Rabu, 24 Oktober 2012

Modul PLPG al-Qur'an Hadits


AL-QUR’AN DAN HUBUNGANNYA
DENGAN HADIS

Pendahuluan
            Pada Modul 1 ini anda diajak  belajar lebih sungguh-sungguh tentang  pengertian dasar  al-Qur’an dan Hadis, istilah-istilah dalam al-Qur’an dan Hadis serta hubungan antara keduanya. Keduanya mempunyai keterkaitan hubungan yang sangat erat, karena keduanya dijadikan dasar dalam beragama Islam. Hanya al-Qur’an memang dinomor satukan karena dia berisikan firman-firman Allah sedang Hadis berisikan perkataan Nabi atau perbuatan dan persetujuannya. Di samping itu secara fungsional Hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur’an tentunya yang dijelskan lebih dahulu dari pada yang menjelaskan. Oleh karena itu, keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. 
            Modul ini terdiri dari dua Kegiatan  Belajar (KB). Pada KB 1 dibahas tentang definisi al-Qur’an  Hadis dan istilah-istilah yang digunakan dalam al-Qur’an Hadis misalnya surah, ayat, matan, sanad, mukharrij dan lain-lain. Sedang  pada KB 2 dibahas tentang Hadis Nabawi, Hadis Qudsi dan al-Qur’an kemudian hubungan antara al-Qur’an dan Hadis.
            Selesai mempelajari modul ini, anda diharapkan dapat mendefinisikan al-Qur’an dan Hadis, istilah-istilah yang digunakan dan hubungan antara keduanya. Secara lebih khusus setelah mempelajari BBM ini anda diharapkan dapat :
1. mendeskripsikan definisi al-Qur’an dan Hadis
2. menyebutkan beberapa unshur yang merupakan bagian dari al-Qur’an dan Hadis
3. menyebutkan beberapa contoh unshur-unshur Hadis
4. membedakan antara Hadis Nabawi dan Qudsi dan antara alQur’an
5. Menyebutkan beberapa fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
6.  Menyebutkan contoh-contoh fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
5. Mendeskripsikan kedudukan Hadis dalam agama
 
Mengingat besarnya manfaat  yang dapat anda petik dari dua KB ini, ikuti saran-saran yang memudahkan anda dalam mempelajarinya, yaitu  :
1. Ketika mempelajari modul ini kaitakan dengan pengalaman anda sehari-hari dalam melaksanakan Islam baik berkaitan kedudukan al-Qur’an dan Hadis  maupun fungsinya agar anda dapat memperbaikinya
2. Bacalah setiap KB dengan cermat sampai paham betul. Jika perlu buatlah catatan-catatan kecil tentang hal-haka yang  anda anggap penting
3. Sebagai guru MA atau Mts dituntut untuk dapat menilai sendiri kemampuan diri dengan jujur. Oleh karena itu setelah mempelajari dari topic ke topic lain atau keseluruahn isi  setiap KB, kerjakan  latihan-latihan atau test formatif  yang terdapat di setiap KB. Untuk melihat hasilnya, silahkan melihat petunjuk atau rambu-rambu pengerjaan latihan dan kunci test formatifpada akhir BBM ini. Anda akan mengetahui  sendiri seberapa tingkat penguasaan andaterhadap materi BBM yang telah anda pelajari.     

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kegiatan Belajar 1
AL-QUR’AN DAN HADIS
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengantar
          Al-Qur’an sebagaimana Hadis memiliki beberapa unshur yang merupakan bagian dari jati dirinya. Al-Qur’an terdiri dari beberapa surah dan beberapa ayat demikian juga Hadis terdiri dari sanad, matan dan mukharrij. Tidak dinamakan al-Qur’an dan Hadis  kalau tidak terdiri dari beberapa unshur tersebut. Hadis tidak hanya terdiri dari matan saja tetapi gabungan antara matan (materi Hadis), sanad (para periwayat) dan mukharrij (pembuku), andaikata matan saja tidaklah dinamakan Hadis.  Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir (kolektif)  baik dari surah ke surah, ayat ke ayat bahkan kalimat ke kalimat dan kata ke kata.
Berbeda dengan Hadis yang  mayoritas diriwayatkan secara âhad (individu atau beberapa orang). Keberadaan sanad dan mukharrij menjadi amat penting sebagai saksi dan bukti keotentikan matan Hadis.  Sisi lain sejak masa datangnya Hadis memang tidak tercatat seluruhnya sebagaimana al-Qur’an bahkan dilarang oleh Rasulillah mencatatnya, karena khawatir tercampur aduk dengan al-Qur’an. Dalam sejarah sejak setelah adanya konflik umat Islam awal antara pendukung Ali dan Muawiyah telah teradi pemalsuan Hadis. Oleh karena itulah para ulama mempersyaratkan adanmya sanad dalam periwayatan Hadis. Untuk memahami secara mendetail tentang pengertian dasar tentang al-Qur’an dan Hadis serta istilah-istilah yang merupakan bagian dari keduanya pada KB 1 ini akan dipaparkan.
 
A.    Pengertian al-Qur’an  dan Bagian-Bagiannya
1. Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an secara etimologi diambil dari  kata : قَرَأَ يَقْرَأُ قِرَاءَةً  وَقُرْآنًا   yang berarti   sesuatu  yang dibaca  ( اْلَمقْرُوْء ُ ). Jadi arti al-Qur’an secara lughawi adalah sesuatu yang dibaca. Berarti menganjurkan kepada umat agar al-Qur’an dibaca. Atau pengertian  al-Qur’an sama dengan bentuk mashdar  yakni   الْقِرَاءَةُ  yang berarti  menghimpun dan mengumpulkan ( الضَّمُّ وَالْجَمْعُ ). Seolah-olah al-Qur’an menghimpun beberapa huruf,  kata, dan kalimat satu dengan yang lain secara tertil sehingga tersusun rapi dan   benar. Oleh karena itu al-Qur’an  harus dibaca dengan benar  sesuai dengan makhraj (tempat keluarnya huruf) dan sifat-sifat hurufnya, dipahami, dihayati, dan dijiwai makna-makna yang terkandung di dalamnya kemudian diamalkan.
Secara terminologis al-Qur’an, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama dan ahli Ushul Fikih adalah sebagai berikut :
   "كَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزُ  الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ  اْلأَنْبِيَاءِ  وَالْمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ  اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عليه السلام الْمَكْتُوْبُ عَلَى الْمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا  بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ الْمُخْتَتَمُ  بِسُوْرَةِ النَّاسِ "
                        al-Qur’an adalah kalam Allah yang  mengandung mukjizat (sesuatu yang luar biasa yang melemahkan lawan ) diturunkan kepada  pungkasa para Nabi dan Rasul saw (yaitu Nabi Muhammad) melalui malaikat Jibril yang tertulis pada mushhaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawâtir, dinilai ibadah membacanya, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah al-Nâs.”
                  Dari definisi di atas dapat dikeluarkan 5 faktor penting, yaitu :
a. al-Qur’an adalah firman Allah atau kalam Allah, bukan perkataan malaikat Jibril (dia hanya penyampai wahyu dari Allah), bukan sabda Nabi (beliau hanya menerima wahyu al-Qur’an dari Allah), dan bukan perkataan manusia biasa, mereka hanya berkewajiban untuk melaksanaknnya.
b.  Al-Qur’an hanya diberikan kepada Nabi Muhammad saw  tidak diberikan kepada Nabi-Nabi sebelumnya. Kitab suci yang diberikan kepada para Nabi sebelumnya namanya bukan al-Qur’an.  Zabur diberikan kepada Nabi Daud, Taurat kepada Nabi Musa, dan Injil kepada Nabi Isa.
c.  Al-Qur’an sebagai mukjizat, maka tidak seseorangpun -- dalam sejarah sejak awal turunnya sampai era modern dari masa ke masa – yang mampu menandinginya  baik secara person maupun secara kolektif sekalipun mereka ahli sastra bahasa dan sekalipun sependek-pendek ayat atau surah.
d.  Diriwayatkan secara mutawâtir, artinya diterima dan diriwayatkan banyak orang tidak sedikit jumlahnya dan  mustahil mereka bersepakat dusta dari masa ke masa secara berturut-turut sampai kepada kita.
f.  Membacanya dicatat sebagai amal ibadah. Hanya membaca al-Qur’an sajalah  di antara sekian banyak bacaan yang dianggap ibadah sekalipun pembaca  tidak tahu maknanya apa lagi jika mengethui maknanya dan mampu mengamalkannya. Nabi saw bersabda, bahwa setiap satu huruf  pahalanya 10 kebaikan (lihat bab keutamaan membaca al-Qur’an). Bacaan-bacaan yang lain tidak dinilai ibadah  kecuali disertai niat yang baik seperti mencari ilmu. Jadi pahalanya adalah pahala mencari ilmu bukan substansi  bacaan sebagaimana dalam al-Qur’an.
2. Bagian-bagian dari al-Qur’an
a.                                                                  a. Surah
            Dari segi bahasa kata  Surah jamaknya Suwar ( سُوَرٌ ) yang berarti kedudukan atau tempat yang tinggi, sesuai dengan kedudukan al-Qura’n karena dia diturunkan dari tempat yang tinggi yaitu Lawh al-Mahfûzh dari sisi Tuhan yang Maha Tinggi pula yaitu Allah swt. Menurut Mannâ’ al-Qathân pengertian Surah secara terminologi adalah :

"وَالسُّوْرَةُ هِيَ الْجُمْلَةُ مِنْ آيَاتِ الْقُرْآنِ ذَاتُ الْمَطْلَعِ وَالْمَقْطَعِ"

 “ Surah adalah sejumlah  beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki permulaan dan penghabisan.”
            Dari definisi ini dapat dipahami bahwa Surah adalah kumpulan beberapa ayat, maka tidak ada suatu surah yang terdiri hanya satu ayat. Dia harus memiliki sejumlah ayat minimal 3 ayat seperti dalam surah al-Kawtsar. Kumpulan beberapa ayat ini syaratnya mempunyai permulaan dan akhiran. Jika terkumpul sejumlah ayat sekalipun banyak tetapi tidak ada permulaan atau belum mencapai akhiran dan atau tidak ada keduanya, maka belum dinamakan Surah dari al-Qur’an.
b. Macam-macam Surah
            Dilihat dari segi panjang pendeknya, surah dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut :
1)  Surah al-Thiwâl ( الطِّوَال = panjang), yaitu surah yang jumlah ayatnya lebih dari  100 sampai 200-an  atau memang lebih panjang dari pada yang lain. Surah panjang ini ada 7 oleh karena itu disebut al-Sab`u al-Thiwâl ( السَّبْعُ الطِّوَال = Surah tujuh), yaitu  ;  Surah al-Baqarah/2 : 286 ayat,  Ali Imran/3 : 200 ayat,  al-Nisâ’/4 : 176 ayat, al-Mâidah/5 : 120 ayat,  al-An`âm/6 : 165 ayat,  al-A`raf/7 : 206 ayat  dan sebagian ulama berpendapat Surah al-Anfâl/8 : 75 ayat bersama Surah al-Barâ’ah/al-Tawbah/9 : 129 ayat  karena tidak ada pemisah dengan basmalah dan sebagian pendapat mengatakan Surah Yunus/10 : 108 ayat.
2) Surah al-Mi’ûn ( الْمئُِْون = seratusan ), yaitu Surah yang banyak ayatnya sekitar   100-an  atau lebih.
3) Surah al-Matsânî, ( الْمَثَانِى ) Surah yang panjang ayatnya  di bawah  al-Mi’ûn (seratusan ayat) di atas. Al-Farrâ’ memberikan arti Surah yang jumlah ayatnya  kurang sedikit dari 100 ayat. Kata al-Matsâni artinya terulang-ulang, karena surah-surah itu lebih terulang-ulang dibaca dalam shalat dari pada surah al-Mi’ûn dan al-Thiwâl.
  4) Surah Al-Mufashshâl, (الْمُفَصَّل ) yaitu surah yang panjang ayat-ayatnya mendekati al-Matsânî yang disebut juga sebagai surah pendek. Menururt al-Nawawî Surah al-Mufashshal ini adalah dari Surah al-Hujurât/49  sebanyak  18 ayat sampai akhir Surah dalam al-Qur’an. Al-Mufashshal berasal dari kata Fashala = memisah atau terpisah. Surah dinamakan al-Mufashshal karena banyak dipisah dengan Basmalah pada setiap awal Surah. Karena jumlah ayat-ayatnya tidak terlalu banyak, maka sering dipisah dengan basmalah tersebut.  Kemudian Surah  al-Mufashshâl ini dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu  :
a) Thiwâl (panjang), yaitu al-Mufashshal tetapi yang panjang dari surah Qâf atau dari surah al-Hujurât/49 sampai dengan surah al-Naba’/78 atau surah al-Burûj/85.
b) Awsath (اْلأَوْسَط = pertengahan), yaitu surah al-Mufashshal yang pertengahan  dari surah al-Thâriq/86  sampai dengan surah al-Dluhâ/93 atau al-Bayyinah/98.
c) Qishâr (  الْقِصَار = pendek), yakni al-Mufashshal yang pendek dari surah al-Dluhâ/93 atau surah al-Bayyinah/98 sampai dengan akhir surah dalam al-Qur’an yakni al-Nâs/ 114.
Di samping penggolongan kelompok surah-surah di atas didasarkan pada jumlah ayat besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya, juga didasarkan pada panjang dan pendeknya ayat. Karena ada sebagian surah yang jumlah ayatnya tidak banyak tetapi ayat-ayatnya panjang-panjang atau jumlah ayatnya besar tetapi mayoritas ayatnya pendek-pendek seperti surah al-Syu`arâ/26 : 227 ayat pada hal Surah ini  tidak masuk  ke dalam surah al-Thiwâl.   
Dilihat dari segi masa atau  tempat turunnya al-Qur’an terbagi menjdai 2 macam, yaitu Surah Makkîyah dan Surah Madanîyah :
1) Surah Makkîyah, yaitu surah-surah yang diturunkan sebelum Nabi berhijrah ke Madinah sekalipun turunnya di luar Mekkah. 
2) Surah Madanîyah, yaitu surah-surah yang diturunkan  kepada Nabi Muhammad saw setelah berhijrah ke Madinah sekalipun diturunkan di Mekkah. 
Definisi di atas adalah definisi yang terpopuler di kalangan  jumhur ulama. Menurut definisi di atas  Surah al-Mâidah/5 : 3 tergolong Madanîyah sekalipun di turunkan di `Arafah pada hari Jumu`at  pada saat Nabi melakukan haji wadâ’.      Demikian juga Surah  al-Nisâ’/ 4 : 58  masuk pada Surah Madanîyah sekalipun diturunkan di Mekakh  yaitu di Ka`bah pada saat penaklukan Mekkah.
Jumlah surah dalam al-Qur’an mayoritas ulama menghitung sebanyak 114 surah, tetapi sebagian ulama  menghitungnya 113 surah, karena surah al-Anfâl dan surah al-Barâ’ah dihitung satu surah mengingat tidak ada pemisah basmalah antara kedua surah tersebut. Golongan Syi`ah  menghitung sebanyak 116 surah, karena mereka memasukkan  dua do’a qunut yang dinamai surah al-Khal dan al-Hafd. Menurut al-Baqilânî, dalam kitabnya I`jâz al-Qur’an disebutkan, bahwa dua do’a qunut tersebut memang ditulis oleh Ubay dikulit mush’haf al-Qur’an, timbllah dugaan sebagian mereka, bahwa keduanya msuk surah al-Qur’an padahal uslub nya saja berbeda dengan al-Qur’an.
 Surah-surah yang tergolong Makkîyah  sebanyak 82 surah dari 114 surah dalam    al-Qur’an,   Surah Madanîyah  sebanyak 20 surah,  Sedangkan sisanya sebanyak 12 surah diperselisihkan di kalangan para ulama ada yang mengatakan Makkîyah dan ada pula yang berpendapat Madanîyah. Nomor urutan Surah yang terdapat dalam Mush’haf  tidak disesuaikan dengan urutan turunnya, akan tetapi bersifat tawqîfî yakni disesuaikan dengan urutan bacaan atau tadarus yang diperintahkan Rasulullah saw. Hal ini justru menunjukkan keindahan susunan surah dan ayat-ayat al-Qur’an yang disusun sedemikian rupa rapih dan indah. Bagaikan pengaturan sebuah pesta tidak mesti yang hadir duluan dipersilahkan di depan, bisa jadi para undangan vip sekalipun datangnya belakangan duduk di depan. Bahkan jika undangan vip tersebut  didudukkan di belakang karena dating belakangan akan mengurangi keindahan sebuah pesta. Penempatan duduk orang tertentu atau tamu khusus di depan sekalipun dating belakangan  justru menunjukkan keindahan dalam acara pesta dan dibenarkan oleh semua pihak yang hadir.
Surah yang terbanyak ayat-ayatnya adalah Surah al-Baqarah/2 : 286 ayat demikian juga ayat yang terpanjang adalah  ayat 282 Surah al-Baqarah yaitu ayat tentang pencatatan hutang piutang nanti disebutkan pada bab ayat. Sedang surah yang terpendek adalah Surah al-Kawtsar/ 108 sebanyak 3 ayat.
c. Ayat
Dalam al-Mu’am al-Wajîz, ayat dari segi bahasa adalah berarti  tanda, alamat, bukti/ dalil, dan mukjizat  Banyak didapati kata ayat dalam al-Qur’an, di antaranya misalnya surah  al-Mukminun/23 : 51
وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ ءَايَةً
“Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami).”
Dalam istilah al-Ja`barî  sebagaimana dikutip al-Suyuthi  mengemukakan :
" حَدُّ اْلآيَةِ  قُرْآنٌ مُرَكَّبٌ مِنْ جُمَلٍ وَلَوْ تَقْدِيْرًا ذُوْ مَبْدَإٍ أَوْ مَقْطَعٍ مُنْدَرَجٍ فِيْ سُوْرَةٍ "
“Ayat adalah  bacaan yang tersusun dari beberapa kalimat sekalipun secara taqdiri (perkiraan) yang memiliki permulaan  atau bagian yang masuk dalam surah. 
Dari dua definisi di atas dapat dikompromikan  bahwa ayat  adalah kalam Allah  yang berupa  bacaan,  terdiri dari  kalimat atau beberapa kalimat sempurna,  mempunyai permulaan dan akhiran, dan  merupakan bagian dari Surah. Dengan demikian  syarat ayat :
1)      Ayat harus merupakan kalam Allah. Kalau bukan kalam Allah tidak dinamakan ayat dalam konteks ini.
2) Terdiri dari beberapa kalimat sempurna sekalipun secara perkiraan (taqdîrî) seperti ayat yang terpendek  di dalam Surah al-Muddatstsir/74 : 21 : ثُمَّ نَظَرَ   Sekalipun ayat ini paling sediki terdiri dua kata tetapi maknanya sudah merupakan  kalimat sempurna yang sudah mengandung Subyek, Prediket dan Obyek. Artinya adalah : “Kemudian dia memikirkan,”
3) Memiliki  permulaan dan akhiran. Di sini mengecualikan sekalipun panjang kalimatnya dan tyerdiri beberapa kalimat, tetapi jika belum menyebutkan permulaan dan akhjiran ayat belum disebut ayat.
4) Merupakan bagian dari Surah al-Qur’an, karena surah itu himpunan beberapa ayat sebagaimana definisi di atas.
            Jumlah ayat dalam a-Qur’an para ulama berbeda pendapat, tetapi menurut Ibn Abbas sebanyak 6.616 ayat. Menurut keterangan yang masyhur ada 6.666 dan jumlah angka ini yang paling mudah pada umumnya diingat oleh umat Islam. Para ulama sepakat angka depan  dari jumlah ayat yaitu 6000, tetapi angka berikutnya diperselisihkan. Di antara mereka ada yang menghitung  6.213 ayat yaitu hitungan menurut penduduk Mekkah, ada juga 6.214 ayat menurut hitungan penduduk Madinah, ada juga yang menghitung 6.216 ayat menurut hitungan ahli Bashrah, dan ada juga yang menghitung 6.236 ayat hitungan  penduduk Kufah.
 Alasan perbedaan jumlah ayat ini di antaranya adalah :
1). Karena Nabi saw pada suatu ketika mewaqafkan pada akhir suatu ayat (fâshilah), ketika sudah dimaklumi oleh para sahabat banyak di suatu ketika lain beliau me-washal-kannya. Nah oleh sebagian pendengarnya  menduga bukan akhir ayat.
2) Para ulama juga berbeda dalam menghitung Fawâtih al-Suwar (permulaan Surah) yang terdiri dari huruf hijaiyah atau al-Ahruf al-Muqaththa`ah (huruf-huruf yang terpotong).  Sebagian   ulama menghitung  المص  suatu ayat tetapi mereka tidak menghitung  المر suatu   ayat. Mereka menghitung  يس suatu ayat, tetapi tidak menghitung طس  suatu ayat. Demikian juga mereka menghitung  حمعسق dua ayat tetapi tidak menghitung   كهيعصdua ayat pada hal serupa dan hampir sama . Atau sebagian ulama menghitung Fawâtih al-Suwar tersebut sebagai  satu ayat dan ulama lain tidak menghitungnya satu ayat.  
Perbedaan penghitungan jumlah ayat tersebut hanya karena berbeda dalam menghitung sebagian ayat-ayat al-Qur’an apakah waqaf Nabi pada saat membacanya dihitung satu ayat atau waqaf ditengah-tengah ayat atau perbedaan dalam menghitung permulaan surah yang berbentuk huruf. Di antara ayat-ayat dalam al-Qur’an ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semua itu bersifat tawqîfî  tergantung dari petunjuk Rasul. Ayat yang paling panjang dalam al-Qur’an adalah Surah al-Baqarah/2 : 282 . Sedangkan ayat yang paling pendek dalam al-Qur’an adalah Surah al-Muddatstsir/74 : 21.   
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai jumlah kata (kalimat dalam bahasa Arab) dalam al-Qur’an. Di antara mereka  ada yang menghitungnya sebanyak 77.934 kata, ada yang menghitungnya sebanyak 77.437 kata, dan ada juga yang berpendapat sebanyak 77.277 kata. Perbedaan penghitungan ini karena adanya perbedaan cara penghitungannya, ada yang memandang bahwa suatu kata mempunyai makna majaz (mtafora) dan ada pula yang mamandang makna hakekat, ada yang menghitungnya didasarkan dari segi tulisan, ada juga yang menghitung didasarkan pada suara (sound), dan ada pula yang didasarkan pada keduanya.     
            Tentang jumlah huruf al-Qur’anpun  para ulama berbeda pendapat. Menurut Ibn Abbas segala huruf  yang terkandung dalam al-Qur’ân sebanyak 323.671 huruf, ada yang menghitungnya sebanyak 321. 267 huruf, , ada juga 325.345 huruf, dan ada juga yang menghitung sebanyak 1.025.000 huruf, hitungan yang terakhir inilah yang mudah dihapal. Perbedaan hitungan huruf ini disebabkan di antaranya huruf yang bertasydid atau syiddah dihitung satu huruf dan ada pula yang menghitungnya dua huruf. Sebab lain adanya perbedaan bacaan panjang dan pendek, jika panjang dihitung dua huruf dan jika pendek dihitung satu huruf.  Perbedaan penghitungan di atas tidak menjadi persoalan karena tidak mengurangi  substansi  al-Qur’an, justru memeliharanya sesuai dengan ijtihad mereka masing-masing.

B.     Pengertiana Hadis dan Bagian-Bagiannya
1. Pengertian Hadis
Hadis mempunyai beberapa sinonim/murâdif menurut para pakar Ilmu Hadits, yaitu Sunah, Khabar, dan Atsar. Sebelum berbicara pengertian Hadis secara terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari segi etimologi. Kata “Hadis” (Hadîts)   berasal dari akar kata :
حَدَثَ  يَحْدُثُ  حُدُوْثًا  وَحَدَاَثةً
          Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa makna, di antaranya :; الْجِدَّةُ  (al-jiddah= baharu), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada  atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan  dari kata  al-qadîm = terdahulu. Atau الْخَبَرُ وَالْكَلاَمُ ( al-khabar= berita, pembicaraan, perkataan), oleh karena itu ungkapan pemberitaan Hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan oeriwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan :   حَدَّثَنَا = memberitakan kepada kami,  atau sesamanya seperti  mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami.
Makna etimologis kedua di atas yakni berita  lebih tepat dalam kontek istilah Ulumul Hadis nanti, karena yang dimaksud Hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi saw, sedang makna pertama dalam konteks teologis bukan kontek Ilmu Hadis.  Menurut Abû al-Baqâ’  Hadis ( Hadîts) adalah kata benda (isim) dari kata  al-Tahdîts  yang diartikan al-Ikhbâr = pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Pemberitaan, yang merupakan makna dari  kata Hadis sudah dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “Hari-hari yang populer” dengan nama al-Ahâdîts. Menurut al-Farrâ’ al-Ahâdîts jamak (plurel) dari kata Uhdûtsah  kemudian dijadikan plurel bagi kata Hadis.
Dari segi terminologi, banyak para ahli Hadis (muhadditsîn) memberikan definisi di antaranya Mahmud al-Thahân  mengemukakan  :
"مَاجَاءَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم  سَوَاءٌ كاَنَ قَوْلا ً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا "
“ Sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan”
  Berdasarkan  definisi di atas dapat dikatakan bahwa, Hadis merupakan sumber berita yang datang dari Nabi saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan (qawl;î), perbuatan (fi’lî), dan sikap persetujuan (taqrîrî). Di antara ulama ada yang memasukkan pada definisi Hadis Sifat (Washfî),  Sejarah (Tarîkhî) dan Cita-cita (Hammî) Rasul. Hadis sifat (Washfî), baik sifat pisik (khalqîyah) maupun sifat perangai (khuluqîyah). Sifat pisik seperti tinggi badan Nabi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek kulit Nabi putih  kemerah-merahan bagaikan warna  bunga mawar, berambut keriting, dan lain-lain. Sedang sifat perangai mencakup akhlak beliau, misalnya sayang terhadap fakir miskin dan lain-lain. Sejarah hidup Rasul juga masuk ke dalam Hadis baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya. Menurut pendapat yang rajih sejarah yang terjadi sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan Sunah kecuali jika dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Para ulama Syafi`îyah juga memasukkan bagian dari Sunah apa yang dicita-citakan Rasul saw  (Sunnah Hammîyah)  sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yang  benar dan di cintai dalam agama, dituntut dalam syari`at Islam, dan beliau diutus untuk menjelaskan syari`at Islam.   Seperti cita-cita beliau berpuasa hari tanggal 9 Muharram, rencana beliau perintah para sahabat mengambil kayu untuk membakar rumah orang-orang munafik yang tidak berjama’ah shalat 1Isya dan lain-lain. Sekalipun ini baru merupakan cita-cita, tetapi telah diucapkan ucapan beliau itu Hadis qawlî yang pasti benarnya dan alasan  beliau belum mengamalkannya jelas, yakni berpulang ke rahmat Allah.
2. Bagian-bagian Struktur Hadis
Struktur Hadis terddiri dari beberapa bagian yaitu sanad, matan dan mukharrij.         Untuk memudahkan definisi istilah-istilah tersebut, terlebih dahulu anda diajak memperhatikan  contoh  struktur Hadis sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْجَعْدِ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (أخرجه البخاري)
“Memberitakan kepada kami Musaddad, memberitakan kepada kami Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari Abi Rajâ’ dari Ibn Abbas dari Nabi saw bersabda : “Barang siapa yang  benci sesuatu dari  pimpinannya (amir) maka hendaklah sabar, sesungguhnya  barang siapa yang keluar dari penguasa (sultan)  satu jengkal maka ia mati Jahiliayah”. (HR. al-Bukhari)
Bagimana anda melihat contoh  kerangka Hadis di atas ? Ada  3 bagian  yang perlu anda perhatikan yaitu kalimat-kalimat yang bergaris bawah, yakni   :
a. Penyandaran berita oleh « al-Bukhâri kepada Musaddad dari Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari Abi Rajâ’ dari Ibn Abbas dari Nabi”  rangkaian penyandaran ini disebut  : Sanad.
b. Isi berita yang disampaikan  Nabi :  «Barang siapa yang benci sesuatu dari pimpinannya…»  disebut : Matan.
c. Sedang pembawa periwayatan berita  terakhir yang termuat dalam buku karyanya dan disampaikan kepada kita yakni al-Bukhâri disebut : Pe-rawi atau Mukharrij. Artinya,  orang yang  meriwayatkan Hadis  dan disebutkan dalam kitab karyanya. Untuk memudahkan pemahaman anda berikut ini dibentangkan dalam bentuk seperti denah :
                         مَنْ كَرِهَ مِنْ ...        
Rounded Rectangle: رجاءRounded Rectangle: ابن عباسRounded Rectangle: الجعدRounded Rectangle: النبى  صلعم                                                                                           
Rounded Rectangle: البخارىRounded Rectangle: مسددRounded Rectangle: عبد الوارث                            
                                                                        
                                                              

 Untuk lebih jelasnya masing-masing istilah ini akan dipaparkan secara terperinci dalam uraian  berikut :
     a. Sanad Hadis
Sanad menurut bahasa : “sesuatu  yang dijadikan sandaran, pegangan, dan pedoman.     Dan menurut istilah ahli Hadis ialah :
"سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلَى الْمَتْنِ "
Artinya: “ mata rantai para periwayat Hadis  yang menghubungkan sampai  kepada matan Hadis.”
Sanad ini sangat penting dalam Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas Hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana al-Qur’an dan diterima secara individu (âhâd) tidak secara mutawâtir. Sedang  Musnad  memiliki  3 pengertian :
1)  Hadis yang  diterangkan Sanad-nya  sampai kepada Nabi saw, disebut Hadis Musnad
2) Sesuatu kitab Hadis yang pengarangnya mengumpulkan segala Hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dalam satu bab dan yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain dalam bab yang tersendiri pula, seperti Musnad Imam Ahmad.
3)  Hadis yang sandarannya bersambung  (muttashil) kepada Nabi saw (marfu`).

    b. Lambang  periwayatan sanad
Tentunya anda telah melihat pada contoh di atas, terdapat penyandaran berita yang dilakukan oleh para pembawa berita dalam mata rantai sanad yang menggunakan ungkapan kat-kata yang melambangkan pertemuan baik langsung  (muttashil)  atau tidak,   yaitu  :
  حَدَّثَناَ/ حَدّثَنِىْ،  أَخْبَرَناَ/ أَخْبَرَنِىْ، أَنْبَأَناَ/أَنْبَأَنِىْ.
Artinya : “Memberitakan kepada kami/memberitakan kepadaku, mengkhabarkan kepada kami/mengkhabarkan kepadaku, memberitakan kepada kami/memberitakan kepadaku.”
Ketiga ungkapan penyampaian periwayatan Hadis (adâ’) di atas pada umumnya digunakan dalam keadaan jika seorang periwayat mendapat Hadis secara langsung dan bertemu langsung dari seorang  gurunya. Hanya bedanya jika menggunakan kata “haddatsa/nâ” berarti penerimaan (tahammul) secara berjama`ah dan  haddatsa/nî” bermakna bahwa penerimaannya sendirian.
 Secara umum memang ungkapan kata-kata periwayatan di atas diartikan sama yaitu bertemu langsung. Namun, kemudian masing-msing  mempunyai metodologis yang khusus, misalnya sebagai berikut :
1)   Lambang periwayatan :  " سَمِعْتُ/ حَدَّثَنِىْ/ حَدَّثَناَ "   dipergunakan dalam metode  al-Samâ`   (السَّمَاعْ  ) artinya seorang murid mendengarkan penyampaian Hadis dari seorang guru (Syeikh) secara langsung. Guru membaca murid mendengar bacaannya. Di sini nampaknya guru lebih aktif, tetapi muridpun ditutut lebih aktif, karena mereka dituntut mampu melafalkan  dan hapal apa yang ia dengar dari guru.  Hadis yang menggunakan lambang periwayatan tersebut dalam segala tingkatan  sanad berarti bersambung (muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad  bertemu langsung dengan Syeikhnya.
2) Lambang periwayatan :   "  أَخْبَرَنِىْ/ أَخْبَرَناَ "  dipergunakan dalam metode al-Qirâ’ah atau al-`Ardh,  artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut  mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan. Dalam dunia Pesantren, metode ini dikenal dengan metode sorogan, yang diartikan murid mengajukan/menyodorkan bacaannya di hadapan guru dan guru mendengarkan bacaannya, jika benar dibenarkan dan jika salah diluruskan. Metode ini juga juga dihukumi muttashil (bertemu langsung) antara murid dan guru.
3)  Lambang  periwayatan :  " أَنْبَأَنِىْ/ أَنْبَأَناَ   dalam metode Ijazah, artinya  seorang guru memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya. Murid yang diberi ijazah untuk menyampaikan periwayatan tidak sembarang murid, akan tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Hadis yang disampaikan dengan metode ijazah adalah Hadis-Hadis yang  yang telah terhimpun  dalam kitab-kitab Hadis. Oleh karena itu  pengijazahan itu  tampaknya hanya merukapan tali pengikat antara guru dan murid semata. Kualitas Hadis  terpulang  kepada periwayatan  antara guru dengan  para periwayat sebelumnya atau naskah yang diijazahkan.
4)   Lambang periwayatan :   " قاَلَ لِىْ "   : “ ia berkata kepadaku”  atau :     " ذَكَرَ لِىْ " :  “Ia menyebutkan kepadaku  dipergunakan dalam menyampaikan  Hadis  metode Samâ` al-Mudzâkarah , artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek  mudzakarah  bukan dalam kontek menyampaikan periwayatan  yang tentunya tidak ada kesiapan dari kedua belah pihak. Berbeda dalam konteks adâ’  (penyampaian periwayatan)  kedua belah pihak telah siap untuk menyampaikan dan menerima Hadis.
      5)  Lambang periwayatan  عَنْ : Hadis yang diriwayatkan menggunakan kata `an= dari disebut Hadis mu`an`anah. Menurut jumhur ulama  dapat diterima asal periwayatnya tidak mudallis (penyimpan cacat) dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan grurunya. Jika tidak memenuhi dua persyaratan ini maka tidak dihukumi muttashil.
6)  Mahmûd al-Thahân menjelaskan, lambang periwayatan yang menggunakan kalimat aktif seperti  ذَكَرَ،  اَمَرَ،  قاَلَ ( Dia berkata , dia perintah, dan dia menyebutkan) dihukumi shahih apabila dalam kitab Shahîhayn. Sedang lambang periwayatan dengan menggunakan kalimat pasif,  misalnya :  يُرْوَى،  يُذْكَرُ،  يُحْكَى،  رُوِيَ، ذُكِرَ    ( Diriwayatkan, disebutkan, diceritakan, diriwayatkan, dan disebutkan), tidak dihukumi shahih sekalipun dalam Shahîhayn jika didapatkan, tetapi kenyataannya tidak didapatkan dalam Shahîhayn tersebut.
        c. Matan  
Kata “matan” menurut bahasa berarti ; keras,  kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangannya  karya  penulisan seseorang  ada disebut  matan dan ada syarah. Matan di sini dimaksudkan karya atau  karangan  asal seseorang  yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarah-nya dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam konteks Hadis, Hadis sebagai matan  kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya  Shahîh al-Bukhârî di-syarah-kan oleh  al-`Asqalânî dengan nama  Fath al-Bârî  dan lain-lain.
Menurut istilah   matan adalah :
" أَلْفَاظُ الْحَدِيْثِ الَّتِى َتقُوْمُ ِبهَا مَعَانِيْهِ "
Artinya  : “Beberapa lafazh Hadis yang membentuk beberapa makna.” 
     Matan  Hadis ini sangat penting karena yang menjadi topik kajian dan kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.
     d.  Mukharrij atau Periwayat Hadis
Kata Mukharrij isim fa`il (bentuk pelaku) dari kata Takhrîj atau istikhrâj dan ikhrâj yang dalam bahasa diartikan ; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Maksud Mukharrij di sini adalah adalah seorang yang menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya  dengan sanadnya. Dr. Abd  Al-Muhdî  menyebutkan :
 فَالْمُخَرِّجُ هُوَ ذَاكِرُ الرِّوَايَةِ كَالْبُخَارِي
“Mukharrij adalah penyebut periwayatan sepert al-Bukhari.”
 Misalnya jika suatu Hadis  mukharrij-nya al-Bukhari berarti  Hadis tersebut dituturkan al-Bukhari dalam kitabnya  dengan sanadnya. Oleh karena itu  biasanya pada akhir periwayatan suatu Hadis disebutkan أخرجه البخاري  Hadis di-takhrîj oleh al-Bukhârî dan seterusnya.  Atau untuk menyatakan perawi suatu Hadis dikatakan dengan kata :  رواه  البخاري   Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
Bagi perawi yang  menghimpun Hadis ke dalam suatu kitab tadwîn disebut dengan perawi dan disebut pula  Muddawin (orang yang menghimpun dan membukukan Hadis), demikian juga ia disebut Mukharrij, karena ia  yang menerangkan para perawi dalam sanad dan derajat Hadis itu ke dalam bukunya.

Latihan
            Setelah anda membaca materi di atas untuk memperdalam pemahaman anda, silahkan anda berlatih soal-soal  berikut ini !
1. Jelaskan pengertian al-Qur’an  ?
2. Jelaskan pengertian  surah dan ayat ?
3. Jelaskan pengertian Hadis ?
4. Jelaskan  perbedaan antara sanad dan mukharrij ?
5. Jelaskan pengertian kitab Musnad ? Berikan contohnya

Petunjuk Jawaban Latihan
1. Pengertian al-Qur’an menurut bahasa adalah al-maqrû’ sesuatu yang dibaca atau al-Qira’ah yang  berarti menghimpun dan mengumpulkan. Sedang menurut arti istilah adalah :  kalam Allah yang  mengandung mukjizat diturunkan kepada   Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang tertulis pada mushhaf, diriwayatkan  secara mutawâtir, dinilai ibadah membacanya, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah al-Nâs.
2. a. Pengertian Surah dalam bahasa kedudukan atau tempat yang tinggi, sesuai dengan kedudukan al-Qura’n. Sedang arti istilah menurut Mannâ’ al-Qathân adalah   Surah adalah sejumlah  beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki permulaan dan penghabisan.
b. Pengertian ayat dalam bahasa tanda, alamat, bukti/ dalil, dan mukjizat. Sedang arti istilah adalah : Dalam istilah menurut al-Ja`barî  adalah  “Ayat adalah  bacaan yang tersusun dari beberapa kalimat sekalipun secara taqdiri (perkiraan) yang memiliki permulaan  atau bagian yang masuk dalam surah. 
3. Pengertian Hadis secara bahasa adalah baru atau berita. Sedang arti istilah adalah : Sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.
4. Perbedaan sanad dan mukharrij : Sanad menurut bahasa : “sesuatu  yang dijadikan sandaran, pegangan, dan pedoman.” Makna secara istilah adalah “ mata rantai para periwayat Hadis  yang menghubungkan sampai  kepada matan Hadis.” Sedangkan Mukharrij dalam istilah  adalah adalah seorang perawi yang menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya  dengan sanadnya.
5. Musnad Sesuatu kitab Hadis yang pengarangnya mengumpulkan segala Hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dalam satu bab dan yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain dalam bab yang tersendiri pula, seperti Musnad Imam Ahmad.

Rangkuman 
                        Al-Qur’an adalah kumpulan firman Allah yang  mengandung mukjizat diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang tertulis pada mushhaf, diriwayatkan  secara mutawâtir dan dinilai ibadah membacanya. Al-Qur’an terdiri dari 114 atau terdiri 6. 666 ayat menurut pendapat yang populer. Pengertian Surah adalah   sejumlah  beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki permulaan dan penghabisan dan pengertian ayat adalah menurut al-Jabarî  adalah  bacaan yang tersusun dari beberapa kalimat sekalipun secara taqdiri (perkiraan) yang memiliki permulaan  atau bagian yang masuk dalam surah. 
Pengertian Hadis adalah  sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan. Struktur Hadis ini terdiri  dari matan sanad dan mukharrij.   Sanad adalah mata rantai para periwayat Hadis  yang menghubungkan sampai  kepada matan Hadis. Mukharrij  adalah seorang perawi yang menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya  dengan sanadnya. Sedangkan matan adalah beberapa lafazh Hadis yang membentuk beberapa makna.

    Test Formatif 1  
Pilihlah  salah satu jawaban pada setiap butir pertanyaan yang  paling benar !
  1. Dari segi  bahasa arti al-Qur’an adalah :
a. al-Maqrû’ wa al-Qirâ’ah      c. Al-Maqrû’
b. al-Qira’ah                            d. Al-Dhammu wa al-jam’u
  1. Ayat  yang terpanjang dalam al-Qur’an adalah :
a. al-Baqarah/2 : 280               c. Al-Baqarah/2 : 281
b. al-Baqarah/2 : 285               d. Al-Baqarah/2 : 282
  1. Surah al-Thiwâl  yang merupakan bagian dari suraaj al-Mufashshal adalah :
a. Surah al-Baqarah sd. Al-An’am      c. Al-Hujurat sd. Al-Burûj
b. Surah ayatnya 100-an lebih             d. Al-Dhuha sd. Al-Bayyinah 
  1. Di antara sebab perbedaan ulama dalam menghitung  jumlah ayat dalam al-Qur’an adalah :
    1. Waqaf  Nabi ada yang menghitung satu ayat
    2. Huruf  permulaan surah dihitung satu ayat
    3.  Waqaf Nabi dan huruf permulaan surah dihitung satu ayat
    4. Kehati-hatian dan kecerobohan dalam menghitung ayat
  2. Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata ; memberitakan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata ; Aku mendengar Rasulullah  membaca Surah al-Thûr pada shalat maghrib” (HR.Bukhari) Ungkapan yang digaris bawahi atas disebut :
a.                   Matan                                      c. Sanad
b.                   Mukharrij                                d. Perawi
6.   Ungkapan : (HR Bukhari)  disebut :
a.                   Matan                                      c. Sanad
b.                   Mukharrij                                d. Musnad
7.   Dalam struktur Hadis di atas ada lambang periwayatan ; Haddatsana ; memberitakan kepada kami. Maksudnya periwayatan seorang perawi dengan gurunya :
a.     Bertemu langsung              c. Tidak bertemu langsung
b.     Ada dua kemungkinan       d. Bisa bertemu melalui orang lain
8.  Lambang periwayatan ... عَنْ = dari …. Menunjukkan makna bahwa   seorang perawi dengan gurunya : :
          a.      Bertemu langsung                   c. Tidak bertemu langsung
c.            Ada dua kemungkinan            d. Bisa bertemu melalui orang lain
  1. Kitab Hadis yang disusun berdasarkan nama perawi pertama di kalangan sahabat seperti kitab Imam Ahmad bin Hanbal disebut :
a.              Kitab Jami’                              c. Kitab Sunan
b.              Kitab Mustakhraj                    d. Musnad
10.  Di antara lambing periwayatan yang umumnya digunakan meriwayatkan Hadis Dha’if adalah :
a. قاَلَ                               c. رُوِيَ
b.  قاَلَ لِىْ                          d.  حَدَّثَنِىْ

Kunci Jawaban :
            1. a                  6. b
            2. d                  7. a
            3. c                  8. c
            4. c                  9. d
            5. c                  10. c.

Balikan & Tindak Lanjutan
Cocokanlah jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif 1  yang terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untk mengetahui tingkat pengtahuan anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Rumus :
                                    Jumlah jawaban anda yang benar
Tingkat penguasaan = ---------------------------------------------x 100 %
                                                            10
Arti tingkat penguasaan yang anda capai :
90  %  - 100 %                        = baik sekali
80  %  -  89 %             = baik
70 %   -  79 %             = cukup
<70 %              = kurang
            Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80 % atau lebih, anda dapat meneruskan  dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus ! Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80 %, anda harus mengulangi kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.









-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kegiatan Belajar 2
HUBUNGAN  AL-QUR’AN DAN HADIS
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar
            Al-Qur’an Hadis dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Al-Qur’an adalah firman Allah sedangkan Hadis adalah kegiatan Nabi  yang didasarkan pada wahyu. Dari segi substansinya memang sama karena sama-sama wahyu, tetapi juga berbeda karena Hadis adalah implementasi al-Qur’an yang lebih  terinci dan operasional yang merupakan penjelas terhadapnya.  Wahyu Hadis yang didasarkan pada ijtihad pemahaman wahyu al-Qur’an disebut Hadis Nabawi sedang  yang didasarkan wahyu selain  al-Qur’an disebaut Hadis Qudsi.
Banyak orang mengira Hadis Qudsi itu mesti shahih bahkan dibilang paling shahih di antara sekian banyak Hadis. Anggapan ini, karena mereka melihat  kata suci itu menunjukkan kesucian dan kesahehan. Atau karena melihat sandarannya kepada Allah.    Kedua Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi  mempunyai kualitas yang sama, yakni bergantung pada syarat-syarat yang dipenuhinya, ada shahih, hasan dan ada pula dha’if. Istilah qudsi (suci) hanya dilihat dari penyandarannya bukan pada substansinya yakni penyandarannya kepada Allah. Tetapi substansi sanad dan matan masih bisa dipertanyakan, apakah memenuhi kriteria Hadis makbil atau tidak. Berikut paparan tentang perbedaan Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi kemudian paparan tentang perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadis.
   
A. al-Qur’an, Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi
     1. Hadis Qudsî dan Hadis Nabawî
  Pada KB 2 sebelum terlebih dahulu akan berbicara tentang Hadis Qudsi dan Nabawi.    Hadis dilihat dari  sandarannya ada dua ; pertama disandarkan pada Nabi sendiri yang disebut Hadis Nabawi, kedua disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Hadis Qudsî disebut juga Hadis Ilâhî  dan Hadis Rabbânî.  Secara etimologi Qudsi = suci sedang arti terminologi  Hadis Qudsî  ialah :
" كُلُّ قَوْلٍ أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ صلى الله عليه وسلم ِالَى اللهِ عزَّ وجلَّ "
“ segala perkataan  yang disandarkan Rasul saw kepada Allah swt.”
Definisi ini menjelaskan, bahwa Nabi hanya menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan hanya berupa firman tidak ada perbuatan dan persetujuan sebagaimana Hadis Nabi biasa.  Bentuk-bentuk periwayatan Hadis qudsî  pada umumnya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah, misalnya  ; Nabi  saw bersabda : Allah  `azza wajalla  berfirman… Atau Rasulullah saw bersabda pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah swt…Atau Rasulullah saw menceritakan dari Tuhannya, Dia berfirman : …
Contoh Hadis qudsî,   Hadis diriwayatkan dari Abî Dzarr    :
حَدِيثَ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ  ...(اخرجه أحمد)
ِ            “Hadis Mu`adz bin Jabal ia berkata : Aku mendengar Rasulillah saw bersabda, bahwa Allah aw  berfirman : “ Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku) berhak bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku) berhak mereka yang merendahkan hati (tawâdhu’ ) karena Aku, Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku) berhak bagi mereka yang saling berziarah…”. (HR. Ahmad )  
            Dinamakan Qudsî (suci), Ilâhî (Tuhan), dan Rabbânî (ketuhanan)  karena ia bersumber dari Allah yang maha Suci  dan dinamakan Hadis karena Nabi yang  memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah swt.  Kata Qudsi, sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi Hadis, sandaran Hadis kepada Tuhan  tidak menunjukkan  kualitas Hadis. Oleh karena itu tidak semua Hadis Qudsî shahih tetapi ada yang shahih, hasan, dan dha`if tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.
Jumlah Hadis Qudsî  tidak terlalu besar hanya  sekitar 400 buah Hadis tanpa terulang-ulang dalam sanad yang berbeda (ghayr mukarrar), ia tersebar dalam 7 Kitab Induk Hadis. Mayoritas kandungan Hadis Qudsî  tentang akhlak, aqidah, dan syari`ah. Di antara Kitab Hadis Qudsî,  al-Ahâdîts al-Qudsîyah, yang diterbitkan oleh Jumhûr Mesir al-`Arabîyah, Wuzârah al-Awqâf al-Majlis al-A`la li Syu’ûn al-Islâmîyah Lajnah al-Sunnah, Cairo 1988 dan lain-lain.       
Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Nabawi terletak pada sumber berita dan proses pemberitaannya. Hadis Qudsî maknanya dari Allah yang disampaikan  melalui suatu wahyu sedangkan redaksinya dari Nabi yang  disandarkan kepada Allah. Sedangkan Hadis Nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad Nabi sendiri.  Dalam Hadis Qudsi Rasul menjelaskan  kandungan atau yang tersirat pada wahyu sebagaimana yang diterima dari Allah dengan ungkapan beliau  sendiri. Pembagian ini sekalipun kandungannya dari Allah, tetapi ungkapan  itu disandarkan kepada Nabi sendiri karena  tentunya  ungkapan kata itu disandarkan kepada  yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari yang lain. Oleh karena itu selalu disandarkan kepada Allah. Pemberitaan yang seperti ini disebut Tawfîqî. Pada Hadis Nabawi  kajian Rasul melalui ijtihad  yang dipahami dari al-Qur’an karena beliau bertugas sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kajian ini  didiamkan wahyu jika benar dan dibetulkan dengan wahyu jika salah. Kajian seperti ini disebut  Tawqîfî.
Dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa Hadis Nabawî dengan kedua bagiannya merujuk kepada wahyu baik yang dipahami dari kandungan wahyu secara tersirat yang disebut dengan Tawfîqî maupun yang dipahami dari al-Qur’an secara tersurat yang disebut dengan Tawqîfî dan inilah makna firman Allah  dalam Surah al-Najm ayat 3-4 :
" وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى  إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُّوْحَى "
“Dan tidaklah  yang  diucapkannya (al-Qur’an)  itu   menurut  kemauan  hawa  nafsunya.  Ucapannya itu  tiada lain  hanyalah wahyu  yang diwahyukan kepadanya.”  (QS. Al-Najm/53: 3-4)
Wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada  Nabi-Nya tentang sesuatu hal dengan  cara yang samar dan sangat cepat tetapi meyakinkan bahwa sesuatu yang diwahyukan tersebut benar-benar dari Allah. Pada ayat ini ijtihad tidak merupakan lawan kata dari wahyu dan tidak ada alasan untuk melarangnya.  Antonim  kata wahyu pada ayat tersebut adalah hawa. Nabi tidak berkata dari hawa nafsu tetapi dari wahyu.  Secara  umum dari beberapa uraian di atas dapat dikembangkan menjadi beberapa perbedaan antara Hadis Qudsî dan Hadis Nabawî  di antaranya  sebagai beriku :
a. Pada Hadis Nabawî   Rasul saw menjadi sandaran sumber pemberitaan, sedang pada Hadis Qudsî  beliau menyandarkannya kepada Allah swt.  Pada Hadis Qudsî, Nabi memberitakan apa yang disandarkan kepada Allah dengan menggunakan redaksinya sendiri.
b. Pada Hadis Qudsi Nabi hanya memberitakan  perkataan atau qawli sedang pada Hadis Nabawi pemberitaannya  meliputi perkataan/qawlî, perbuatan/fi`lî, dan persetujuan/ taqrîrî.
c. Hadis Nabawî merupakan penjelasan dari kandungan  wahyu  baik  secara langsung ataupun  tidak langsung. Maksud Wahyu yang tidak secara langsung, Nabi berijtihad  terlebih dahulu dalam menjawab suatu masalah. Jawaban itu ada kalanya  sesuai dengan wahyu dan adakalanya tidak sesuai dengan wahyu. Jika tidak sesuai dengan wahyu, maka datanglah wahyu untuk meluruskannya. Hadis Qudsî  wahyu langsung dari Allah swt.
d. Hadis Nabawî lafadz dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat, sedang Hadis Qudsî  maknanya dari Allah  redaksinya disusun oleh Nabi.
e.       Hadis Qudsi selalu menggunakan ungkapan orang pertama (dhamîr mutakallim)  : Aku (Allah)Hai hamba-Ku…sedang Hadis Nabawi tidajk menggunakan ungkapan ini. 

   2.  Perbedaan  Hadis  dan al-Qur’an
Pada KB1 di atas telah dijelaskan  tentang  pengertian al-Qur’an dan Hadis Nabawi. Berdasarkan definisi di atas  dapat dibedakan antara keduanya  dengan beberapa hal  sebagai berikut ;
a.      al-Qur’an mu`jizat Rasul sedangkan Hadis  bukan mu’jizat sekalipun Hadis Qudsî.
            Al-Qur’an terpelihara  dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan orang-orang jahil (lihat QS. Al-Hijr/15 :9) sedangkan Hadis   tidak terpelihara seperti al-Qur’an. Namun,  hubungan keduanya secara  integral tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Maka terpeliharanya al-Qur’an berarti pula terpeliharanya Hadis. Ada tiga dasar terpeliharanya Hadis : Pertama,  dasar Qur’ânî (tekstual) sebagaimana   dalam Q. S. al-Qiyâmah /  75 : 19) bahwa yang dimaksud kata “bayân” dalam ayat ini adalah Sunah yang Shahih.  Kedua, dasar qiyâsî dan istinbâthî (analogi dan induksi), sebagaimana firman Allah Surah  al-Hijr/ 15: 9 yang menegaskan pemeliharaan  al-Qur’an yang dijelaskan (al-mubayyan) oleh Sunah, berarti pemeliharaan terhadapnya sebagai penjelas (al-mubayyin). Ketiga, dasar  wâqi`î (faktual), realita perhatian umat Islam dulu sampai sekarang  yang meriwayatkan,  menghimpun, menfilter, menghapal, mempraktekkan, menulis dan mengkodifikasikan Sunah.
b.      Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawâtir, sedangkan Hadis tidak banyak diriwayatkan secara mutawâtir. Mayoritas Hadis diriwayatkan secara âhâd (individu, artinya tidak sebanyak periwayat mutawâtir ).
c. Kebenaran ayat-ayat al-Qur’an bersifat qath`îy al-wurûd (pasti atau mutlak kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran Hadis kebanyakan  bersifat zhannîy al-wurûd ( relatif kebenarannya) kecuali yang mutawâtir.
d.      Al-Qur’an redaksi (lafazh) dan maknanya dari Allah dan Hadis Qudsî    maknanya dari Allah   redaksinya  dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang Hadis Nabawi berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu haram  meriwayatkan al-Qur’an secara makna tanpa lafazh, dan boleh   periwayatan secara makna dalam Hadis dengan persyaratan yang ketat.
e. Proses penyampaian al-Qur’an melalui wahyu yang  tegas (jalî) sedang Hadis Qudsî melalui wahyu, atau ilham, dan atau mimpi dalam tidur
f. Kewahyuan al-Qur’an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibacakan) sedang kewahyuan Sunah disebut wahyu ghayr matluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara  jelas dan yakin kemudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.
g.Membaca al-Qur’an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf  pahalanya 10 kebaikan, sedang membaca Hadis sekalipun Qudsî  tidak dinilai ibadah kecuali disertai dengan niat  yang baru.
h.            Di antara Surah al-Qur’an wajib dibaca dalam shalat seperti membaca Surah al-Fâtihah yang dibaca pada setiap raka’at.  Sedangkan dalam Hadis  tidak ada yang harus dibaca dalam shalat sekalipun Qudsî, bahkan tidak shalat seseorang yang menggantikan Surah al-Qur’an dengan Hadis Qudsî .
i.  Haram menyentuh atau  membawa mushahaf  al-Qur’an menurut sebagian pendapat) bagi yang ber-hadats baik  hadats kecil  maupun hadats besar (tidak bersuci).
j.  Haram  menjual belikan mus’haf al-Qur’an  menurut Imam Ahmad dan makruh menurut Imam al-Syafi`i.

B. Kedudukan al-Qur’an dan  Hadis
Setelah anda memahami istilah-istilah dalam Hadis sekarang anda diajak memahami kedudukan Hadis dalam Islam. Betapa penting mengetahui kedudukan Hadis agar anda dapat memposisikan diri sebagai muslim yang baik.  Kedudukan Hadis atau Sunah dalam agama sebagai dasar hukum beagama kedua, yang pertama adalah al-Qur’an.  Dari segi urutan tingkatan dasar Islam  ini Sunah menjadi dasar hukum Islam kedua setelah yang pertama yakni  al-Qur’an. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Fungsi Sunah sebagai penjelas  terhadap al-Qur’an.
  Sunaah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’aan, tentunya  pihak penjelas  diberikan peringkat  kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-Qur’an  sebagai pokok asal yang dijelaskan, sedang Sunah sebagai penjelas/tafsir yang dibangun  karenanya.  Keterangan al-Qur’an sangat sempurna tidak ada sesuatu yang tertinggal (QS. al-An`âm / 6: 38), tetapi  penjelasannya secara gelobal, maka perlu diterangkan secara rinci dari Sunah. 
2. Mayoritas Sunah  relatif kebenarannya (zhannîy al-tsubût).
     Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Qur’an  seluruhnya diriwayatkan secara mutawâtir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan), berfaedah absolute/pasti kebenarannya yang disebut qath`î al-tsubût dari Nabi.   Sedangkan Sunah, di antara periwayatannya  ada  yang mutawâtir yang memberikan faedah  qath`î al-tsubût, dan di antaranya bahkan yang mayoritas   âhâd (periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya (zhannî al-tsubût) bahwa ia diduga kuat dari Nabi saw   meskipun secara umum dapat dikatakan qath`î al-tsubût. 
        Banyak  dalil  yang menunjukkan kehujahan Sunah sebagai sumber hukum Islam baik dari al-Qur’an, hadis maupun ijmak ulama. Misalnya firman Allah dalam QS  Ali Imran/3 : 32. Baik ayat maupun hadis intinya  perintah taat kepada Allah dan  Rasal-Nya  Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui  Sunahnya.  Nabi tidak perintah sesuatu kecuali  diperintah Allah  dan barang siapa yang  ta`at kepada Nabi berarti ia ta`at kepada Zat yang perintah kepadanya.   al-Syawkânî (w. 1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat  atas kehujahan Sunah  secara mandiri   sebagai sumber hukum Islam seperti al-Qur’an dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan  keharusan (dlarûrî) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam. Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa  Sunah  menjadi  dasar kedua  setelah al-Qur’an. Fuqahâ sahabat  selalu bereferensi  pada Sunah  dalam menjelaskan  al-Qur’an dan dalam ber-istinbâth  hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an.

C. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
Setelah anda mengetahui kedudukan Hadis mari anda diajak memehami  fungsi Hadis terhadap al-Qur’an. Fungsinya adalah  sebagai penjelas   (li al-bayân)terhadap  makna  al-Qur’an yang sangat dalam dan gelobal isinya.  Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah al-Nahl/16 : 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
 Secara  garis besar ada empat makna fungsi penjelasan ( bayân) Hadis terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.                  Bayân Taqrîr
Posisi Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid)  keterangan al-Qur’an.  Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis  tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Hadis berarti  memperkuat keterangan al-Qur’an tersebut .
2.            Bayân Tafsîr
Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap  al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak  pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada  3 macam, yaitu sebagai berikut :
a.        Tafsîl al-Mujmal
            Hadis  memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih  global (tafsîl al-mujmal= memperinci yang gelobal), baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayân tafshîl atau bayân tafsîr.  Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah shalat” tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu adanya dalam Hadis Nabi, misalnya  sabda  Nabi saw :
        “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat “. (HR. al-Bukhari)
   Dalam masalah haji  al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal, rinciannya dijelaskan  Hadis, Nabi bersabda :  " لِتَأْخُذُوْا مَنَاسِكَكُمْ "
        “Ambilah (dari padaku) ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)

b.      Takhshîsh al-`Amm
Hadis mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayân takhshîsh. Misalnya ayat-ayat tentang waris  dalam QS.  Al-Nisa’/4: 10
             “ Allah mensyari`atkan bagi mu tentang  (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…”
        Kandungan ayat di atas menjelaskan  pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan  atau banyak, orang tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
c.       Taqyîd al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat  al-Qur’an. Artinya al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya  firman Allah dalam QS.  Al-Mâidah : 38
" وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا ..."
     “Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah  tangan-tangan mereka…”
      Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan  batas tangan  yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan.  Kemudian pembatasan itu baharu dijelaskan dengan Hadis ketika ada seorang pencuri datang  ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangan.
3. Bayân Naskhî
Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam Surah al-Baqarah/2 : 180
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa “.
              Ayat di atas di-nasakh dengan Hadis Nabi :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (أخرحه النسائي)
“Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”. ( HR. al-Nasa’i)

 4. Bayân Tasyrî`î
Hadis menciptakan hukum syari`at  (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Sunah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunah menetapkan dalil yang terkandung atau  tersirat secara implisit dalam teks al-Qur’an. Misalnya  keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman wanitanya.  Hadis  tasyri` diterima oleh para ulama karena kapasitas  Hadis juga  sebagai  wahyu dari Allah swt  yang menyatu dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an.
Jelasnya, hubungan antara Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan wahyu yang datang dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya, hanya proses penyampaiannya  dan periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga tidak ada istilah kontra antara satu dengan lain.
Dengan demikian sempurna pengetahuan  anda tentang istilah-istilah dan fungsi Hadis. Untuk mengetahui penyerapan anda dari bacaan di atas coba soal-soal berikut anda jawab.

Latihan
Setelah anda membaca materi di atas untuk memperdalam pemahaman anda, silahkan anda berlatih soal-soal  berikut ini !
  1. Jelaskan pengertian Hadis Qudsi ?
  2. Jelskan di antara perbedaan antara Hadis Qudsi dan Nabawi ?
  3. Jelaskan perbedaan antara al-Qur’an dab n Hadis dari segi redaksinya ?
  4. Mengapa Hadis berkedudukan nomor dua dalam dasar beragama?
  5.  Sebutkan  4  bayân fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ?
Petunjuk Jawaban Latihan
1.      “ segala Hadis yang disandarkan Rasul saw kepada Allah swt.”
2.      Hadis Qudsî maknanya dari Allah yang disampaikan  melalui suatu wahyu sedangkan redaksinya dari Nabi yang  disandarkan kepada Allah. Sedangkan Hadis Nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad Nabi sendiri. 
3.       Al-Qur’an redaksi (lafazh) dan maknanya dari Allah dan Hadis Qudsî    maknanya dari Allah   redaksinya  dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang Hadis Nabawi berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu haram  meriwayatkan al-Qur’an secara makna tanpa lafazh, dan boleh   periwayatan secara makna dalam Hadis dengan persyaratan yang ketat.
4.      Karena :
a.       Fungsi Sunah sebagai penjelas  terhadap al-Qur’an
b.      Mayoritas Sunah  relatif kebenarannya (zhannîy al-tsubût).
5.      4 bayan sebagai fungsi Hadis terhadap al-Qur’an  yaitu bayan taqrîr, bayân tafsîr, bayân naskhi dan bayân tasyrî’.

Rangkuman
Hadis Nabawi berbeda dengan Hadis Qudsi. Hadis Nabawi adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik perkataan, perbuatan dan persetujuan. Sedangkan Hadis Qudsi adalah segala perkataan  yang disandarkan Nabi saw kepada Allah swt. Hadis qudsi disebut juga Hadis Ilahi dan Rabbani, tetapi semua inmi tidak menunjukkan kualitas Hadis.
Al-Qur’an berbeda dengan Hadis, al-Qur’an mukjizat, mutawatir seluruhnya, qath’iy al-wurûd,  lafal dan maknanya dari Allah, wahyu jali dan matlû  dan membacanya dip[erhitungkan sebagai ibadah. Hadis berkedudukan sebagai dasar hukum Islam kedudukarena Fungsi Sunah sebagai penjelas  terhadap al-Qur’an dan mayoritas Sunah  relatif kebenarannya (zhannîy al-tsubût). Dalil kehujjahannya adalah al-Qur’an, Hadis dan ijmak ulama.  Sedangkan fungsinya terhadap al-Qur’an sebagai penjelas (li al-bayân) sebagaimana QS. al-Nahl/16 : 44 . Ada 4 bayân Hadis terhadap al-Qur’an yaitu  bayan taqrîr (penguat), bayân tafsîr (menjelaskan secara rinci), bayân naskhi (penghapusan hukum terdahulu) dan bayân tasyrî’ (menciptakan hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an). Bayan tafsîr terbagi menadi 3 yaitu  tafshîl al-mujmal (merinci yang gelobal), takhshîsh al-‘amm (mengkhususkan yang umum) dan taqyîd al-mutlaq (membatasi yang mutlak).

Test Formatif 2  
Pilihlah  salah satu jawaban pada setiap butir pertanyaan yang menurut anda paling benar !
1.    Hadis perkataan Nabi yang disandarkan kepada Allah swt tidak disebut :
a.     Hadis Qudsi                                                c. Hadis Nabawi
b.    Hadis Ilahi                                       d. Hadis Rabbani
2.    Kualitas  Hadis Qudsi pada umumnya adalah   :
a. Shahih semua                                      c. hasan semua
b.  Dha’if semua                                      d. Ada kalanya shahih atau tidak
3.    Hadis Nabawi redaki dan maknanya dari Nabi sedangkan Hadis Qudsi maknanya dari Allah dan redaksinya   :
c. Dari Allah                                           c. Dari Nabi sendiri
d.  Dari Allh dan Nabi                            d. Dari Malaikat Jibril
4.    Pemahaman Nabi yang didasarkan pada sesuatu yang tersirat pada kandungan nash wahyu disebut :
  a. tawfiqî                                  c. tawqîfî
b. tathbiqî                                d. tathqibî
5.     Berikut ini yang tidak termasuk dasar pemeliharaan Hadis adalah :
d.      Qur’ani                              c. Waqi’î
e.       Qiyasî dan Istinbathi         d. Qiyasî dan ijma’î
6.     al-Qur’an seluruhnya dari segi periwayatan mempunyai faedah qath’îyu al-wurûd, sedangkan Hadis mayoritas berfaedah zhannîy al-wurûd.   Maksud  zhannîy al-wurûd :
a.  relative kebenarannya           c. Dipastikan kebenarannya 
b.    Diaragukan kebenarannya   d. Tidak dipastikan kebenarannya
7.     Pemotongan tangan sampai di pergelangan tangan bagi pencuri -- tentunya yang  sudah memenuhi persyaratan tertentu --  adalah contoh fungsi Hadis terhadap al-Qur’an bayan tafsir :
c.     Takhshîsh al-‘amm                         c. Taqyîd al-muthlaq
d.    Tafhîl al-mujmal                             d. Bayan naskhî
8.     Kedudukan  Hadis sebagai dasar beragama yang kedua, karena :
a.     Hadis sabda Rasul             c. Penjelas jatuh setelah yang dijelaskan
b.     Sunah qath`î al-tsubût                    d. Sunah Rasul
9.     Penjelasan secara rinci bagaimana pelaksanaan shalat dijelaskan Hadis, al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobalnya saja. Fungsi Hadis disebut :
a.        Takhshish al-‘Amm            c. Taqyid al-Mutlak
b.       Tafshil al-Mujmal   d. Bayan Taqrir
10. Keharaman setiap binatang yang bertelalai dijelaskan dalam salah satu Hadis bukan diterangkan al-Qur’an. Fungsi Hadis pada kasus tersebut  adalah :
a.     Takhshish al-‘Amm            c. Taqyid al-Mutlak
b.     Bayan Tasyri’                     d. Bayan Taqrir

Kunci Jawaban
1. c                  6. a
2. d                  7. c
3. c                  8. c
4. a                  9. b
5. d                  10.b
Balikan & Tindak Lanjutan
Cocokanlah jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif 1  yang terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untk mengetahui tingkat pengtahuan anda terhadap materi kegiatan belajar 1.
Rumus :
                                    Jumlah jawaban anda yang benar
Tingkat penguasaan = ---------------------------------------------x 100 %
                                                            10
Arti tingkat penguasaan yang anda capai :
90  %  - 100 %                        = baik sekali
80  %  -  89 %             = baik
70 %   -  79 %             = cukup
<70 %              = kurang
            Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80 % atau lebih, anda dapat meneruskan  dengan kegiatan belajar 2. Bagus ! Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80 %, anda harus mengulangi kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar