KEPRIBADIAN SANTRI
SEBAGAI ETIKA DAN MODEL PEMBELAJARAN
PARA
PELAJAR DI INDONESIA
(Kajian
Kitab Talîm Al-Muta’allim)
Oleh
: Abdul Majid Khon[*]
Abdtract :
Ta’lim
Muta’allim book, which is thought in almost of boarding school in Indonesia,
has major influence in forming student’s personality. Generally, the student’s
personality has Islamic positive ethics and behavior. The personality of
Islamic student is made the target of study in Islamic boarding school, beside
that it is made as the study’s method and ethic to reach the target. There are
two study method which have been submitted by Ta’lim; rational method and
irrational method. The rational method as like as in modern education, among of
them drill method, question and answer, discussion, etc. the irrational method
are ethics method, kindness, and behavior. These two methods are the grateful
of Ta’lim’s method to reach the study target which can’t found in modern
education.
Kata Kunci : model
pembelajaran santri
A. Pengantar
Kaum santri sangat dikenal di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia,
karena ia merupakan pasangan dengan kaum abangan dan priayi atau kaum
bangsawan. Santri memiliki kepribadian
taat beragama, tawadhu’ atau rendah hati (andapasor), hidup sederhana,
tekun, tawakkal dan lain-lain. Terlepas dari unsur kebetulan atau ada pengaruh
faktor lain kepribadian seperti itu mirip dengan budaya yang dimiliki oleh
orang Timur dibandingkan dengan budaya orang Barat. Secara umum budaya tersebut
juga dimiliki oleh masyarakat Indonesia terutama yang hidup di sekitar kerajaan
yang mengkultuskan sang raja atau ratu secara berlebihan.
Budaya
santri terbentuk oleh lingkungan pesantren yang memiliki nilai-nilai kesantrian
yang sengaja dibentuk oleh Kyai dan para ustadznya baik melalui budaya hidup
sehari-hari maupun melalui pengajian kitab-kitab akhlak atau budi pekerti seperti Ta’lîm al-Muta’allim. Budaya
santri tidak terbentuk secara kebetulan
dan tidak karena mengkultuskan seseorang secara berlebihan, tetapi ada
bimbingan melalui pelajaran kitab-kitab tersebut yang didasarkan pada
pengalaman para ulama yang telah berhasil dalam pembekajarannya.
Padan zaman sekitar masa orde baru banyak kritikan yang dialamatkan kepada kitab Ta’lîm ini baik dari kalangan ahli didik maupun ilmuan lain, yang pada intinya merendahkan nilai-nilai
pengajaran kitab tersebut. Terutama pengaruhnya terhadap pembentukan
kepribadian santri yang dinilai sebagian orang suatu kemunduran bagi umat Islam seperti tawadhu`
(rendah hati) yag membuat rendah diri dan lain-lain. Tetapi
dewasa ini kepribadian santri justru dicari dan dijadikan referensi
dalam pembentukn karakter bangsa
Indonesia stelah bangsa Indonesia mengalami morat-marit dan dilanda krisis moral. Pada
artikel yang sederhana ini akan membahas tentang sifat-sifat kepribadian santri
dan peruses pembentukannya menurut kitab
Ta’lîm al-Muta’allim.
B. Kitab Ta’lîm al-Muta’allim
Pada umumnya Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dijadikan sebagai mata pelajaran atau bidang
studi Akhlak yang diajarkan di berbagai pesantren
tradisional (salafiyah) di seluruh Indonesia dari tingkat dasar, menengah sampai dengan tingkat atas. Pernyataan ini diakui oleh berbagai pondok pesantren di seluruh
Indonesaia dalam berbagai diskusi dan seminar di berbagai tempat.
Sedang di kalangan pesantren modern
yang kurang menekankan
pemahaman kitab-kitab salaf agak berkurang perhatiannya terhadap kitab
itu, kitab Ta’lîm al-Muta’allim nyaris tidak populer, bahkan tidak
dikenal sama sekali.
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim sangat populer di setiap Pondok Pesantren,
seakan menjadi buku wajib bagi stiap santri. Sedang di madrasah luar pesantren atau di sekolah-sekolah umum, kitab ini tidak
diajarkan dan baru sebagian kecil yang mengenalnya sejak buku tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruh pengajaran kitab inilah di
antaranya yang menjadi penyebab
perbedaan kepribadian antara santri alumni Pondok Pesantren dan alumni dari
Sekolah Umum atau madrasah modern yang tidak mengajarkan kitab tersebut. Pada
umumnya kepribadian santri lebih moralistis dibandingkan dengan pelajar sekolah non pesantren.
Kepribadian santri sarat dengan nilai-nilai moral spiritual dan etika, adab dan budi pekerti sementara pelajar non pesantren relatif
lebih kurang atau malah hampa dari nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu jarang
terdengar berita bahwa para
santri mengadakan demontrasi kepada para Kyai atau para Ustadznya, atau para
santri tawuran dengan santri lain da
lain-lain.
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim atau sebagian orang menyebut kitab Ta’lîm
mendidik para santri dengan meletakkan akhlak dan etika sebagai dasar utama dalam menggunakan
metode belajar. Metode belajar yang ditawarkan metode berganda yaitu
metode rasional dan irrasional.
Metode rasional sebagaimana yang
berlaku umunya sekolah modern seperti
tekun, rajin, tanya jawab, dialog, diskusi, seminar dan lain-lain dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAIKEM). Sedang metode belajar irrasional yakni metode khlak baik, beretika dan
berbudi luhur seperti hormat guru, mengagungkan ilmu dan kitab-kitabnya. Akhlak
mulia dan budi pekerti yang baik dijadikan metode untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Al-Zarnujî sendiri sebagai
penulis Ta’lîm mengungkapkan pada mukaddimahnya bahwa ia melihat banyak para santri, pelajar,
mahasiswa dan mahasantri pada masanya yang sudah bersungguh-sungguh mencari
ilmu tetapi tidak menghasilkan apa-apa atau tidak memetik buah apa-apa yakni
ilmu yang bermanfaat karena mereka salah
jalan atau salah metode yang digunakan untuk mencapainya bahkan mereka mengabaikan berbagai persyaratan. Padahal barang siapa
yang salah menentukan jalan maka ia sesat dan tidak mencapai maksud yang diharapkan (Isamail, tth.: 3).
Ini maknanya metode dan model pembelajarannya tidak hanya mengandalkan
rasio belaka tanpa menggunakan pendekatan kepada Allah swt yakni pendekatan
akhlak, etika dan budi pekerti yang baik. Sesuai dengan nama kitab ini adalah Ta’lîm al-Muta’allim
Tharîqat al-Ta’allum, maknanya Pengajaran
Metode Belajar Bagi Para Santri kata “tharîq” diartikan metode atau
model pembelajaran.
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim ditulis
oleh Syeikh al-Zarnujî (w. 640 H/1242 M). Nama al-Zarnujî di ambil dari nama sebuah kota tempat beliau tingal yaitu Zarnuj termmasuk wilayah Irak. Tetapi boleh jadi pada peta sekarang sebagaimana keterangan Yaqut al-Hamawî yang
dikuti M Aly As’ad dalam buku terjemahannya, ia masuk wilayah Turkistan
(Afghanistan) yang dekat dengan kota
Khoujandan (M.Aly As’ad, 2007: ii). Para
peneliti belum menemukan kapan al-Zarnujî dilahirkan, tetapi diyakini
hidupnya satu kurun dengan al-Zarnujî lain yang namanya Nu’man bin Ibrahim al-Zarnujî
seorang ulama besar yang wafat pada tahun 640 H/1242 M.(al-Yasu’I, tth. : 337)
Dari
kalangan ahli didik Islam juga mengkritik kitab tersebut. Salah
satu kritikus adalah Dr. Ahmad al-Ahwanî dalam bukunya al-Tarbiyah
al-Islamiyah. Di antara kritikannya, bahwa dalam kitab Ta’lîm banyak
angen-angen kosong dan tidak ilmiah sehingga menurunkan derajat i’tiqad orang awam. Misalnya ia berkata hal-hal yang mencegah datangnya rizki : menyapu rumah pada malam hari, membakar kulit
bawang merah dan putih, menyisir rambut
dengan sisir yang telah rusak, mengenakan serban dalam keadaan duduk dan
mengenakan celana dalam keadaan berdiri (al-Ahwani, tth.: 238-239) dan
lain-lain adalah suatu ungkapan yang
tidak patut diucapkan oleh ulama.
Dalam artikel yang sederhana
ini penulis tidak akan menanggapai kritik etika atau sopan santun sebagaimana
kritikan al-Ahwanî, tetapi lebih kepada
kepibadian yang dibentuk sifat-sifatnya, karena etika yang diajarkan al-Zarnujî
berdasarkan rasio, tradisi, madharat manfaat atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya saja tidak menyangkut aqidah. Ia hanya sebagai motivasi agar santri berbudi
pekrti dan mernjaga sopan santun yang baik. Misalnya, larangan menyapu pada malam
hari yang memang jelas tidak baik karena
malam hari waktu beristirahat, larangan membakar kulit bawang karena membencikan
baunya, bersisir yang rusak akan melukai kepala dan seterusnya.
C. Kepribadian Kesantrian
1. Pengertian
Kepribadian dari asal kata dasar “pribadi”
kemudian mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang menunjukkan sifat pribadi. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan
bahwa arti kepribadian adalah : “ Keadaan manusia sebagai perseorangan, keseluruhan sifat-sifat
yang merupakan watak orang (bisa juga bergeser berarti ; orang yang baik sifat
dan wataknya). Misalnya ia terkenal sebagai seorang pemimpin yang kuat
kepribadiannya ; dalam cerita
karangannya terbayang kepribadian pengarangnya. (PJS Poerwadarminta, 1984 : 768).
Menurut terminilogi Ilmu Jiwa
Kepribadian, adalah ; “Suatu totalitas organisir dari disposisi-disposisi
psykhis manusia yang individual yang memberi kemungkinan untuk membedakan ciri-cirinya yang umum dengan pribadi lainnya”.
(Suparlan, 1980 : 109)
Sidi
Gazalba mengemukakan bahwa kerpibadian adalah : “sifat jasmaniah dan terutama
cara berpikir serta cara merasa ruhaniah
yang menyatakan diri pada tabiatnya yang selanjutnya jadi ciri-ciri pembeda
antara dia dengan orang-orang lain”.
(Sidi Gazalba,1970 :
26)
E.Y.Kemp
yang dikutip oleh Rahmayulis mengatakan, bahwa kepribadian adalah integritas
dari pada sistem kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan cara khas pada individu
untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan (Rahmayulis, 2002 : 288)
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan,
bahwa kepribadian adalah suatu totalitas
sifat-sifat jasmani, ruhani dan
nafsani hasil dari suatu proses kehidupan yang dijalani oleh seseorang yang sudah menjadi tabiat atau watak perseorangan
sehingga membedakan antara pribadi seseorang dengan pribadi orang lain.
Sedang
kesantrian berasal dari kata “santri”. Secara etimologis para ahli berbeda
pendapat tentang asal kata santri ini. Di antara mereka ada yang mengatakan dari bahasa Tamil yang
berarti ; “guru mengaji”. Ada juga yang mengatakan dari bahasa India ; “shastri”
yang berarti orang yang tahu buku-buku
suci agama Hindu dan ada juga yang
berpendapat dari kata “Shastra”
yang berarti buku-buku suci atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Zamakhsyari, 1984 : 18).
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan
santri diartikan ; Pertama, orang yang mendalami pengajiannya
dalam agama Islam (dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren).
Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang saleh. (WJS
Poerwadarminta, 1984 : 870).
Dengan demikian kepribadian santri adalah
sifat-sifat kepribadian yang dimiliki santri yakni seperti mencintai ilmu, mencintai orang berilmu, mencintai ibadah, dan memiliki
sifat-sifat saleh lain.
Menurut KH Imam Zarkasyi -- seorang
pendiri Pondok Pesantren Gontor yang terkenal -- sifat-sifat kesantrian itu ada 5 yang disebut dengan Panca Jiwa, yaitu jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kesanggupan menolong diri sendiri atau berdikari, jiwa ukhuwah
Islamiyah dan jiwa bebas (KMI Pondok Gontor, 1404 : 12).
Sedang Dawam Rahardjo
mengemukakan sifat-sifat keperibadian santri adalah :
Nilai-nilai
keagamaan seperti ukhuwwah (persaudaraan), ta’âwun (tolong
menolong atau kooperasi), ittihâd (persatuan), thalab al-‘ilmi (
menuntut ilmu), ikhlas (ihlas), jihâd (berjuang), tha’at
(patuhkepada Tuhan, Rasul, ulama atau Kyai
sebagai pewaris Nabi dan kepada
mereka yang diakui sebagai pemimpin) dan berbagai nilai yang eksplisit tertulis sebagai ajaran Islam ikut menmdukung Pondok (
Dawam Rahardjo, 1979 : 3)
Melihat dari berbagai sifat atau ciri-ciri kesantrian di atas, maka
kepribadian santri identik dengan
kepribadian muslim, karena kandungan kepribdian santri di atas sesuai dengan ajaran agama Islam yang menjadi
tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana kata Ahmad D Marimba bahwa kepribadian muslim adalah “ kepribadian seluruh aspek yakni tingkah laku luar,
kegiatan jiwa, filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan
serta penyerahan diri kepada-Nya (D Marimba,1974 : 73). Hanya saja
kepribadian santri lebih menonjolkan sifat-sifat kesantriannya yang lebih menitik beratkan pada akhlak al-karimah
menuju kepada kepribadian muslim yang
lebih sempurna yakni mencakup tiga aspek ; aqidah, syari’ah dan akhlak.
Dr.
Ahmad Fuad al-Ahwanî memposisikan akhlak
merupakan bagian dari kepribadian sebagaimana ungkapannya, bahwa
perbuatan seseorang setelah beberapa masa, akan sampai pada tingkat pembiasaan
yang kuat dan otomatis. Perbuatan itu menjadi ciri khusus bagi
kepribadiannya yang kemudian disebut dengan kepribadian. Bagian dari
kepribadian inilah yang dinamakan akhlak
seperti dapat dipercaya, jujur, dan
lain-lain.(al-Ahwani,tth. : 127).
Akhlak menurut penjelasan di
atas, merupakan bagian dari kepribadian. Sedangkan kesantrian adalah bagian
dari akhlak, karena kepribadian kesantrian belum merealisir seluruh nilai-nilai
akhlaq al-karîmah dalam Islam. Akhlak di
sini ditinjau dari segi materi yang
berpengertian sempit bukan secara luas. Sebab jika akhlak dilihat dari
pengertian yang luas kata akhlak sudah mengakomodir seluruh aspek dalam agama
tersebut. Sebagaimana sabda Rasulillah saw : “Sesungguhnya aku diutus hanya
untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari dan Baihaqi ) Demikian juga
Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi menjawab : “Akhlak beliau adalah
al-Qur’an” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Makna Hadis di atas, akhlak adalah
seluruh ajaran agama Islam dengan segala aspeknya, tidak secara
persial. Lebih dari itu
al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak adalah
suatu sifat atau keadaan yang
telah tertanam dalam jiwa yang dapat direalisasikan dalam berbagai
perbuatan dengan mudah tanpa dipikir-pikir dulu. Jika sifat-sifat yang
direalisasikan itu baik dan terpuji baik menurut ratio maupun menurut syara’,
maka dinamakan akhlak yang baik dan jika perbuatan yang direalisasikan itu buruk maka sifat itu dinamakan akhlak
yang buruk (al-Ghazali,tth. : 53)
Dari
definisi di atas akhlak adalah bantuan
nafsaniah dan tetap pada nafsani itu
sendiri. Nafsani seseorang bukanlah
sesuatu yang beku dan kaku tetapi ia membentuk diri dalam nilai-nilai akhlak yang kemudian
menampakkan diri menjadi sifat-sifat yang mewarnai tingkah laku seseorang adakalanya tercela dan adakalanya terpuji.
Meneliti nafsani berarti membongkar dokumen pribadi, mencari dan
menghitung-hitung cela diri yang terselip pada perbendaharaan nafsani dan setelah itu ada usaha mawas diri untuk membentuk kepribadian. Sedangkan
kepribadian seseorang adalah nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai moral. Jadi
akhlak adalah bagian dari kepribadian dan kemudian diusahakan untuk membentuk
kepribadian, karena walaupun akhlak bentukan nafsani yang abstrak, tetapi
dimanifestasikan dalam bentuk
sifat-sifat yang mewarnai segala tingkah
laku seseorang yang harus melibatkan
melalui nafsu dengan berbagai macamnya, jasmani dan rohani.
2. Pembentukan Kepribadian Santri
Kepribadian seseorang tidak tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya, akan tetapi harus dibentuk dan dipengaruhi oleh
pendidikan dan lingkungan ke arah tujuan
yang sesuai dengan kepribadian yang diinginkan. Oleh karena itu perlu proses
yang disebut dengan pembentukan kepribadian. Pembentukan kepribadian ini
dijadikan etika dan metode pembelajaran sehingga tercapai sebuah tujuan
pembelajaran yang ditentukan yaitu kepribadian kesantrian pula. Di sini ada
perbedaan antara pembentukan kepribadian
santri dalam proses motivasi dengan kepribadian santri yang sudah menjadi
tabiat watak yang menjadi tujuan pembelajaran.
Menurut kitab Ta’lîm al-Muta’allim
pembentuk kepribadian adalah beberapa faktor
berikut :
a. Santri (al-muta’allim),
b. Guru (al-Ustadz) dan
c. Bapak (al-Abu) (Ibrahim bin
Ismail : 21).
d. Teman (al-Syarîk )
(Ibid : 15-16)
Syeikh al-Zarnujî
menomorsatukan faktor santri, karena meskipun ia menjadi obyek pendidikan yang
harus dibentuk kepribadiannya, namun santri harus proaktif (activelearning)
dalam usha pembentukan kepribadian tersebut, karena pada dasarnya santri sebagai anak sudah mempunyai potensi fithrah Islamiah
sejak dilahirkan. Di sini berarti al-Zarnujî sangat menghargai potensi santri,
santri tidak dianggap sebagai benda mati, tetapi makhluk hidup yang berpontensi
dan dapat berbuat dan berkembang sesuai dengan pengembang di sekelingnya.
Segala etika dan metode pembelajaran selalu diarahkan kepada santri atau
pencari ilmu, misalnya santri hendaknya mempunyai niat yang baik dalam mencari
ilmu yakni mencari rida Allah, tekun dan
ulet tahan, membawa pena di mana saja untuk mencatat ilmu.
Pesantren adalah merupakan kelanjutan pendidikan si anak didik
yang telah diawali dari orang tua dalam
keluarga. Komunmitas pesantren terdiri
dari santri, guru (ustadz) dan Kyai.
Para ustdaz dan Kyai inilah yang menjadi
orang tua santri di dalam pesantren bahkan al-Zarnuji menyebutnya lebih tinggi
yakni disebut “Bapak dalam Agama”. Hubungan antara Kyai, Ustadz dan santri seperti hubungan antar keluarga yang saling
menyayangi dan menghormati. Di samping
itu lingkungan pesantren adalah
lingkungan religius yang dapat
menggabungkan antara ilmu teoritis dan pragmatis. Anak-anak santri dalam
pesantren terbina dengan pendidikan yang optimal dan lingkungan yang sangat
mendukung.
Kitab Ta’lîm
di atas menyebutkan faktor lingkungan teman atau bermasyarakat
sebagaimana dalam pendidikan modern, bahklan beliau sangat mengutamakan dalam
bab tersendiri yang disebut sebagai al-Syarîk = sekutu, rekanan, teman
persekutuan. Interpretasi kata tersebut oleh
Dr. Ahmad Syalabi mengingat suatu
kemanfaatan bersama yang menghubungkan teman dengan teman dan mengingat pula bahwa kerja sama antar
mereka menghasilkan berbagai kebaikan
untuk mereka bersama. Sebagaimana yang terjadi antara dua orang berserikat dalam suatu perdagangan atau usaha-usaha keuangan lainya. Karena kerja sama dan keikhlasan
masing-masing pihak terhadap lainnya akan mendatangkan laba yang banyak bagi
mereka bersama dan mempunyai pengaruh
yang besar untuk memasukkan
tujuan bersama yang diusahakan mencapainmya oleh mereka berdua. (Ahmad
Syalabi : 315).
Dengan demikian al-Zarnujî
sudah meletakkan pembentukan kepribadian sejak awal atau telah meletakkan
pengaruh dalam pendidikan ada tiga faktor
sebagaimana dalam pendidikan modern yaitu ; santri atau murid itu sendiri, guru
berarti lingkungan sekolah, orang tua lingkungan rumah tangga dan masyarakat
yakni teman pergaulan.
Kepribadian santri adalah
tujuan akhir pendidikan kitab Ta’lîm al-Muta’allim sedangkan tujuan
pendidikan di pesantren pada umumnya
lebih mementingkan pendidikan akhlak. Oleh karena itu segala upaya dan
usaha pesantren pada umumnya diarahkan
untuk membentuk kepribadian kesantrian. Kepribadian dalam proses pembentukannya
dapat berlanjut dengan baik asal ada
kontinuitas pendidikan yang dialami
individu dalam kehidupan yang
membawa kontinuitas perobahan kepribadian. Kepribadian itu secara kontinuitas
mengalami proses pembentukan sampai
kepada tingkat kedewasaan yang stabil. Itupun
kemungkinan besar masih akan mengalami
perobahan hanya agak lamban, sehingga kepribadian yang diperoleh
bentuknya seolah-olah tidak berobah lagi.
Kemudian aspek-aspek
kepribadian yang meliputi aspek jasmani,
aspek rohani dan jasmani masing-masing mempunyai potensi. Aspek jasmani, meliputi seluruh tenaga yang
bersumber pada pisik dibentuk oleh
tenaga jasmani. Aspek nafsani meliputi
karsa, rasa dan cipta dibentuk oleh tenaga nafsani. Sedang aspek
rohani yang luhur dibentuk oleh tenaga budhi.
Ada tiga proses pembentukan kepribadian santri, yaitu sebagai berikut :
a.
Pengulangan dan Pembiasaan
Dalam pembiasaan al-Zarnujî menggunakan
teori pengulangan (trail and eror). Menurutnya, jika pelajaran pertama yang diajarkan itu
memerlukan waktu yang lama dan santri
memerlukan pengulangan 10 kali, maka sampai akhirpun demikian sehingga menjadi
kebiasaan. Pembiasaan seperti itu akan sulit dihilangkan kecuali dengan susah
payah. Dikatakan, bahwa pelajaran satu huruf pengulangannya 1000 kali.(Ismail,
tth. : 28)
Pembiasaan
membentuk aspek kejasmaniahan dari kepribadian atau kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu dengan
dibantu tenaga-tenaga nafsani.
Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan untuk membentuk kepribadian
yang dinginkan. Misalnya pembiasaan melaksanakan salat sejak kecil, pembiasaan
hormat kepada guru, pembiasaan berkata jujur dan lain-lain.
Sidi Gazalba menjelaskan, pendidikan adalah
proses yang kontinu. Ia merupakan pengulangan yang perlahan-lahan tetapi serba
terus sehingga sampai pada bentuk yang diingini. Laksana tetesan air yang serba
terus menitik akhirnya membolongi batu, demikianlah misal dari proses aspek pendidikan (Sidi Gazalba, 1970 : 15)
Dengan
pembiasaan yang kontinu pribadi santri yang sekeras apapun lambat laun akan
dapat diukir sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidik. Pengulangn
yang ditawarkan oleh kitab Ta’lîm al-Muta’allim tidak tanggung-tanggung
satu huruf diulang sampai 1000 kali. Ini ungkapan yang menunjukkan betapa
pentingnya pengulangan yang tidak ada bosan, atau diartikan banyak kali.
b.
Pembentukan kognisi
Nilai-nilai
kepribadian santri yang ditanamkan akan
membentuk pengertian (kognisi), minat dan sikap melalui pengajaran, ceramah,
konsultasi pribadi dan lain-lain. Misalnya cinta dan taat kepada Allah, Rasul, Kyai, ulama,. guru dan para pimpinan, cinta ilmu, ikhlas dalam
pengabdian, wara’ (memelihara diri dari haram), tawadhu’
(merendahkan hati), menjauhi sifat-sifat
tercela dan lain-lain.
Pembentukan
kognisi sesuatu yang berproses yang berlaku pada seseorang dengan memberikan interpretasi pada miliau. Samuel Soeitoe mengatakan,
bahwa hendakanya anak dikenalkan
beraneka ragam pengertian
melalui proses kognisi. Perkembangan kepribadian pada anak dipengaruhi oleh
pengertian-pengertian yang dikuasai oleh
anak. (Samue Soeitoe, 1982 : 54)
Dalam membentuk pengertian, minat dan sikap
mengenai dasar dan pokok sebagaimana
dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim tersebut,
perlu diperhatikan bahwa manusia yang
ingin dibentuk adalah manusia secara
keseluruhan melalui tenaga-tenaga aspek kepribadian. Dengan mempergunakan akal pikiran dapat ditanamkan pengertian ikhlas dan lain sebagainya yang akan membentuk sikap dan pandangan seorang santri. Sedangkan
pembentukan aspek nafsani dengan mempergunakan tenag-tenaga karsa, rasa dan
cipta yaitu dengan memberi pengertian dan
poengetahuan tentang
amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang
biasa dilakukan oleh para santri dan
penanaman dasar-dasar kesusilaan serta pokok-pokok kepercayaan.
c. Pembentukan rohani
Pembentukan rohani adalah dengan memperbanyak dzikir, misalnya
wirid, tasbih, tahmid, tahlil dan berdo’a setelah salat wajib, melanggengkan
wudhu, dalam keadaan bersuci dari hadats
ketika mudzakarah, membaca kitab dan lain-lain (Ismail,tth.: 45-47). Alat
utama untuk membentuk kerohaniahan adalah budhi dibantu oleh tenaga-tenaga kejiwaan yang akan
menghasilkan adanya kesadaran dan
pengertian yang dalam. Segala pemikiran, pemilihan dan keputusan
didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sendiri.
Ahmad
D Marimba mengemukakan, bahwa budhi
adalah inti tenaga dalam taraf pembentukan
ini dan budhi pulalah justru yang dibentuk dalam taraf ini. Budhi yang
telah dapat bekerja dengan baik akan
mendapat pengaruh-pengaruh dari
alam ghaib, dari alam jin mukminm, dari alam malakût dan lâhût. (D
Marimba,1974 : 86-87)
Lingkungan
pesantren sangat mendukung pembentukan
rohani ini, karena suasana relegius karena kesatuan sistem pendidikannya dari
madrasah, asrama dan masjid. Para santri melaksanakan segala aktifitas di
pesantren seperti air mengalir artinya sangat mudah beraktifitas karena terbawa
oleh kingkungan di sekitarnya, seperti shalat berjamaah, dzikir setelah shalat, mengaji kitab dari
waktu ke waktu, mengaji al-Qur’an daln lain-lain. Suasana ini sangat mendukung
dalam membentuk dan memperbaharui iman dan pembentukan rohani santri
sebagaimana Rasululllah saw bersabda : “Perbaharuhilah imanmu dan
perbanyaklah membaca “Ttidak ada Tuhan selain Allah” (HR. Ahmad)
D. Sifat-sifat Kepribadian Kesantrian
Sebagaimana keterangan di atas bahwa
kepribadian santri dijadikan sebagai etika atau metode untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran itu sendiri yakni agar
sifat-sifat kepribadian itu melekat
menjadi watak, tabiat dan pribadi.
Paparan ini akan menjelaskan sifat-sifat keperibadian santri. Yang perlu
dimaklumi terlebih dahulu, bahwa kepribadian adalah keseluruhan sifat-sifat jasmani, rohani
dan nafsani yang sudah menjadi watak seseorang sehingga membedakan antara pribadi satu dengan lainnya.
Namun, bisa dikatakan bahwa
kepribadian yang terikat dengan
kesantrian mempunyai persamaan atau hampir sama karena satu proses dan
satu produk pendidikan serta lingkungan yang sama. Kepribadian adalah suatu
hal yang abstrak dan non indrawi, tetapi dapat dilihat beberpa indikatornya
yang disebut dengan sifat-sifat kepribadian santri. Di antara sifat kepribadian
santri yang sangat menojol adalah sebagai berikut :
1. Ketekunan dalam pembelajran
Di
antara motivasi yang diberikan kitab Ta’lîm untuk mencapai keberhasilan
dalam pembelajaran adalah kesungguhan, sebagaimana yang disebutkan di sebagaian
sebab-sebab tercapainya hapalan adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi
makan, shalat layl (salam malam
hari) dan membaca al-Qur’an. Dikatakan,
bahwa tidak ada sesuatu yang lebih menambah daya hapal terhadap ilmu
melainkan membaca al-Qur’an. ( Ismail,tth.: 40)
Ketekunan
dalam pembelajaran yang ditawarkan
adalah ketekunan lahir batin atau ketekunan pisik dan non pisik. Ketekunan
pisik adalah ketekunan rasional yakni
kerja keras secara kontinui. Sedangkan ketekunan non pisik adanya
pendekatan kepada Allah swt seperti berpuasa, mengurangi makan, shalat malam
dan membaca al-Qur’an.
2. Ikhlas dalam pengabdian
Dalam
mencapai tujuan pembelajaran, pengabdian yang ditanamkan kepada santri di samping
pengabdian kepada Allah adalah pengabdian
kepada guru. Guru di sini diposisikan seperti dokter terhadap pasiennya, keduanya tidak akan
mengantarkan kesuksesan jika tidak
dipatuhi.(Ismail,tth.: 18).
Pengabdian kepada guru dimaksudkan sebagai penghormatan dan kepatuhan, karena
guru sebagai sumber ilmu yang sangat
berharga. Penghormatan tersebut
merupakan kewajiban santri terhadap orang alim,
bukan guru yang minta dihormati.
Sebagaimana sabda Nabi saw :
“Tidak tergolong umat kami
barang siapa yang tidak menghormati orang
tua di antara kami, tidak
menyayangi yang lebih kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang alim
di antara kami”. (HR.
Ahmad).
Ali
bin Abi Thalib meskipun salah seorang
sahabat yang sangat alim sampai dikatakan Nabi sebagai “Pintu Kota
Ilmu” menghambakan dirinya terhadap
guru. Sebagaimana kata beliau : “Saya hamba orang yang mengajar aku satu huruf,
jika ia berhendak menjual aku atau memerdekakan dan atau tetap
menjadikan buda”. (Ismail,tth.: 16)
Pada umumnya santri yang banyak membantu
guru adalah santri yang dekat dan
dicintai guru. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi santri dengan
berharap ilmu yang didapatkannya mengandung keberkahan. Dan konsep seperti itu
banyak dibuktikan para alumninya setelah pulang ke kampung halaman. Mereka sekalipun
tidak terlalu banyak ilmunya tetapi mendapat kepercayaan masyarakat untuk
membangun madarasah atau pesantren yang banyak
santrinya.
3. Cinta dan Menghormati Ilmu
Ada beberapa metode yang dilakukan para santri sebagaimana yang
dianjurkan kitab Ta’lîm dalam mencapai keberhasilan pembelajarannya, di
antaranya menghormati ilmu itu sendiri, menghormati kitabnya dan menghormati
guru sebagai sumber ilmu serta keluarganya.
a. Menghormati ilmu
Di antara cara menghormati
ilmu adalah melanggengkan wudhu (bersuci) selama pembelajaran berjalan. Alasan
yang dikemukakan al-Zarnujî adalah ilmu itu cahaya, berwudhu juga cahaya, cahaya
ilmu akan bertambah dengan cahaya berwudhu (Ismail,tth.: 18). Syeikh al-Zarnujî
menganjurkan agar para santri
benar-benar mendengarkan dan memperhatikan ilmu yang disampaikan guru dengan
penuh ta’zhim dan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengar berkali-kali.
Sebagaimana kata beliau dengan mengutip kata sebagian ulama, bahwa orang yang ta’zhimnya kepada guru (dalam ilmu ) setelah
mendengar 1000 kali tidak seperti ta’zhimnya pada pertama kali, tidak tergolong ahli ilmu (Ismail,tth: 19).
Retorika Ta’lim memang
indah sesuai dengan psichlogi para santri yang pada umunya anak remaja atau
muda. Setiap pesan-pesan yang diberikan selalu dibungkus dengan
motoivasi-motivasi yang menarik jiwa mereka sehingga seorang santri terbawa
untuk melaksanakannya dengan senang hati. Misalnya pada anjuran mendengarkan atau memperhatikan ilmu disertai
motivasi menjadi seorang ilmuan atau pakar ilmu.
b. Menghormati kitab-kitab ilmu
Cara lain yang dilakukan adalah menghormati
kitab yang berisikan ilmu. Sebagaimana kata al-Zarnujî, bahwa di antara ta’zhim
(hormat ilmu) yang wajib adalah tidak
memanjangkan kaki ke arah kitab, menumpuk kitab Tafsir di atas segala kitab lain karena keagungannya
dan tidak meletakkan sesuatu benda di
atas kitab (Ismail,tth.: 18) Di sinilah
letak perbedaan yang menonjol antara antara santri yang mempelajri kitab Ta’lîm
dengan santri atau pelajar yang tidak
pernah mempelajrinya. Bagi santri atau pelajar
yang tidak pernah mempelajarinya tidak merasa salah ketika memanjangkan
atau melonjorkan kaki ke arah kitab,
bahkan menarauh kitab sembarangan di tempat yang tidak terhormat. Bahkan
meletakkan al-Qur’anpun sembarangan temapt tidak ada rasa ta’zhim dan
penghargaan yang tinggi.
Di antara penghormatan kepada
kitab ilmu juga menghormati kepada penulisnya, karena penulispun sebagai guru
utama baik lagsung maupun tidak langsung. Realisasi penghormmatan para santri
dan para guru santri pada umumnya ketika memulai akan membaca atau mengajarkan sebuah kitab selalau membaca
surah al-Fatihah. Atau selalu mendoakan
penulisnya, sebagaimana yang sering dibaca :
قَالَ الشَّيْخُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تعَالَى ونَفَعنَا
بهِ وَبُعلُوْمِهِ فِي الدَّارَيْنِ آمين
Syeikh
penulis buku berkata, semoga Allah merohmatinya dan memberi manfaat ilmunya
kepada kita dunia akhirat.
c. Menghormati guru dan keluarganya
Di
antara penghormatan terhadap guru yang dipaparkan kitab Ta’lîm, adalah
tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru, tidak memulai berbicara kecuali dengan izin, tidak banyak bertanya
pada saat guru lelah, harus menjaga waktu dan
tidak mengetuk pintu ketika bertamu tetapi sabar sampai guru keluar.
Singkatnya santri mencari rida guru, menjauhi yang dibenci guru dan
melaksanakan yang diperintah kecuali maksiat kepada Allah. Berikutnya Syeikh
al-Zarnujî mengutip dari perkataan Syeikh Imam Sadid al-Dîn al-Syairazî, bahwa
para masyâyîkh (para gurunya) berkata :
Barang siapa yang ingin
anaknya menjadi orang alim hendaknya menghormati para ulama dan para
guru terutama yang hidup dalam perantauan. Hormati mereka, agungkan mereka dan
beri hadiah. Jika tidak anaknya, cucuknya akan menadi orang alim (Ismail,tth.:
17).
Sedangkan alinea berikutnya
ada motivasi seorang ingin menjadi alim atau anak kalau tidak cucunya hendaklah
menghormati guru dan mencari ridanya.
Dalam kitab Ma’a al-Raîl
al-Awwal, bahwa Imam Abu Hanifah (w.150 H) mengatakan ; Aku tidak
shalat sejak wafat gurunya yakni Syeikh Hammad bin Muslim al-Asy’ari (w.
120 H) kecuali aku memohonkan ampunan bersama ayahandaku dan aku tidak pernah melonjorkan kakiku ke arah rumahnya yang jaraknya kurang lebih 7
gang. Sungguh aku memohonkan ampunan
kepada orang yang aku pernah belajar dari padanya atau orang yang pernah
mengajar aku. (Muhib al-Dîn al-Khathîb,tth. : 68)
Di antara penghormatan kepada
guru adalah menghormatan kepada anak, istri atau keluarganya. Anjuran ini disertai dengan
kisah yang menarik. Seorang Ulama besar
Syeik al-Islam Burhan al-Dîn pengarang kitab al-Hidayah,
mengkisahkan bahwa salah seorang ulama senior dari negeri Bukhara duduk di
majlis pengajaran, sesekali ulama itu beridiri. Ketika ditanya para santrinya, beliau menjawab : “Anak guru
saya bermain sama teman-temannya di jalanan, ketika aku melihat aku berdiri
karena ta’zhim kepada guru saya”.
Pesan Ta’lîm pada alinea di atas disertai bukti-bukti pengalaman sejarah,
kisah atau peristiwa yang terjadi sebagai kisah ahli didik bagaimana ia dapat
mencapai sutu tujuan yang dinginkan dengan cara penghormatannya kepada guru dan
keluarganya. Dengan demikian mudah dicerna dan dipahami oleh murid, kartena
semua orang pada umumnya senang
mendengar cerita-cerita atau kisah orang-orang yang berpengalaman.
Banyak pertanyaan atau diskusi
dengan guru tentang ilmu tidak
menghalangi makna ta’zhim (hormat ) terhadap guru. Kitab Ta’lîm
sendiri menganjurkan bertanya kepada guru asal pada waktu dan kondisi yang
tepat. Ibnu Abbas pernah ditanya, dengan apa engkau berhasil mendapatkan ilmu
? Ibnu Abbas menjawab : “Dengan lesan
yang banyak bertanya dan akal yang banyak berpikir”. (Ismail,tth.: 31).
Tradisi
sebagian santri atau pelajar yang lebih banyak diam di hadapan guru dan merasa
tidak sopan banyak pertanyaan adalah tradisi budaya yang dipengaruhi oleh
lingkungan setempat bukan anjuran dari kitab Ta’lîm, kitab ini menganjurkan bertanya dengan sopan
artinya sesuai dengan waktu dan kondisi yang baik. Bukankah Nabi telah
mengajarkan penyampaian ilmu dengan tanya jawab. Ketika Jibril datang seperti
seorang laki-laki datang duduk manis di hadapan Nabi sambil menyandarkanm kedua
lututnya pada kedua lutut Rasulillah dan meletakkan kedua tangannya di atas
kedua pahanya dengan penuh ketenangan, penuh perhatian dan penuh ta’zhim.
Kemudian Jibril bertanya tentang iman,
Islam dan ihsan. Setelah itu Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ia
Jibril datang kepada kalian untuk
mengajar agama kalian”. (HR Muslim)
4. Wara’ (menjaga dari hal yang
haram)
Di
antara sifat pribadi santri adalah wara’ artinya berhati-hati dari
barang haram. Bahkan wara’nya santri
yang diajarkan kitab Ta’lîm adalah menjauhi dari syubhat (barang yang
tidak jelas statusnya antara halal dan haram), dan menjauhi dari makanan yang
kurang berkah. Di antara ungkapan al-Zarnujî, sayogyanya santri menjaga dari
makanan pasar jika mungkin, karena
makanan ini lebih mudah terkena najis atau kotoran, menjauhkan
dzikir kepada Allah dan lebih
dekat kepada kemunafikan, menjadi arah pendangan orang-orang fakir sedang mereka tidak mampu membelinya sehingga
menjadi sedih sehingga menghilangkan
keberkahan. (Ismail,tth.: 39)
Memang
sulit dan amat berat pada zaman sekarang
seseorang hidup bersifat wara’ menjaga dari hal yang haram, syubhat dan
makanan pasar. Apa lagi hidup di kota-kota besar seperti di Jakarta yang banyak tantangan dan godaannya. Di
antara tantangannya hidup yang serba efektif dan efisien seperti budaya makanan
yang siap saji bahkan makanan matang
masakan pasar siap disaji. Al-Qur’an perintah makan makanan yang halal dan yang
baik (thayib) seperti dalam QS. al-Mukminun/23: 51 :
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik,
dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. 23:51)
Syeikh Muhammad Alawî
al-Malikî memberikan komentar bahwa ayat tersebut memberi isyarat, bahwa
makanan yang halal menolong untuk beramal saleh. Oleh karena itu Ibrahim
bin al-Adham berkata : “Buat sebaik mungkin makananmu dan
tidak ada alasan engkau tidak bangun pada malam hari untuk beribadah dan
berpuasa pada siang hari”. Artinya engkau tidak merasa terbebankan dan tidak merasa berat melaksanakannya.
Taufik Allahlah yang menyertaimu
sehingga engaku ringan menjalankannya. Demikian itu implikasi dari
makanan halal, sebab setiap daging yang tumbuh dari makanan haram neraka lebih
utama baginya. (al-Maliki,1393: 107)
Dengan demikian makanan halal yakni yang tidak mengandung haram, syubhat dan yang tidak barakah punya pengaruh dalam
pembentukan kepribadian santri yakni peribadi muslim yang berakhlak.
5. Tawâdhu’ (rendah hati)
al-Zarnujî
menukil bait-bait syair tentang
tawadhu’, di antaranya :
Sesungguhnya tawadhu’ itu di antara sifat orang taqwa
Dan dengan taqwa inilah seseorang dapat naik ke derajat yang tinggi
Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong
Bagaikan air musuh bagi tempat yang tinggi
(Ismail,tth : 12,20)
Semua
sifat-sifat kepribadian yang dipaparkan al-Zarnujî selalu dikaitkan dengan
tercapainya tujuan pembelajaran seperti tercapainya ilmu yang bermanfaat
sebagaimana yang disebutkan pada syair
di atas. Sifat tawadhu’ adalah sifat rendah hati dengan sesama manusia
meskipun banyak kelebihan seperti kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu dan
lain-lain. Orang tawadhu’ sekalipun banyak kelebihan tidak membanggakan
kelebihannya itu dan tetap hormat kepada orang lain dan tidak merendahkan
potensi orang lain.
Para
santri pada umumnya terlatih sifat tawadhu’nya
selama berionteraksi dengan lingkungan di pesantren. Mereka menundukkan
kepalanya dan merendahkan suara pada saat berkomuniklasi dengan orang yang
lebih tua terutama dengan gurunya
dan mencium tangan para guru ketika
berjabat tangan. Sifat tawadhu’ ini
sedikit demi sedikit menghilangkan sifat kesombongan, anani, sifat ingin
dihormati, ingin dilayani dan lain
sebagainya. Sifat rendah hati tidak mesti
bukan berarti menjadi rendah,
akan tetapi menurunklan suhu
emosi dan ambisi kedudukan dan penghormatan yang tidak pada tempatnya.
Beberapa
sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitab Ta’lim sebagai
upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi model rasional yakni model
akhlak dan etika yang sesuai dengan kaedah aaran agama Islam. Al-Shabuni dalam
bukunya al-Shafwat al-Tafâsîr
menjelaskan, bahwa ilmu ada dua macam yaitu
:
1. Ilmu Kasbi, ilmu yang harus diusahakan
melalui pembelajaran yang tekun
2., Ilmu Wahbi, ilmu pemberian Allah tanpa
melalui usaha pembelajaran (outodidak).
Ilmu
pertama diperoleh dengan kesungguhan,
ketekunan dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua
dengan jalan taqwa dan amal saleh sebagaimana firman allah dalam QS.
Al-Baqarah/2 : 282 “Dan takutlah kepada
Allah dan Dia mengajarkan kamu dan Allah dengan segala sesuatu Maha
Mengetahui”. Ilmu ini juga disebut
ilmu laduni sebagaimana firman-Nya QS. Al-Kahfi/18 : 66 “Dan ia Kami berikan
ilmu dari pada Kami” yaitu ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada
orang-orang yang dikehendaki Allah dari para hamba yang taqwa kepada-Nya
(al-Shabuniy,tth. : 165)
Demikian
juga syair al-Syafi’i tentang
pengaduannya kepada guru tentang hapalannya yang kurang baik.:
Aku
mengadu kepada Imam Waki’ tentang hapalanku yang lemah
Maka
ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalklan segala maksiat
Beliau
menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya
Dan
cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.
Syair
al-Syafi’i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujî dalam kitab Ta’lîm
(Ismail, tth.: 14). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran
al-Syafi’i, Muhammad Ali al-Shabuni dan al-Zarnujî tentang perlunya pemndekatan
kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk memperoleh ilmu
yang bermnanfaat.
E. Penutup
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim
mempunyai pengaruh besar dalam membentuk kepribadian santri. Kepribadian santri
di samping dijadikan tujuan pembelajaran di pesantren juga dijadikan sebagai
metode serta etika pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut. Metode
pembelajaran yang ditawarkan Ta’lim ada dua yaitu metode rasional atau
pisik dan metode irrasional atau non pisik. Metode rasional atau pisik
pada umumnya di kalangan santri disebut usaha lahir Sedangkan metode
irrasional atau nonpisik disebut usaha batin. Metode pisik sebagaimana yang
diajarkan dalam pendidikan modern, seperti metode drill, trail and error dan lain-lain. Metode
irrasional adalah metode etika yang
berbentuk akhlak dalan budi pekerti seperti yang sekaligus merupakan tujuan pendidikan. Metode berganda
inilah di antara keistimewaan metode kitab Ta’lim yang diperaktekan oleh
mayoritas santri di berbagai pesantren di Indonesia yang juga merupakan
kepribadian santri, seperti tawadhu’,
hormat kepada guru dan
lain-lain.
Dalam
kehidupan santri sehari-hari tidak lepas dari
double method dalam meraih
suatu ilmu yakni metode lahir
dan batin. Metode lahir untuk menempuh
ilmu kasbi sedang metode
etika dan akhlak untuk mencapai ilmu wahbi atau laduni. Keseimbangan
antara dua metode tersebut dijadikan
suatu metode untuk mencapai ilmu baik kasbi dan laduni. Karena pada dasarnya
manusia tidak bisa membedakan antara dua ilmu tersebut setelah dimilikinya,
keduanya secara sbstansial datangnya dari Allah.
F. Daftar
Pustaka
Al-Quran al-Karîm
Al-Ahadîts al-Nabawiyah
Al-Ahwanî, Ahmad Fuad, al-Tarbiyah fi al-Islâm, Cairo : Dâr
al-Ma’ârif, tth
.
Abd al-Qâdir, Muhammad, Thuruq
Ta’lîm al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Mesir : Maktabah al-Nahdhah, tth
Dhafir, Zamakhjsyari, Tradisi
Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1984
Gazalba, Sidi, Pendidikan
Umat Islam, Jakarta : Bahtera, 1970
Al-Ghazalî, Abu Hâmid
Muhammad bin Muhammad, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut : Dâr al-Fikr, tth,
Al-Ghulâyayni, Mushthafa, ‘Izhat
al-Nâsyi’în, Mesir : al-Ashriyah, tth
Isma’il, Ibrahim Ibn, Syarah Talîm
al-Muta’allim, Citrebon, al-Maktabah
al-Mishriyah, tth
al-Khathîb, Muhib al-Dîn,
Ma’a al-Raîl al-Awwal, Beirut : Dar a;l-Fikr, tth.
KMI Pondok Gontor, Khuthbah
Iftitah (diktat) dalam Pekan Perkenalan, Ponoroga : 1404 H
Marimba, Ahmad D., Pengantar
Filsafat pendidikan Islam, Bandung : PT al-Ma’arif, 1974
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarata :
Balai Pustaka, 1984
Raharjdo, M. Dawam (ed), Pesantren
dan pembaharuan, Jakarta : Mutiara,
1979
Rahmayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002
Shaleh, Abd. Rahman, et
al., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta : Depag RI, 1982
Syalabi, Ahmad, Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyah,
Terjemahan Mukhtar Yahya dan M sanusi Lathif, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Soeitou, Samuel, Psikologi Pendidikan: Mengutamakan Segi-Sego
Perkembangan, Jakarta : Fak. Ekonomi UI, 1982
Suryapratondo, Suparlan, Ilmu
Jiwa Kepribadian, Jakarta : Paryu Barkah, 1980
al-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat al-Tafâsîr, Beirut: Dar
al-Fikr, tth.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung : Rosdakarya, 2007 Cet. Ke-7
Al-Yasû’î, Abu
Luwîs, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut : Dar al-Masyriq, tth.
Al-Zarnuji, Talîm al-Muta’allim,
Terjemahan Aly As’ad, Kudus : Menara Kudus, 2007 Edisi Baru
Zuhairini, at al., Metodik Khusus
Pendidikan Agama, Surabaya : Usaha Nasional : 1981
[*] Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaatullah Jakarta