadap anak-anak ; suatu ketika ada salah seorang pegawai Umar bertamu masuk ke rumahnya, melihat Umar
sedang tiduran terlentang sedang anak-anaknya bermain di sekitarnya.
Seorang Pegawai tersebut tidak suka melihat anak-anak yang bermain itu. Lantas
Umar bertanya kepadanya : “Bagaimana anda bersama keluarga anda di rumah ?” Ia
menjawab : “Kalau aku masuk semua diam”. Umar marah seraya berkata : “ Pergilah
dari pekerjaan anda, sesungguhnya anda
tidak ada rasa kasih saying terhadap anak istri anda bagaimana anda akan busa
saying terhadap umat Muhammad saw ?”[1]
Umar bin al-Khathab member pelajaran kepada kita bahwa orang
tua dan pendidik perlu mempunyai sifat
kasih saying terhadap anak-anak, keluarga dan
anak didiknya, bergaul yang menyenangkan sehingga anak-anak terdidik
dengan baik tidak penakut dan tidak minder menghadapi orang
lain.
Kasih sayang seorang pendidik tidak harus mengorbankan dirinya
atau mengorban anak didik sehingga menjadi tidak hormat atau kurang ajar
terhadap guru. Kepribadian guru yang baik menurut sebagina ahli didik
adalah guru yang mencintai anak didik, penuh rasa tanggung
jawab dan penuh obyektif serta bersikap ramah adil dan jujur menuju
kesejahteraan anak didik.[2] Pendidik yang sangat erat
hubungannya dengan anak didik akan mengakibatkan hilangnya kewibawaan dari pada
pendidik. Sedang pendidik yang saangat keras akan ditakuti oleh anak didik dan
membuat frustasi dan tidak semngat belajar.
- Pelajaran yang dipetik dari Hadis
a. Hadis menunjukkan
sifat kasih sayang dan kedailan seorang pendidik yakni seorang ibu
terhadap ana-anakknya
b. Di antara kasih
sayang ibu adalah kerelaan seorang ibu yang membagikan sebutir kurma untuk
anaknya berdua sekalipun dirinya tidak kebagian kurma
c. Sifat keadilan
pendidik seorang ibu terhadap anaknya berdua adalah membagikan kurma yang sama satu di tambah setengah kepada
masing-masing anak.
d. Di antara kasih
sayang seorang guru terhadap murid-muridnya adalah mengajarkan etika dan
hal-hal yang penting dalam tatanan hidup dunia dan akhirat.
e. Islam perhatian terhadap anak-anak wanita dan tidak
membedakan dengan anak pria, bahkan Islam memberi motivasi bagi siapa yang
diuji mempunyai anak-anak wanita, ia senang dan memperhatikan pendidikannnya,
maka mereka sebagai penghalang masuk neraka.
5.
Biogradi Singkat Perawi
Hadis
Aisyah
binti Abu Bakar al-Shiddiq ummil Mukminin salah seorang wanita sahabat yang
paling alim dan ahli Fikih. Beliau meriwayatkan Hadis sebanya 2.210 Hadis. Beliau dinikahi Rasulillah saw di Mekkah pada saat usia 6 tahunm dan
dipergauli pada usia 9 tahun bulan
Syawal tahun ke-2 Hijriyah. Beliau istri
Rasulillah yang paling dicintai setelah Khadijah, hidup selama 40 tahun setalah wafat Rasulillah
saw dan
wafat dalam usia 80 tahun pada
tahun 57 H.
C.
Penyampai Ilmu
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ
كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ وَفِي الْبَاب عَنْ
جَابِرٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي
هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ (أخرجه أبو
داود والترمذي)
1.
Kosa kata (mufradât)
a. سُئِلَ =
ditanya oleh seseorang yang sangat memerlukan ilmu
b. كَتَمَهُ =
menyembunyikan ilmu
c. أُلْجِمَ =
dikendalikan dengan tali seperti kuda
2.
Terjemahan
Dari Abu Hurairah ra
berkata : Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang ditanya sesuatu ilmu
kemudian ia menyembunyikannya maka ia nanti pada hari kiamat dikendalikan
dengan tali kendali dari api neraka”. (HR. Abu Daud dan Al-Taurmudzî)
3.
Penjelasan (Syarh Hadis)
Di antara sifat guru yang baik adalah menyebarluaskan ilmu baik melalui
pengajaran, pembelajaran, menulis buku, internet dan lain-lain. Ilmu hendaknya
dikonsumsi oleh semua umat manusia secara luas, agar manfatnya lebih luas dan
masyarakat mendapat pancaran sinarnya
ilmu. Kewajiban seorang alim adalah menyampaikan ilmu kepada orang lain di
samping mengamalkannya untuk diri sendiri. Dalah Hadis Rsulullah saw disebutkan
:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا
عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ (أخرجه
البخاري)
Dari Abdillah bin `Amr bahwa Nabi saw bersabda : “Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat
dan beritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa. Barang siapa yang
mendustakan atas nama aku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah tempat tinggalnya dalam neraka”. (HR. Bukhari)
Maksud sampaikanlah ilmu atau pelajaran dari Nabi saw walaupun sedikit
sesuai dengan kemampuan atau sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau sesuai ilmu
yang diketahuinya. Menyampaikan ilmu wajib dan menyimpannya perbuatan dosa yang
disebut dengan katim al-`ilmi. Beritakanlah tentang kisah-kisah tentang Bani
Israil yang disebut dengan Israiliyat asal tidak berdosa yakni tidak bohong dan
tidak berdusta tetapi ada dasar periwayatan yang kuat. Ancaman orang yang
berdusta dalam pemberitaan dari Nabi seperti membuat Hadis bohong (Hadis
mawdhu`) adalah neraka. Tugas guru adalah penyampai ilmu, penyampai ayat dan
penyampai Hadis, tidak boleh menyimpannya. Orang yang menyimpan ilmu ancamannya
besar sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut.
Pada Hadis di atas Rasul
bersabda :
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ = Barang siapa yang ditanya sesuatu ilmu
Barang siapa
yang ditanya tentang ilmu yang
dibutuhkan oleh penanya dalam urusan agama, baik menyangkut ilmu fardu ‘ain
maupun ilmu fardu kifayah.
ثُمَّ
كَتَمَهُ = kemudian ia menyembunyikannya
Maksud
menyembunyikan ilmu tidak mau menjawab pertanyaan yang dihadapai oleh
seseorang atau malah melarang buku yang
dibaca.
أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ
مِنْ نَارٍ = ia nanti pada
hari kiamat dikendalikan dengan tali
kendali dari api neraka
Api neraka diletakkan pada mulut
penyimpan ilmu sebagaimana tali kendali diletakkan pada mulut binatang sebagai
siksaannya. al-Thibiy berkata, bahwa api
yang diletakkan pada mulutnya diserupakan dengan tali kendali di mulut binatang
karena sama-sama diam. Orang alim diam
dengan ilmunya sedangkan binatang diam
terkendali tidak dapat melakukan kehendaknya secara bebas. Menurut al-Sayyid,
bahwa maksud ilmu di sini adalah ilmu yang wajib diajarkan seperti mengajarkan
keislaman terhadap orang kafir, mengajarkan shalat pada waktunya, minta fatwa
tentang halal dan haram bukan ilmu sunah yang tidak merupakan keharusan (Tuhfat
al-Ahwadziy).
Sifat guru yang baik adalah terbuka, transparan dan pemurah tidak pelit
dalam ilmu agama bagi siapa saja yang memerlukannya. Ilmu yang
diajarkan dan diberikan kepada orang lain
justru manfaatnya akan lebih banyak,
ilmu itu malah bertambah dan tidak akan habis. Berbeda dengan harta kekeyaan
jika dibagi-bagikan kepada orang lain justru habis. Dalam Ta’lîm al-Muta`allim disebutkan bahwa Abu
Yusuf ketika ditanya tentang kesuksesannya :
بِمَ أَدْرَكْتَ الْعِلْمَ ؟ قَالَ : مَااسْتَنْكَفْتُ
مِنَ اْلاِسْتِفَادَةِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ وَمَا بَخِلْتُ مِنَ ااْلإِفَادَةِ
Dengan
apa engkau mendapatkan ilmu ? Ia menjawab : “Aku tidak diam belajar dengan
siapa saja dan aku tidak pelit memberi ilmu. [3]
Konsep
keberhasilan dalam pendidikan ada dua ;
pertama ketekunan belajar dengan siapa saja walaupun dengan orang yang
lebih muda dan tidak ada rasa gengsi
atau malu. Kedua, pemurah dalam memberi pelajaran atau mengajar kepada orang
lain. Keduanya merupakan kewajiban, yakni kewajiban belajar bagi yang belum
tahu suatu ilmu dan kewajiban mengajar bagi orang yang telah memiliki ilmu.
4.
Pendidikan yang dapat
dipetik
a. Kewajiban guru atau orang alim menyampaikan ilmu kepada orang
lain yang membutuhkan penjelasannya terutama anak-anak muridnya.
b. Larangan menyembunyikan ilmu syara’ yang dibutuhkan orang lain
c. Sifat guru yang baik adalah terbuka, transparan dan pemurah dalam ilmu yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
d. Ancaman penyimpan ilmu sejenis dengan perbuatannya, yakni diikat
mulutnya dengan api neraka karena mulutnya bungkam tidak menjawab kebenaran.
5.
Biogradi Singkat Perawi
Hadis
Abu Hurairah sudah dijelaskan
pada bab I/C
D.
Tawadhu’
عَنْ
مَسْرُوْقٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ
عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ
يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ
الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ قَالَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (قُلْ مَا
أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ) (أخرجه البخاري)
- Kosa kata (mufradât)
- اللَّهُ أَعْلَمُ = Allah lebih tahu
- مَا أَسْأَلُكُمْ = aku tidak minta kamu
- أَجْرٍ = upah
- الْمُتَكَلِّفِينَ= orang yang membebani diri, memaksakan diri, mengada-ada
- Terjemahan
Dari Masruq
berkata : Kami masuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud ra kemudian ia berkata :
“Wahai sekalian manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu maka hendaklah ia
mengatakan apa yang diketahuinya, dan barang siapa yang tidak mengetahuinya
maka hendaklah ia mengatakan : “Allah lebih mengetahui”, karena sesungguhnya termasuk
ilmu bila seseorang mengatakan : “Allah
lebih mengetahui”, terhadap sesuatu yang ia tidak diketahuinya. Allah berfirman kepada Nabi-Nya : “Katakanlah :
“Aku tidak minta upah kepadamu atas da’wahku, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mengada-ada”(QS.Shad/38:86) (HR. Bukhari)
- Penjelasan (Syarh Hadis)
Hadis ini perintah kepada manusia siapa saja di antara umat Muhammad
saw terutama para calon guru atau yang sudah menjadi guru agar bersikap
tawadhu’ atau rendah hati dalam ilmu, terutama ketika tidak mengetahui suatu
ilmu. Sifat tawadhu` adalah posisi pertengahan antara kesombongan (takabbur)
dan rendah diri (mudzillah). Seseorang berilmu tidak boleh sombong
dengan ilmunya karena ilmu pemberian Tuhan dan tidak boleh merendahkan dirinya
sehingga merendahkan ilmu dan pemilik ilmu.
Hadis melarang mereka untuk tidak sombong atau takabur sok tahu pada hal
ia tidak mengetahui apa-apa. Artinya memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia
seola-olah tahu, seolah-olah alim padahal tidak mengetahui dan tidak alim.
Sebab datangnya Hadis (asbâb al-wurûd
) ini disebutkan dalam kitab Fath al-Bâriy karya al-Asqalaniy diriwayatkan
oleh Masruq juga. Bahwa ketika ada seorang laki-laki di Kandah Kufah bercerita
tentang datangnya asep tebal (dukhân) besuk hari kiamat, kemudian
menyambar pendengaran dan penglihatan orang-orang munafik dan menyambar orang
mukmin seperti keadaan salesma, kita terkejut (mendengar cerita itu). Kemudian aku datang ke Abdullah bin Mas’ud,
beliau pada saat itu berdiri bersandar kemudian marah dan duduk berkata : “Barang siapa yang mengetahui
sesuatu katakanlah dan barang siapa yang tidak mengetahuinya katakan : “Allah
lebih tahu”.
Pada sebab datangnya Hadis ini Abdullah
Ibnu Mas’ud menolak cerita yang disampaikan oleh tukang cerita tersebut.
Penolakan itu di antaranya karena sebagaimana dalam surah al-Dukhân asep tebal
itu merupakan tanda-tanda dekat hari kiamat bukan saat kiamat. ( al-Asqalaniy menjelaskan
bahawa riwayat sebab datangnya Hadis di atas dha’if).
Dalam hadis di atas Ibu Mas`ud berkata :
مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ = barang siapa yang mengetahui sesuatu maka
hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya
Kalimat ini perintah menyampaikan ilmu bagi orang yang berilmu,
kewajiban tabligh menyampaikan atau menyebarkan ilmu dan tidak boleh
menyembunyikan ilmu terutama ketika menghadapi pertanyaan yang harus dijawab
atau sangat dibutuhkan jawabannya yang bersifat wajib. Ini tentunya bagi orang
yang memiliki ilmu yang jelas tidak ada
keraguan keilmuannya dan hanya dia yang harus menjawabnya.
وَمَنْ
لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ =
dan barang siapa yang tidak mengetahuinya maka hendaklah ia mengatakan : “Allah
lebih mengetahui”
Perintah kedua adalah perintah bersifat
tawadhu’ rendah hati tidak sombong mengatakan sesuatu yang tidal diketahui. Hadis
ini melarang berbicara bagi orang yang tidak ada ilmunya, lebih baik diam atau
secara jantan katakana saya tidak tahu atau lebih tawadhu’ katakana Wallâh
A’lam dari pada berbicara yang menyesatkan. Demikian juga bagi orang yang
ilmunya kurang matang atau ada keraguan
kebenarannya, lebih baik serahkan kepada ahlinya.
فَإِنَّ مِنْ
الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ =
karena sesungguhnya termasuk ilmu bila
seseorang tidak mengetauinya mengatakan
: “Allah lebih mengetahui.
Orang yang mengatakan Wallâh A’lam ketika tidak tahu tandanya
orang alim, karena ia mengathui posisi dirinya dan derajat dirirnya bahwa ia
tidak mengetahui. Orang yang memiliki sifat terpuji ini dipercaya oleh
masyarakat dan dinilai sebagai orang alim.
Berbeda dengan orang yang mengatakan tahu sekalipun ia tahu apa lagi ia
tidak mengetahui, pada umumnya dinilai sebagai orang yang tidak tahu, karena
kesombongannya.
Syeikh al-Islam
dalam al-Fatâwâ al-Hamawiyah yang kutip oleh al-Asqalaniy menjelaskan,
bahwa rusaknya dunia dan agama karena 4 perkara
yaitu ;
a.
Hanya setengah memahami Ilmu Kalam. Orang yang
pengetahuan ilmu kalamnya hanya setengah akan merusak agama dan akidah, karena
ilmu kalam yang setengah itu tidak akan sampai kepada tujuan tetapi akan menipu
dirinya dan umat.
b.
Setengah memahami Hukum islam/Fikih. Orang kedua ini akan
menghancurkan Negara karena keputusan di
pengadilan akan kacau dan merusak keadilan
c.
Setengah memahami bahasa. Orang ini akan merusak bahasa, karena ia
mengira bahasanya sudah benar dan mengira sesuai dengan kaedah bahasa, tetapi
menyesatkan pemahaman bagi pembacanya.
d.
Setengah memehami ilmu kedokteran. Berbahaya bagi pasean
yang berobat, karena akan terjadi kesalahan dalam resep pengobatan.
Walhasil
berfatwa atau berbicara tentang agama bagi orang yang tidak berilmu lebih berbahaya, karena akan menyesatkan umat
dari jalan yang lurus dan bencananya dunia akhirat.
قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ =
Allah berfirman kepada Nabi-Nya
Ibnu Mas’ud dalam pemberitaan di atas berdasarkan
firman Allah kepada Nabi-Nya QS.Shad/38:86
: “Aku tidak minta upah kepadamu atas da’wahku, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mengada-ada”. Hadis di atas sekalipun mawqûf
dihukumi marfû’ karena ada indikasi (qarînah) Hadis lain riwayat Ibnu
Umar mengatakan : “Kami dilarang mengada-ada apa yang kita tidak tahu, orang
yang melarangnya adalah Rasulillah saw”.
Maksud ayat di atas, seorang
pengajar atau juru dakwah yang mukhlis karena Allah tidak akan mengada-ada
berbuat dusta. Ia akan mengatakan dan menyampaikan apa yang ia ketahui dan tidak
mengatakan apa-apa yang tidak ia ketahui atau berbuat dusta. Sikap seperti itu
disebut tawadhu` (rendah hati) yang harus dimiliki oleh setiap manusia
terutama pendidik dan da’i.
Perintah tawadhu’ pada Hadis di atas kepada semua orang bukan hanya
pada seorang guru, muridpun terlebih harus tawadhu` terhadap gurunya atau
terhadap sesamanya. Hanya di sini karena tema pembahasan kode etik guru atau
pendidik, pembahasannya lebih cenderung kepada guru. Abdullah Nashih Ulwan
mengatakan bahwa hendaknya seorang murid tawadhu` (rendah hati) terhadap
gurunya bagaikan seorang pasien terhadap dokter ahli. Ia harus mengikuti
arahannya, mencari ridanya dan
mengetahui bahwa tawadhu` terhadapnya adalah merupakan budi pekerti yang baik.
Ibnu Abbas sekalipun terkenal keagungannya memegang dan memarkirkan kendaraan
gurunya Zaid bin Tsabit al-Anshariy dan berkata :
هَكَََذَا أُمِرْنَا
أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا
Demikian kita diperintah berbuat terhadap para ulama kita
Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada guru Khalaf al-Ahmar :
لاَ أَقْعُدُ إِلاَّ
بَيْنَ يَدَيْكَ أُمِرْنَا أَنْ نَتَوَاضَعَ
لِمَنْ نَتَعَلَّمَ مِنْهُ
Aku tidak duduk kecuali di
sisimu, kami diperintah tawadhu` terhadap orang yang kami belajar darinya (guru).[4]
Alangkah
indahnya jika guru dan murid sama-sama tawadhu` saling menghargai dan saling
mencintai satu sama lain. Hubungan antara guru murid bukan sekedar hubungan
lahir saja akan tetapi hubungan lahir dan batin, hubungan cinta karena Allah.
- Pelajaran yang dipetik dari Hadis
a.
Perintah bersifat tawadhu’ (rendah hati)
dalam ilmu, terutama ketika tidak mengetahui suatu ilmu katakanlah apa
adanya “Aku tidak tahu” atau “Allah lebih tahu” (Allâhu a’lam).
b.
Tidak boleh memaksakan diri atau mengada-ada jawaban ilmu yang ngawur tidak benar.
c.
Tidak boleh berfatwa hukum kecuali
sudah yakin kebenaraan ilmunya.
d.
Tidak mengurangi bobot keilmuan
seseorang yang mengatakan tidak tahu terhadap ilmu yang belum diketahui.
5. Biogradi Singkat Perawi Hadis
a.
Masruq bin al-Ajda` bin Malik
al-Hamadâniy al-Wâdi`iy dipanggil Abu Aisyah al-Kufiy seorang tabi’i yang
kridebel (tsiqah), seorang alim Fikih, ahli ibadah dan mukhadhram (hidup
masa Nabi dan beriman tetapi tidak bertemu dengan Nabi saw), hadisnya
diriwayatkan ashhab al-sunan.
b.
Abdullah bin Mas’ud al-Hudzaliy, nama panggilannya Abu
Abdurrahman, tergolong lebih awal masuk Islam (al-Sâbiqûn al-Awwalûn)
yakni orang keenam. Dia tergolong ulamanya sahabat senior, berhijrah dua kali
yaitu ke Habasyah dan ke Madinah, aktifis dalam berbagai peperangan bersama
Rasulillah saw. Seorang sahabat yang terdekat dengan Rsulillah dan
dimuliakannya. Dia pernah dipercayakan menjadi gubernur Kufah dan pemegang baitul mal pada masa khalifah
Umar dan awal kekhalifahan Utsman. Wafat di Madinah pada tahun 32 H dalam usia
60 lebih dan dimakamkan di Baqi’. Dia meriwayatkan Hadis sekitar 95 Hadis.
- Rangkuman
Sifat-sifat kepribadian seorang pendidik.
Maksud pendidik di sini secara umum, bisa jadi orang tua atau guru, orang tua
adalah guru pertama dan utama. Baik orang tua maupun guru hendaknya memiliki
sifat-sifat kepribadian sebagaimana yang
disebutkan pada Hadis yaitu sebagai berikut :
1.
Adil, seorang pendidik hendaknya berkepribadian adil di tengah-tengah anak
didiknya baik dalam ucapan, perbuatan
dan tingkah lakunya. Seorang sahabat Nu`man bin Basyir namanya ketika
mempersaksikan di hadapan Nabi suatu pemberian yakni seorang pembantu kepada
salah satu anaknya ditolak oleh Nabi
saw, karena anaknya yang lain tidak diberi pemberian yang sama.
2.
Pengasih dan adil. Seorang ibu dipuji oleh Rasulillah saw dan dijanjikan
surga karena kasih sayangya dan keadilannya terhadap kedua putrinya. Ketika seorang
ibu mendapat tiga butir kurma dari
Aisyah dibagi secara adil, masing-masing satu butir kurma. Seorang ibu ketika
akan makan bagiannya, tiba-tiba direbut oleh kedua putrinya tersebut lantas
dibagi rata, masing-masing sebelah atau separoh kurma. Ibu rela tidak makan
apa-apa demi menyenangkan atau kasih sayangnya terhadap kedua putrinya.
3.
Penyampai ilmu. Salah satu tugas dan kewajiban seorang pendidik adalah
penyampai ilmu kepada yang membutuhkan atau ilmu yang harus diketahui umat
Islam. Seoarang pendidik tidak boleh bersikap pelit atau penyimpan ilmu yang
berakibat sesatnya umat dari jalan yang benar. Penyimpan ilmu hukumannya berat
besuk hari kiamat mulutnya dikendalikan dengan api neraka.
4.
Tawadhu`. Seorang pendidik hendak
bersikap rendah hati atau tawadhu` sebagai salah satu indicator keilmuannya. Semakin tinggi
ilmu seorang pendidik semakin tinggi pula tawadhu`nya. Pendidik yang tawadhu`
terhadap ilmunya menyampaikan ilmu yang
diketahuinya dan tidak merasa rendah mengatakan tidak tahu ketika ia tidak
mengetahuinya.
- Jawab pertanyaan berikut dengan benar !
1.
Jelaskan Hadis tentang sifat pendidik pengasih dalam Hadis ?
2.
Jelaskan Hadis tentang sifat pendidik adil dan pengasih dalam Hadis ?
3.
Jelaskan Hadis tentang sifat pendidik penyampai ilmu dalam Hadis ?
4.
Jelaskan Hadis tentang sifat pendidik tawadhu` dalam Hadis ?
5.
Bagaimana aplikasi sifat kasih sayang seorang guru terhadap muridnya
dalam pendidikan modern ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar