AL-QUR’AN DAN HUBUNGANNYA
DENGAN HADIS
Pendahuluan
Pada Modul 1 ini anda diajak belajar lebih sungguh-sungguh tentang pengertian dasar al-Qur’an dan Hadis, istilah-istilah dalam
al-Qur’an dan Hadis serta hubungan antara keduanya. Keduanya
mempunyai keterkaitan hubungan yang sangat erat, karena keduanya dijadikan
dasar dalam beragama Islam. Hanya al-Qur’an memang dinomor satukan karena dia
berisikan firman-firman Allah sedang Hadis berisikan perkataan Nabi atau
perbuatan dan persetujuannya. Di samping itu secara fungsional Hadis sebagai
penjelas terhadap al-Qur’an tentunya yang dijelskan lebih dahulu dari pada yang
menjelaskan. Oleh karena itu, keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya.
Modul ini terdiri dari dua
Kegiatan Belajar (KB). Pada KB 1 dibahas
tentang definisi al-Qur’an Hadis dan
istilah-istilah yang digunakan dalam al-Qur’an Hadis misalnya surah, ayat,
matan, sanad, mukharrij dan lain-lain. Sedang pada KB 2 dibahas tentang Hadis Nabawi, Hadis Qudsi
dan al-Qur’an kemudian hubungan antara al-Qur’an dan Hadis.
Selesai mempelajari modul ini, anda
diharapkan dapat mendefinisikan al-Qur’an dan Hadis, istilah-istilah yang
digunakan dan hubungan antara keduanya. Secara lebih khusus setelah mempelajari
BBM ini anda diharapkan dapat :
1. mendeskripsikan definisi al-Qur’an dan Hadis
2. menyebutkan beberapa unshur yang merupakan bagian dari al-Qur’an dan
Hadis
3. menyebutkan beberapa contoh unshur-unshur Hadis
4. membedakan antara Hadis Nabawi dan Qudsi dan antara alQur’an
5. Menyebutkan beberapa fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
6. Menyebutkan contoh-contoh fungsi
Hadis terhadap al-Qur’an
5. Mendeskripsikan kedudukan Hadis dalam agama
Mengingat besarnya manfaat yang
dapat anda petik dari dua KB ini, ikuti saran-saran yang memudahkan anda dalam
mempelajarinya, yaitu :
1. Ketika
mempelajari modul ini kaitakan dengan pengalaman anda sehari-hari dalam
melaksanakan Islam baik berkaitan kedudukan al-Qur’an dan Hadis maupun fungsinya agar anda dapat memperbaikinya
2. Bacalah setiap
KB dengan cermat sampai paham betul. Jika perlu buatlah catatan-catatan kecil
tentang hal-haka yang anda anggap
penting
3. Sebagai guru MA atau Mts dituntut untuk dapat
menilai sendiri kemampuan diri dengan jujur. Oleh karena itu setelah
mempelajari dari topic ke topic lain atau keseluruahn isi setiap KB, kerjakan latihan-latihan atau test formatif yang terdapat di setiap KB. Untuk melihat
hasilnya, silahkan melihat petunjuk atau rambu-rambu pengerjaan latihan dan
kunci test formatifpada akhir BBM ini. Anda akan mengetahui sendiri seberapa tingkat penguasaan
andaterhadap materi BBM yang telah anda pelajari.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kegiatan Belajar 1
AL-QUR’AN
DAN HADIS
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar
Al-Qur’an
sebagaimana Hadis memiliki beberapa unshur yang merupakan bagian dari jati dirinya.
Al-Qur’an terdiri dari
beberapa surah dan beberapa ayat demikian juga Hadis terdiri dari sanad, matan
dan mukharrij. Tidak dinamakan al-Qur’an dan Hadis kalau tidak terdiri dari beberapa unshur
tersebut. Hadis tidak hanya terdiri dari matan saja tetapi gabungan antara
matan (materi Hadis), sanad (para periwayat) dan mukharrij (pembuku), andaikata
matan saja tidaklah dinamakan Hadis. Al-Qur’an
seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir (kolektif) baik dari surah ke surah, ayat ke ayat bahkan
kalimat ke kalimat dan kata ke kata.
Berbeda dengan Hadis yang
mayoritas diriwayatkan secara âhad (individu atau beberapa orang).
Keberadaan sanad dan mukharrij menjadi amat penting sebagai saksi dan bukti
keotentikan matan Hadis. Sisi lain sejak
masa datangnya Hadis memang tidak tercatat seluruhnya sebagaimana al-Qur’an
bahkan dilarang oleh Rasulillah mencatatnya, karena khawatir tercampur aduk
dengan al-Qur’an. Dalam sejarah sejak setelah adanya konflik umat Islam awal antara
pendukung Ali dan Muawiyah telah teradi pemalsuan Hadis. Oleh karena itulah
para ulama mempersyaratkan adanmya sanad dalam periwayatan Hadis. Untuk
memahami secara mendetail tentang pengertian dasar tentang al-Qur’an dan Hadis
serta istilah-istilah yang merupakan bagian dari keduanya pada KB 1 ini akan dipaparkan.
A.
Pengertian al-Qur’an dan Bagian-Bagiannya
1. Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an secara etimologi diambil dari kata : قَرَأَ يَقْرَأُ
قِرَاءَةً وَقُرْآنًا
yang
berarti sesuatu yang dibaca ( اْلَمقْرُوْء
ُ ).
Jadi arti al-Qur’an secara lughawi adalah sesuatu yang
dibaca. Berarti menganjurkan kepada umat agar al-Qur’an dibaca. Atau
pengertian al-Qur’an sama dengan bentuk
mashdar yakni الْقِرَاءَةُ yang
berarti menghimpun dan mengumpulkan
( الضَّمُّ وَالْجَمْعُ ). Seolah-olah al-Qur’an menghimpun beberapa huruf, kata, dan kalimat satu dengan yang lain
secara tertil sehingga tersusun rapi dan
benar. Oleh karena itu al-Qur’an
harus dibaca dengan benar sesuai
dengan makhraj (tempat keluarnya huruf) dan sifat-sifat hurufnya,
dipahami, dihayati, dan dijiwai makna-makna yang terkandung di dalamnya
kemudian diamalkan.
Secara terminologis al-Qur’an, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama
dan ahli Ushul Fikih adalah sebagai berikut :
"كَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزُ
الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ
اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ
بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عليه السلام
الْمَكْتُوْبُ عَلَى الْمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
اْلمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ الْمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ "
“
al-Qur’an adalah kalam Allah yang
mengandung mukjizat (sesuatu yang luar biasa yang melemahkan lawan )
diturunkan kepada pungkasa para Nabi dan
Rasul saw (yaitu Nabi Muhammad) melalui malaikat Jibril yang tertulis pada
mushhaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawâtir, dinilai ibadah
membacanya, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah
al-Nâs.”
Dari
definisi di atas dapat dikeluarkan 5 faktor penting, yaitu :
a. al-Qur’an adalah
firman Allah atau kalam Allah, bukan perkataan malaikat Jibril (dia hanya
penyampai wahyu dari Allah), bukan sabda Nabi (beliau hanya menerima wahyu
al-Qur’an dari Allah), dan bukan perkataan manusia biasa, mereka hanya
berkewajiban untuk melaksanaknnya.
b. Al-Qur’an hanya diberikan kepada Nabi Muhammad
saw tidak diberikan kepada Nabi-Nabi
sebelumnya. Kitab suci yang diberikan kepada para Nabi sebelumnya namanya bukan
al-Qur’an. Zabur diberikan kepada Nabi
Daud, Taurat kepada Nabi Musa, dan Injil kepada Nabi Isa.
c. Al-Qur’an sebagai mukjizat, maka tidak
seseorangpun -- dalam sejarah sejak awal turunnya sampai era modern dari masa
ke masa – yang mampu menandinginya baik
secara person maupun secara kolektif sekalipun mereka ahli sastra bahasa dan
sekalipun sependek-pendek ayat atau surah.
d. Diriwayatkan secara mutawâtir, artinya
diterima dan diriwayatkan banyak orang tidak sedikit jumlahnya dan mustahil mereka bersepakat dusta dari masa ke
masa secara berturut-turut sampai kepada kita.
f. Membacanya dicatat sebagai amal ibadah. Hanya
membaca al-Qur’an sajalah di antara
sekian banyak bacaan yang dianggap ibadah sekalipun pembaca tidak tahu maknanya apa lagi jika mengethui
maknanya dan mampu mengamalkannya. Nabi saw bersabda, bahwa setiap satu
huruf pahalanya 10 kebaikan (lihat bab
keutamaan membaca al-Qur’an). Bacaan-bacaan yang lain tidak dinilai ibadah kecuali disertai niat yang baik seperti
mencari ilmu. Jadi pahalanya adalah pahala mencari ilmu bukan substansi bacaan sebagaimana dalam al-Qur’an.
2. Bagian-bagian dari al-Qur’an
a.
a.
Surah
Dari
segi bahasa kata Surah jamaknya Suwar
( سُوَرٌ ) yang berarti kedudukan
atau tempat yang tinggi, sesuai dengan kedudukan al-Qura’n karena dia
diturunkan dari tempat yang tinggi yaitu Lawh al-Mahfûzh dari sisi Tuhan
yang Maha Tinggi pula yaitu Allah swt. Menurut Mannâ’ al-Qathân pengertian
Surah secara terminologi adalah :
"وَالسُّوْرَةُ هِيَ الْجُمْلَةُ مِنْ آيَاتِ الْقُرْآنِ ذَاتُ الْمَطْلَعِ وَالْمَقْطَعِ"
“ Surah adalah sejumlah beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki
permulaan dan penghabisan.”
Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa Surah adalah kumpulan beberapa ayat, maka
tidak ada suatu surah yang terdiri hanya satu ayat. Dia harus memiliki sejumlah
ayat minimal 3 ayat seperti dalam surah al-Kawtsar. Kumpulan beberapa ayat ini
syaratnya mempunyai permulaan dan akhiran. Jika terkumpul sejumlah ayat
sekalipun banyak tetapi tidak ada permulaan atau belum mencapai akhiran dan
atau tidak ada keduanya, maka belum dinamakan Surah dari al-Qur’an.
b. Macam-macam Surah
Dilihat
dari segi panjang pendeknya, surah dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu sebagai
berikut :
1) Surah al-Thiwâl
( الطِّوَال = panjang), yaitu surah yang jumlah
ayatnya lebih dari 100 sampai
200-an atau memang lebih panjang dari
pada yang lain. Surah panjang ini ada 7 oleh karena itu disebut al-Sab`u
al-Thiwâl ( السَّبْعُ الطِّوَال
= Surah tujuh), yaitu ; Surah al-Baqarah/2 : 286 ayat, Ali Imran/3 : 200 ayat, al-Nisâ’/4 : 176 ayat, al-Mâidah/5 : 120 ayat,
al-An`âm/6 : 165 ayat, al-A`raf/7 : 206 ayat dan sebagian ulama berpendapat Surah
al-Anfâl/8 : 75 ayat bersama Surah al-Barâ’ah/al-Tawbah/9 : 129 ayat karena tidak ada pemisah dengan basmalah
dan sebagian pendapat mengatakan Surah Yunus/10 : 108 ayat.
2) Surah al-Mi’ûn ( الْمئُِْون =
seratusan ), yaitu Surah yang banyak ayatnya sekitar 100-an
atau lebih.
3) Surah al-Matsânî, ( الْمَثَانِى ) Surah yang panjang ayatnya di bawah
al-Mi’ûn (seratusan ayat) di atas. Al-Farrâ’ memberikan arti
Surah yang jumlah ayatnya kurang sedikit
dari 100 ayat. Kata al-Matsâni artinya terulang-ulang, karena
surah-surah itu lebih terulang-ulang dibaca dalam shalat dari pada surah
al-Mi’ûn dan al-Thiwâl.
4)
Surah Al-Mufashshâl, (الْمُفَصَّل )
yaitu surah yang panjang ayat-ayatnya mendekati al-Matsânî yang disebut juga
sebagai surah pendek. Menururt al-Nawawî Surah al-Mufashshal ini adalah dari
Surah al-Hujurât/49 sebanyak 18 ayat sampai akhir Surah dalam al-Qur’an. Al-Mufashshal
berasal dari kata Fashala = memisah atau terpisah. Surah dinamakan al-Mufashshal
karena banyak dipisah dengan Basmalah pada setiap awal Surah. Karena jumlah ayat-ayatnya tidak terlalu banyak, maka
sering dipisah dengan basmalah tersebut.
Kemudian Surah al-Mufashshâl
ini dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu
:
a) Thiwâl
(panjang), yaitu al-Mufashshal tetapi yang panjang dari surah Qâf atau
dari surah al-Hujurât/49 sampai dengan surah al-Naba’/78 atau surah
al-Burûj/85.
b) Awsath (اْلأَوْسَط
= pertengahan), yaitu surah al-Mufashshal yang pertengahan dari surah al-Thâriq/86 sampai dengan surah al-Dluhâ/93 atau
al-Bayyinah/98.
c) Qishâr ( الْقِصَار = pendek), yakni al-Mufashshal yang pendek dari surah
al-Dluhâ/93 atau surah al-Bayyinah/98 sampai dengan akhir surah dalam al-Qur’an
yakni al-Nâs/ 114.
Di samping penggolongan kelompok surah-surah di atas
didasarkan pada jumlah ayat besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya, juga
didasarkan pada panjang dan pendeknya ayat. Karena ada sebagian surah yang
jumlah ayatnya tidak banyak tetapi ayat-ayatnya panjang-panjang atau jumlah
ayatnya besar tetapi mayoritas ayatnya pendek-pendek seperti surah
al-Syu`arâ/26 : 227 ayat pada hal Surah ini
tidak masuk ke dalam surah
al-Thiwâl.
Dilihat dari segi masa atau tempat
turunnya al-Qur’an terbagi menjdai 2 macam, yaitu Surah Makkîyah dan Surah
Madanîyah :
1) Surah Makkîyah,
yaitu surah-surah yang diturunkan sebelum Nabi berhijrah ke Madinah sekalipun
turunnya di luar Mekkah.
2) Surah Madanîyah,
yaitu surah-surah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw setelah berhijrah ke Madinah sekalipun diturunkan di
Mekkah.
Definisi di atas adalah definisi yang terpopuler di kalangan jumhur ulama. Menurut definisi di atas Surah al-Mâidah/5 : 3 tergolong Madanîyah
sekalipun di turunkan di `Arafah pada hari Jumu`at pada saat Nabi melakukan haji wadâ’. Demikian juga Surah al-Nisâ’/ 4 : 58 masuk pada Surah Madanîyah sekalipun diturunkan
di Mekakh yaitu di Ka`bah pada saat
penaklukan Mekkah.
Jumlah surah dalam al-Qur’an mayoritas ulama menghitung sebanyak 114 surah,
tetapi sebagian ulama menghitungnya 113
surah, karena surah al-Anfâl dan surah al-Barâ’ah dihitung satu surah mengingat
tidak ada pemisah basmalah antara kedua surah tersebut. Golongan
Syi`ah menghitung sebanyak 116 surah,
karena mereka memasukkan dua do’a qunut
yang dinamai surah al-Khal dan al-Hafd. Menurut al-Baqilânî, dalam kitabnya I`jâz
al-Qur’an disebutkan, bahwa dua do’a qunut tersebut memang ditulis oleh
Ubay dikulit mush’haf al-Qur’an, timbllah dugaan sebagian mereka, bahwa
keduanya msuk surah al-Qur’an padahal uslub nya saja berbeda dengan al-Qur’an.
Surah-surah yang tergolong Makkîyah sebanyak 82 surah dari 114 surah dalam al-Qur’an, Surah Madanîyah sebanyak 20 surah, Sedangkan sisanya sebanyak 12 surah
diperselisihkan di kalangan para ulama ada yang mengatakan Makkîyah dan ada
pula yang berpendapat Madanîyah. Nomor urutan Surah yang terdapat dalam Mush’haf tidak disesuaikan dengan urutan turunnya,
akan tetapi bersifat tawqîfî yakni disesuaikan dengan urutan bacaan atau
tadarus yang diperintahkan Rasulullah saw. Hal ini justru menunjukkan keindahan
susunan surah dan ayat-ayat al-Qur’an yang disusun sedemikian rupa rapih dan
indah. Bagaikan pengaturan sebuah pesta tidak mesti yang hadir duluan
dipersilahkan di depan, bisa jadi para undangan vip sekalipun datangnya
belakangan duduk di depan. Bahkan
jika undangan vip tersebut didudukkan di
belakang karena dating belakangan akan mengurangi keindahan sebuah pesta.
Penempatan duduk orang tertentu atau tamu khusus di depan sekalipun dating
belakangan justru menunjukkan keindahan
dalam acara pesta dan dibenarkan oleh semua pihak yang hadir.
Surah yang terbanyak ayat-ayatnya adalah Surah al-Baqarah/2 : 286 ayat
demikian juga ayat yang terpanjang adalah ayat 282 Surah al-Baqarah yaitu ayat tentang
pencatatan hutang piutang nanti disebutkan pada bab ayat. Sedang surah yang
terpendek adalah Surah al-Kawtsar/ 108 sebanyak 3 ayat.
c. Ayat
Dalam al-Mu’am al-Wajîz, ayat dari segi bahasa adalah berarti tanda, alamat, bukti/ dalil, dan mukjizat Banyak didapati kata ayat dalam al-Qur’an, di
antaranya misalnya surah al-Mukminun/23
: 51
وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ ءَايَةً
“Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta
ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami).”
Dalam istilah al-Ja`barî sebagaimana
dikutip al-Suyuthi mengemukakan :
" حَدُّ اْلآيَةِ قُرْآنٌ مُرَكَّبٌ مِنْ جُمَلٍ وَلَوْ
تَقْدِيْرًا ذُوْ مَبْدَإٍ أَوْ مَقْطَعٍ مُنْدَرَجٍ فِيْ سُوْرَةٍ "
“Ayat adalah bacaan yang tersusun dari beberapa kalimat
sekalipun secara taqdiri (perkiraan) yang memiliki permulaan atau bagian yang masuk dalam surah.
Dari dua definisi di
atas dapat dikompromikan bahwa ayat adalah kalam Allah yang berupa
bacaan, terdiri dari kalimat atau beberapa kalimat sempurna, mempunyai permulaan dan akhiran, dan merupakan bagian dari Surah. Dengan
demikian syarat ayat :
1)
Ayat harus merupakan kalam Allah. Kalau bukan kalam Allah
tidak dinamakan ayat dalam konteks ini.
2) Terdiri
dari beberapa kalimat sempurna sekalipun secara perkiraan (taqdîrî) seperti
ayat yang terpendek di dalam Surah
al-Muddatstsir/74 : 21 : ثُمَّ نَظَرَ
Sekalipun ayat ini paling sediki terdiri dua kata tetapi maknanya sudah
merupakan kalimat sempurna yang sudah
mengandung Subyek, Prediket dan Obyek. Artinya adalah : “Kemudian dia
memikirkan,”
3) Memiliki permulaan dan akhiran. Di sini mengecualikan
sekalipun panjang kalimatnya dan tyerdiri beberapa kalimat, tetapi jika belum
menyebutkan permulaan dan akhjiran ayat belum disebut ayat.
4) Merupakan bagian dari Surah
al-Qur’an, karena surah itu himpunan beberapa ayat sebagaimana definisi di atas.
Jumlah
ayat dalam a-Qur’an para ulama berbeda pendapat, tetapi menurut Ibn Abbas
sebanyak 6.616 ayat. Menurut keterangan yang masyhur ada 6.666 dan jumlah angka
ini yang paling mudah pada umumnya diingat oleh umat Islam. Para
ulama sepakat angka depan dari jumlah
ayat yaitu 6000, tetapi angka berikutnya diperselisihkan. Di antara mereka ada
yang menghitung 6.213 ayat yaitu
hitungan menurut penduduk Mekkah, ada juga 6.214 ayat menurut hitungan penduduk
Madinah, ada juga yang menghitung 6.216 ayat menurut hitungan ahli Bashrah, dan
ada juga yang menghitung 6.236 ayat hitungan
penduduk Kufah.
Alasan perbedaan jumlah ayat ini di antaranya
adalah :
1). Karena Nabi saw pada suatu ketika
mewaqafkan pada akhir suatu ayat (fâshilah), ketika sudah dimaklumi oleh
para sahabat banyak di suatu ketika lain beliau me-washal-kannya. Nah oleh
sebagian pendengarnya menduga bukan
akhir ayat.
2) Para
ulama juga berbeda dalam menghitung Fawâtih al-Suwar (permulaan Surah) yang
terdiri dari huruf hijaiyah atau al-Ahruf al-Muqaththa`ah
(huruf-huruf yang terpotong). Sebagian ulama menghitung المص
suatu ayat tetapi
mereka tidak menghitung المر suatu ayat. Mereka menghitung يس suatu
ayat, tetapi tidak menghitung طس suatu
ayat. Demikian juga mereka menghitung
حمعسق dua
ayat tetapi tidak menghitung كهيعصdua
ayat pada hal serupa dan hampir sama . Atau sebagian ulama menghitung Fawâtih
al-Suwar tersebut sebagai satu ayat dan
ulama lain tidak menghitungnya satu ayat.
Perbedaan penghitungan
jumlah ayat tersebut hanya karena berbeda dalam menghitung sebagian ayat-ayat
al-Qur’an apakah waqaf Nabi pada saat membacanya dihitung satu ayat atau waqaf
ditengah-tengah ayat atau perbedaan dalam menghitung permulaan surah yang
berbentuk huruf. Di antara
ayat-ayat dalam al-Qur’an ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semua itu
bersifat tawqîfî tergantung dari
petunjuk Rasul. Ayat yang paling panjang dalam al-Qur’an adalah Surah
al-Baqarah/2 : 282 . Sedangkan ayat yang paling pendek dalam al-Qur’an adalah
Surah al-Muddatstsir/74 : 21.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai jumlah kata
(kalimat dalam bahasa Arab) dalam al-Qur’an. Di antara mereka ada yang menghitungnya sebanyak 77.934 kata,
ada yang menghitungnya sebanyak 77.437 kata, dan ada juga yang berpendapat
sebanyak 77.277 kata. Perbedaan penghitungan ini karena adanya perbedaan cara penghitungannya,
ada yang memandang bahwa suatu kata mempunyai makna majaz (mtafora) dan ada
pula yang mamandang makna hakekat, ada yang menghitungnya didasarkan dari segi
tulisan, ada juga yang menghitung didasarkan pada suara (sound), dan ada pula
yang didasarkan pada keduanya.
Tentang jumlah huruf
al-Qur’anpun para ulama berbeda
pendapat. Menurut Ibn Abbas segala huruf
yang terkandung dalam al-Qur’ân sebanyak 323.671 huruf, ada yang
menghitungnya sebanyak 321. 267 huruf, , ada juga 325.345 huruf, dan ada juga
yang menghitung sebanyak 1.025.000 huruf, hitungan yang terakhir inilah yang
mudah dihapal. Perbedaan hitungan huruf ini disebabkan di antaranya huruf yang
bertasydid atau syiddah dihitung satu huruf dan ada pula yang menghitungnya dua
huruf. Sebab lain adanya perbedaan bacaan panjang dan pendek, jika panjang
dihitung dua huruf dan jika pendek dihitung satu huruf. Perbedaan penghitungan di atas tidak menjadi
persoalan karena tidak mengurangi
substansi al-Qur’an, justru
memeliharanya sesuai dengan ijtihad mereka masing-masing.
B.
Pengertiana Hadis dan Bagian-Bagiannya
1. Pengertian Hadis
Hadis mempunyai beberapa sinonim/murâdif menurut
para pakar Ilmu Hadits, yaitu Sunah, Khabar, dan Atsar. Sebelum berbicara
pengertian Hadis secara terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari
segi etimologi. Kata “Hadis” (Hadîts) berasal dari akar kata :
حَدَثَ يَحْدُثُ
حُدُوْثًا وَحَدَاَثةً
Hadis dari
akar kata di atas memiliki beberapa makna, di antaranya :; الْجِدَّةُ
(al-jiddah= baharu),
dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada
atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata
al-qadîm = terdahulu. Atau الْخَبَرُ
وَالْكَلاَمُ ( al-khabar= berita, pembicaraan, perkataan), oleh
karena itu ungkapan pemberitaan Hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang
menyampaikan oeriwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan : حَدَّثَنَا
= memberitakan
kepada kami, atau sesamanya
seperti mengkhabarkan kepada kami,
dan menceritakan kepada kami.
Makna etimologis kedua di atas yakni berita lebih tepat dalam kontek istilah Ulumul Hadis
nanti, karena yang dimaksud Hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi
saw, sedang makna pertama dalam konteks teologis bukan kontek Ilmu Hadis. Menurut Abû al-Baqâ’ Hadis ( Hadîts) adalah kata
benda (isim) dari kata al-Tahdîts yang diartikan al-Ikhbâr =
pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan
persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Pemberitaan, yang
merupakan makna dari kata Hadis sudah
dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “Hari-hari yang
populer” dengan nama al-Ahâdîts. Menurut al-Farrâ’ al-Ahâdîts
jamak (plurel) dari kata Uhdûtsah kemudian dijadikan plurel bagi kata
Hadis.
Dari segi terminologi, banyak para ahli Hadis (muhadditsîn)
memberikan definisi di antaranya Mahmud al-Thahân mengemukakan
:
"مَاجَاءَ
عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
سَوَاءٌ كاَنَ قَوْلا ً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا "
“ Sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa
perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan”
Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa, Hadis merupakan sumber berita
yang datang dari Nabi saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan (qawl;î),
perbuatan (fi’lî), dan sikap persetujuan (taqrîrî). Di antara ulama ada
yang memasukkan pada definisi Hadis Sifat (Washfî), Sejarah (Tarîkhî) dan Cita-cita (Hammî)
Rasul. Hadis sifat (Washfî), baik sifat pisik (khalqîyah)
maupun sifat perangai (khuluqîyah). Sifat pisik seperti tinggi badan
Nabi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek kulit Nabi putih kemerah-merahan bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting, dan
lain-lain. Sedang sifat perangai mencakup akhlak beliau, misalnya sayang
terhadap fakir miskin dan lain-lain. Sejarah hidup Rasul juga masuk ke dalam
Hadis baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya. Menurut pendapat yang rajih
sejarah yang terjadi sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan Sunah kecuali
jika dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Para ulama Syafi`îyah juga
memasukkan bagian dari Sunah apa yang dicita-citakan Rasul saw (Sunnah Hammîyah) sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya,
karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan di cintai dalam agama, dituntut
dalam syari`at Islam, dan beliau diutus untuk menjelaskan syari`at Islam. Seperti cita-cita beliau berpuasa hari
tanggal 9 Muharram, rencana beliau perintah para sahabat mengambil kayu untuk
membakar rumah orang-orang munafik yang tidak berjama’ah shalat 1Isya dan
lain-lain. Sekalipun ini baru merupakan cita-cita, tetapi telah diucapkan
ucapan beliau itu Hadis qawlî yang pasti benarnya dan alasan beliau belum mengamalkannya jelas, yakni
berpulang ke rahmat Allah.
2. Bagian-bagian Struktur Hadis
Struktur Hadis terddiri dari beberapa bagian yaitu sanad, matan dan
mukharrij. Untuk memudahkan definisi istilah-istilah tersebut, terlebih
dahulu anda diajak memperhatikan
contoh struktur Hadis sebagai
berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَارِثِ عَنْ الْجَعْدِ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ
مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (أخرجه البخاري)
“Memberitakan
kepada kami Musaddad, memberitakan kepada kami Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari
Abi Rajâ’ dari Ibn Abbas dari Nabi saw bersabda : “Barang siapa yang benci sesuatu dari pimpinannya (amir) maka hendaklah sabar,
sesungguhnya barang siapa yang keluar
dari penguasa (sultan) satu jengkal maka
ia mati Jahiliayah”. (HR. al-Bukhari)
Bagimana anda melihat
contoh kerangka Hadis di atas ? Ada 3 bagian
yang perlu anda perhatikan yaitu kalimat-kalimat yang bergaris bawah, yakni
:
a. Penyandaran berita oleh « al-Bukhâri
kepada Musaddad dari Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari Abi Rajâ’ dari Ibn Abbas
dari Nabi” rangkaian penyandaran ini
disebut : Sanad.
b. Isi berita yang disampaikan Nabi :
«Barang siapa yang benci sesuatu dari pimpinannya…» disebut : Matan.
c. Sedang pembawa periwayatan berita terakhir yang termuat dalam buku karyanya dan
disampaikan kepada kita yakni al-Bukhâri disebut : Pe-rawi atau Mukharrij.
Artinya, orang yang
meriwayatkan Hadis dan disebutkan
dalam kitab karyanya. Untuk memudahkan pemahaman anda berikut ini dibentangkan
dalam bentuk seperti denah :
مَنْ
كَرِهَ مِنْ ...
Untuk lebih jelasnya masing-masing istilah ini akan dipaparkan secara
terperinci dalam uraian berikut :
a. Sanad Hadis
Sanad menurut bahasa : “sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan, dan
pedoman.” Dan menurut istilah
ahli Hadis ialah :
"سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ
اِلَى الْمَتْنِ "
Artinya: “ mata rantai
para periwayat Hadis yang menghubungkan
sampai kepada matan Hadis.”
Sanad
ini sangat penting dalam Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang
secara integral tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan
dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas
Hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana al-Qur’an dan diterima secara
individu (âhâd) tidak secara mutawâtir. Sedang Musnad memiliki
3 pengertian :
1) Hadis yang
diterangkan Sanad-nya sampai
kepada Nabi saw, disebut Hadis Musnad
2) Sesuatu kitab
Hadis yang pengarangnya mengumpulkan segala Hadis yang diriwayatkan oleh
seorang sahabat dalam satu bab dan yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain
dalam bab yang tersendiri pula, seperti Musnad Imam Ahmad.
3) Hadis yang sandarannya bersambung (muttashil) kepada Nabi saw (marfu`).
b. Lambang periwayatan sanad
Tentunya anda telah melihat pada contoh di atas, terdapat penyandaran
berita yang dilakukan oleh para pembawa berita dalam mata rantai sanad yang
menggunakan ungkapan kat-kata yang melambangkan pertemuan baik langsung (muttashil) atau tidak,
yaitu :
حَدَّثَناَ/
حَدّثَنِىْ، أَخْبَرَناَ/ أَخْبَرَنِىْ،
أَنْبَأَناَ/أَنْبَأَنِىْ.
Artinya : “Memberitakan
kepada kami/memberitakan kepadaku, mengkhabarkan kepada kami/mengkhabarkan
kepadaku, memberitakan kepada kami/memberitakan kepadaku.”
Ketiga ungkapan
penyampaian periwayatan Hadis (adâ’) di atas pada umumnya digunakan
dalam keadaan jika seorang periwayat mendapat Hadis secara langsung dan bertemu
langsung dari seorang gurunya. Hanya
bedanya jika menggunakan kata “haddatsa/nâ” berarti penerimaan (tahammul)
secara berjama`ah dan “haddatsa/nî”
bermakna bahwa penerimaannya sendirian.
Secara
umum memang ungkapan kata-kata periwayatan di atas diartikan sama yaitu bertemu
langsung. Namun, kemudian masing-msing
mempunyai metodologis yang khusus, misalnya sebagai berikut :
1) Lambang periwayatan : " سَمِعْتُ/ حَدَّثَنِىْ/ حَدَّثَناَ "
dipergunakan dalam metode
al-Samâ` (السَّمَاعْ
)
artinya seorang murid
mendengarkan penyampaian Hadis dari seorang guru (Syeikh) secara langsung. Guru
membaca murid mendengar bacaannya. Di sini nampaknya guru lebih aktif, tetapi
muridpun ditutut lebih aktif, karena mereka dituntut mampu melafalkan dan hapal apa yang ia dengar dari guru. Hadis yang menggunakan lambang periwayatan
tersebut dalam segala tingkatan sanad
berarti bersambung (muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad bertemu langsung dengan Syeikhnya.
2) Lambang
periwayatan : " أَخْبَرَنِىْ/ أَخْبَرَناَ " dipergunakan
dalam metode al-Qirâ’ah atau al-`Ardh, artinya seorang murid membaca atau yang lain
ikut mendengarkan dan didengarkan oleh
seorang guru, guru mengiyakan jika benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan.
Dalam dunia Pesantren, metode ini dikenal dengan metode sorogan, yang diartikan
murid mengajukan/menyodorkan bacaannya di hadapan guru dan guru mendengarkan
bacaannya, jika benar dibenarkan dan jika salah diluruskan. Metode ini juga
juga dihukumi muttashil (bertemu langsung) antara murid dan guru.
3) Lambang
periwayatan : “ " أَنْبَأَنِىْ/ أَنْبَأَناَ dalam
metode Ijazah, artinya seorang guru
memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya. Murid
yang diberi ijazah untuk menyampaikan periwayatan tidak sembarang murid, akan
tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal
tersebut. Hadis yang disampaikan dengan metode ijazah adalah Hadis-Hadis
yang yang telah terhimpun dalam kitab-kitab Hadis. Oleh karena itu pengijazahan itu tampaknya hanya merukapan tali pengikat antara
guru dan murid semata. Kualitas Hadis
terpulang kepada periwayatan antara guru dengan para periwayat sebelumnya atau naskah yang
diijazahkan.
4) Lambang periwayatan : " قاَلَ لِىْ " : “ ia berkata kepadaku” atau : " ذَكَرَ
لِىْ " : “Ia menyebutkan kepadaku” dipergunakan dalam menyampaikan Hadis
metode Samâ` al-Mudzâkarah ,
artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek mudzakarah
bukan dalam kontek menyampaikan periwayatan yang tentunya tidak ada kesiapan dari kedua
belah pihak. Berbeda dalam konteks adâ’
(penyampaian periwayatan) kedua
belah pihak telah siap untuk menyampaikan dan menerima Hadis.
5)
Lambang periwayatan عَنْ
: Hadis yang diriwayatkan menggunakan kata `an=
dari disebut Hadis mu`an`anah. Menurut jumhur ulama dapat diterima asal periwayatnya tidak mudallis
(penyimpan cacat) dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan grurunya. Jika tidak
memenuhi dua persyaratan ini maka tidak dihukumi muttashil.
6)
Mahmûd al-Thahân
menjelaskan, lambang periwayatan yang menggunakan kalimat aktif seperti ذَكَرَ، اَمَرَ، قاَلَ ( Dia berkata , dia
perintah, dan dia menyebutkan) dihukumi shahih apabila dalam kitab Shahîhayn.
Sedang lambang periwayatan dengan menggunakan kalimat pasif,
misalnya : يُرْوَى، يُذْكَرُ،
يُحْكَى، رُوِيَ، ذُكِرَ
( Diriwayatkan, disebutkan, diceritakan, diriwayatkan,
dan disebutkan), tidak dihukumi shahih sekalipun dalam Shahîhayn
jika didapatkan, tetapi kenyataannya tidak didapatkan dalam Shahîhayn
tersebut.
c. Matan
Kata “matan” menurut bahasa berarti ; keras, kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli.
Dalam perkembangannya karya penulisan seseorang ada disebut
matan dan ada syarah. Matan di sini
dimaksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang
universal, padat, dan singkat sedang syarah-nya dimaksudkan
penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam konteks Hadis,
Hadis sebagai matan kemudian
diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama,
misalnya Shahîh
al-Bukhârî di-syarah-kan oleh
al-`Asqalânî dengan nama Fath
al-Bârî dan lain-lain.
Menurut istilah matan adalah :
" أَلْفَاظُ الْحَدِيْثِ الَّتِى
َتقُوْمُ ِبهَا مَعَانِيْهِ "
Artinya : “Beberapa lafazh Hadis yang membentuk
beberapa makna.”
Matan Hadis ini sangat penting karena yang menjadi
topik kajian dan kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam
beragama.
d. Mukharrij atau Periwayat Hadis
Kata Mukharrij isim fa`il (bentuk pelaku) dari kata Takhrîj
atau istikhrâj dan ikhrâj yang dalam bahasa
diartikan ; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Maksud Mukharrij
di sini adalah adalah seorang yang menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya dengan sanadnya. Dr.
Abd Al-Muhdî menyebutkan :
فَالْمُخَرِّجُ هُوَ ذَاكِرُ الرِّوَايَةِ
كَالْبُخَارِي
“Mukharrij
adalah penyebut periwayatan sepert al-Bukhari.”
Misalnya jika suatu Hadis mukharrij-nya al-Bukhari berarti Hadis tersebut dituturkan al-Bukhari dalam
kitabnya dengan sanadnya. Oleh karena
itu biasanya pada akhir periwayatan
suatu Hadis disebutkan أخرجه البخاري Hadis
di-takhrîj oleh al-Bukhârî dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu Hadis
dikatakan dengan kata : رواه البخاري Hadis diriwayatkan oleh
al-Bukhârî.
Bagi perawi yang menghimpun Hadis ke dalam suatu kitab tadwîn
disebut dengan perawi dan disebut pula Muddawin
(orang yang menghimpun dan membukukan Hadis), demikian juga ia disebut Mukharrij,
karena ia yang menerangkan para perawi
dalam sanad dan derajat Hadis itu ke dalam bukunya.
Latihan
Setelah
anda membaca materi di atas untuk memperdalam pemahaman anda, silahkan anda
berlatih soal-soal berikut ini !
1. Jelaskan pengertian al-Qur’an ?
2. Jelaskan pengertian
surah dan ayat ?
3. Jelaskan pengertian Hadis ?
4. Jelaskan perbedaan
antara sanad dan mukharrij ?
5. Jelaskan pengertian kitab Musnad ? Berikan contohnya
Petunjuk Jawaban Latihan
1.
Pengertian al-Qur’an menurut bahasa adalah al-maqrû’ sesuatu yang
dibaca atau al-Qira’ah yang
berarti menghimpun dan mengumpulkan. Sedang menurut arti istilah
adalah : kalam Allah yang mengandung mukjizat diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang tertulis pada mushhaf,
diriwayatkan secara mutawâtir, dinilai
ibadah membacanya, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah
al-Nâs.
2.
a. Pengertian Surah dalam bahasa kedudukan atau tempat yang tinggi, sesuai
dengan kedudukan al-Qura’n. Sedang arti istilah menurut Mannâ’ al-Qathân
adalah Surah adalah sejumlah beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki
permulaan dan penghabisan.
b. Pengertian
ayat dalam bahasa tanda, alamat, bukti/ dalil, dan mukjizat. Sedang arti
istilah adalah : Dalam istilah menurut al-Ja`barî adalah
“Ayat adalah bacaan yang tersusun
dari beberapa kalimat sekalipun secara taqdiri (perkiraan) yang memiliki
permulaan atau bagian yang masuk dalam
surah.
3. Pengertian Hadis secara bahasa adalah baru atau
berita. Sedang arti istilah adalah : Sesuatu yang datang dari Nabi baik
berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.
4. Perbedaan sanad
dan mukharrij : Sanad menurut bahasa : “sesuatu
yang dijadikan sandaran, pegangan, dan pedoman.” Makna secara istilah
adalah “ mata rantai para periwayat Hadis
yang menghubungkan sampai kepada
matan Hadis.” Sedangkan Mukharrij dalam istilah
adalah adalah seorang perawi yang menyebutkan suatu Hadis dalam
kitabnya dengan sanadnya.
5. Musnad Sesuatu
kitab Hadis yang pengarangnya mengumpulkan segala Hadis yang diriwayatkan oleh
seorang sahabat dalam satu bab dan yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain
dalam bab yang tersendiri pula, seperti Musnad Imam Ahmad.
Rangkuman
Al-Qur’an adalah kumpulan firman Allah yang mengandung mukjizat diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang tertulis pada mushhaf,
diriwayatkan secara mutawâtir dan
dinilai ibadah membacanya. Al-Qur’an terdiri dari 114 atau terdiri 6. 666 ayat
menurut pendapat yang populer. Pengertian Surah adalah sejumlah
beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki permulaan dan penghabisan dan pengertian
ayat adalah menurut al-Jabarî adalah
bacaan yang tersusun dari beberapa kalimat sekalipun secara taqdiri
(perkiraan) yang memiliki permulaan atau
bagian yang masuk dalam surah.
Pengertian Hadis adalah sesuatu yang
datang dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.
Struktur Hadis ini terdiri dari matan
sanad dan mukharrij. Sanad adalah mata
rantai para periwayat Hadis yang
menghubungkan sampai kepada matan Hadis.
Mukharrij adalah seorang perawi yang
menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya
dengan sanadnya. Sedangkan matan adalah beberapa lafazh Hadis yang
membentuk beberapa makna.
Test Formatif 1
Pilihlah salah satu jawaban pada setiap butir
pertanyaan yang paling benar !
- Dari segi bahasa arti al-Qur’an adalah :
a. al-Maqrû’ wa al-Qirâ’ah c. Al-Maqrû’
b. al-Qira’ah d.
Al-Dhammu wa al-jam’u
- Ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an adalah :
a. al-Baqarah/2 : 280 c.
Al-Baqarah/2 : 281
b. al-Baqarah/2 : 285
d. Al-Baqarah/2 : 282
- Surah al-Thiwâl yang merupakan bagian dari suraaj al-Mufashshal adalah :
a. Surah al-Baqarah sd. Al-An’am c. Al-Hujurat sd. Al-Burûj
b. Surah ayatnya 100-an lebih d. Al-Dhuha sd. Al-Bayyinah
- Di antara sebab perbedaan ulama dalam menghitung jumlah ayat dalam al-Qur’an adalah :
- Waqaf Nabi ada yang menghitung satu ayat
- Huruf permulaan surah dihitung satu ayat
- Waqaf Nabi dan huruf permulaan surah dihitung satu ayat
- Kehati-hatian dan kecerobohan dalam menghitung ayat
- Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata ; memberitakan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata ; Aku mendengar Rasulullah membaca Surah al-Thûr pada shalat maghrib” (HR.Bukhari) Ungkapan yang digaris bawahi atas disebut :
a.
Matan c. Sanad
b.
Mukharrij d. Perawi
6. Ungkapan
: (HR Bukhari) disebut :
a.
Matan c. Sanad
b.
Mukharrij d. Musnad
7.
Dalam struktur Hadis di atas ada lambang periwayatan ; Haddatsana
; memberitakan kepada kami. Maksudnya periwayatan seorang perawi dengan
gurunya :
a.
Bertemu langsung c.
Tidak bertemu langsung
b.
Ada dua kemungkinan d.
Bisa bertemu melalui orang lain
8. Lambang periwayatan
... عَنْ = dari …. Menunjukkan
makna bahwa seorang perawi dengan gurunya : :
a.
Bertemu langsung c. Tidak bertemu langsung
c.
Ada dua kemungkinan d.
Bisa bertemu melalui orang lain
- Kitab Hadis yang disusun berdasarkan nama perawi pertama di kalangan sahabat seperti kitab Imam Ahmad bin Hanbal disebut :
a.
Kitab Jami’ c. Kitab Sunan
b.
Kitab Mustakhraj d. Musnad
10.
Di antara lambing periwayatan
yang umumnya digunakan meriwayatkan Hadis Dha’if adalah :
a.
قاَلَ c. رُوِيَ
b.
قاَلَ لِىْ d. حَدَّثَنِىْ
Kunci Jawaban :
1.
a 6. b
2.
d 7. a
3.
c 8. c
4.
c 9. d
5.
c 10. c.
Balikan &
Tindak Lanjutan
Cocokanlah
jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif 1 yang terdapat pada bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untk
mengetahui tingkat pengtahuan anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Rumus :
Jumlah
jawaban anda yang benar
Tingkat penguasaan = ---------------------------------------------x 100 %
10
Arti tingkat penguasaan yang anda capai :
90 % -
100 % = baik sekali
80 %
- 89 % = baik
70
% -
79 % = cukup
<70
% = kurang
Bila anda mencapai tingkat
penguasaan 80 % atau lebih, anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus ! Tetapi
bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80 %, anda harus mengulangi
kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kegiatan Belajar 2
HUBUNGAN AL-QUR’AN DAN HADIS
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar
Al-Qur’an Hadis dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Al-Qur’an adalah firman Allah sedangkan
Hadis adalah kegiatan Nabi yang
didasarkan pada wahyu. Dari segi substansinya memang sama karena sama-sama
wahyu, tetapi juga berbeda karena Hadis adalah implementasi al-Qur’an yang lebih
terinci dan operasional yang merupakan
penjelas terhadapnya. Wahyu Hadis yang
didasarkan pada ijtihad pemahaman wahyu al-Qur’an disebut Hadis Nabawi
sedang yang didasarkan wahyu selain al-Qur’an disebaut Hadis Qudsi.
Banyak orang mengira Hadis Qudsi itu mesti shahih bahkan dibilang paling
shahih di antara sekian banyak Hadis. Anggapan ini, karena mereka melihat kata suci itu menunjukkan kesucian dan
kesahehan. Atau karena melihat sandarannya kepada Allah. Kedua Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi mempunyai kualitas yang sama, yakni bergantung
pada syarat-syarat yang dipenuhinya, ada shahih, hasan dan ada pula dha’if.
Istilah qudsi (suci) hanya dilihat dari penyandarannya bukan pada substansinya
yakni penyandarannya kepada Allah. Tetapi substansi sanad dan matan masih bisa
dipertanyakan, apakah memenuhi kriteria Hadis makbil atau tidak. Berikut
paparan tentang perbedaan Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi kemudian paparan tentang
perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadis.
A. al-Qur’an, Hadis Nabawi dan Hadis
Qudsi
1.
Hadis Qudsî dan Hadis Nabawî
Pada KB 2 sebelum terlebih dahulu akan berbicara tentang Hadis
Qudsi dan Nabawi. Hadis dilihat
dari sandarannya ada dua ;
pertama disandarkan pada Nabi sendiri yang disebut Hadis Nabawi, kedua
disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Hadis Qudsî
disebut juga Hadis Ilâhî dan
Hadis Rabbânî. Secara etimologi
Qudsi = suci sedang arti terminologi Hadis Qudsî ialah :
" كُلُّ قَوْلٍ أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ
صلى الله عليه وسلم ِالَى اللهِ عزَّ وجلَّ "
“ segala perkataan yang
disandarkan Rasul saw kepada Allah swt.”
Definisi ini menjelaskan, bahwa Nabi hanya menceritakan berita yang
disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan hanya berupa firman
tidak ada perbuatan dan persetujuan sebagaimana Hadis Nabi biasa. Bentuk-bentuk periwayatan Hadis qudsî pada umumnya menggunakan kata-kata yang
disandarkan kepada Allah, misalnya ; Nabi saw bersabda : Allah `azza wajalla
berfirman… Atau Rasulullah saw bersabda pada apa yang beliau riwayatkan
dari Allah swt…Atau Rasulullah saw menceritakan dari Tuhannya, Dia berfirman :
…
Contoh Hadis qudsî, Hadis
diriwayatkan dari Abî Dzarr :
حَدِيثَ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ
فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي
لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ ...(اخرجه أحمد)
ِ “Hadis Mu`adz bin Jabal ia berkata :
Aku mendengar Rasulillah saw bersabda, bahwa Allah aw berfirman : “ Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku)
berhak bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku)
berhak mereka yang merendahkan hati (tawâdhu’ ) karena Aku, Kecintaan-Ku
(Mahabbah-Ku) berhak bagi mereka yang saling berziarah…”. (HR. Ahmad )
Dinamakan
Qudsî (suci), Ilâhî (Tuhan), dan Rabbânî (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang maha
Suci dan dinamakan Hadis karena Nabi
yang memberitakannya yang didasarkan
dari wahyu Allah swt. Kata Qudsi, sekalipun diartikan suci hanya
merupakan sifat bagi Hadis, sandaran Hadis kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas Hadis. Oleh karena itu tidak semua
Hadis Qudsî shahih tetapi ada yang shahih, hasan, dan dha`if tergantung
persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.
Jumlah Hadis Qudsî tidak
terlalu besar hanya sekitar 400 buah
Hadis tanpa terulang-ulang dalam sanad yang berbeda (ghayr mukarrar), ia
tersebar dalam 7 Kitab Induk Hadis. Mayoritas kandungan Hadis Qudsî tentang akhlak, aqidah, dan syari`ah. Di
antara Kitab Hadis Qudsî, al-Ahâdîts
al-Qudsîyah, yang diterbitkan oleh Jumhûr Mesir al-`Arabîyah, Wuzârah
al-Awqâf al-Majlis al-A`la li Syu’ûn al-Islâmîyah Lajnah al-Sunnah, Cairo 1988
dan lain-lain.
Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Nabawi terletak pada sumber berita dan
proses pemberitaannya. Hadis Qudsî maknanya dari Allah yang
disampaikan melalui suatu wahyu sedangkan
redaksinya dari Nabi yang disandarkan
kepada Allah. Sedangkan Hadis Nabawi pemberitaan makna dan redaksinya
berdasarkan ijtihad Nabi sendiri. Dalam
Hadis Qudsi Rasul menjelaskan kandungan
atau yang tersirat pada wahyu sebagaimana yang diterima dari Allah dengan
ungkapan beliau sendiri. Pembagian ini
sekalipun kandungannya dari Allah, tetapi ungkapan itu disandarkan kepada Nabi sendiri karena tentunya
ungkapan kata itu disandarkan kepada
yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari yang lain. Oleh
karena itu selalu disandarkan kepada Allah. Pemberitaan yang seperti ini
disebut Tawfîqî. Pada Hadis Nabawi kajian Rasul melalui ijtihad yang dipahami dari al-Qur’an karena beliau
bertugas sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kajian ini didiamkan wahyu jika benar dan dibetulkan
dengan wahyu jika salah. Kajian seperti ini disebut Tawqîfî.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Hadis Nabawî dengan kedua bagiannya merujuk kepada
wahyu baik yang dipahami dari kandungan wahyu secara tersirat yang disebut
dengan Tawfîqî maupun yang dipahami dari al-Qur’an secara tersurat yang
disebut dengan Tawqîfî dan inilah makna firman Allah dalam Surah al-Najm ayat 3-4 :
" وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُّوْحَى "
“Dan
tidaklah yang diucapkannya (al-Qur’an) itu
menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya.” (QS.
Al-Najm/53: 3-4)
Wahyu adalah
pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya
tentang sesuatu hal dengan cara yang
samar dan sangat cepat tetapi meyakinkan bahwa sesuatu yang diwahyukan tersebut
benar-benar dari Allah. Pada ayat ini ijtihad tidak merupakan lawan kata dari
wahyu dan tidak ada alasan untuk melarangnya. Antonim kata wahyu pada ayat tersebut adalah hawa.
Nabi tidak berkata dari hawa nafsu tetapi dari wahyu. Secara
umum dari beberapa uraian di atas dapat dikembangkan menjadi beberapa
perbedaan antara Hadis Qudsî dan Hadis Nabawî di antaranya
sebagai beriku :
a. Pada Hadis Nabawî Rasul saw menjadi sandaran sumber
pemberitaan, sedang pada Hadis Qudsî
beliau menyandarkannya kepada Allah swt.
Pada Hadis Qudsî, Nabi memberitakan apa yang disandarkan kepada
Allah dengan menggunakan redaksinya sendiri.
b. Pada Hadis Qudsi Nabi hanya memberitakan perkataan atau qawli sedang pada Hadis
Nabawi pemberitaannya meliputi
perkataan/qawlî, perbuatan/fi`lî, dan persetujuan/ taqrîrî.
c. Hadis Nabawî merupakan penjelasan dari
kandungan wahyu baik secara langsung ataupun tidak langsung. Maksud Wahyu yang tidak
secara langsung, Nabi berijtihad
terlebih dahulu dalam menjawab suatu masalah. Jawaban itu ada
kalanya sesuai dengan wahyu dan
adakalanya tidak sesuai dengan wahyu. Jika tidak sesuai dengan wahyu, maka
datanglah wahyu untuk meluruskannya. Hadis Qudsî wahyu langsung dari Allah swt.
d. Hadis Nabawî lafadz dan maknanya dari Nabi
menurut sebagian pendapat, sedang Hadis Qudsî maknanya dari Allah redaksinya disusun oleh Nabi.
e. Hadis
Qudsi selalu menggunakan ungkapan orang pertama (dhamîr mutakallim) : Aku (Allah)…Hai hamba-Ku…sedang
Hadis Nabawi tidajk menggunakan ungkapan ini.
2. Perbedaan Hadis
dan al-Qur’an
Pada KB1 di atas telah
dijelaskan tentang pengertian al-Qur’an dan Hadis Nabawi.
Berdasarkan definisi di atas dapat
dibedakan antara keduanya dengan
beberapa hal sebagai berikut ;
a.
al-Qur’an
mu`jizat Rasul sedangkan Hadis bukan
mu’jizat sekalipun Hadis Qudsî.
Al-Qur’an
terpelihara dari berbagai kekurangan dan
pendistorsian tangan orang-orang jahil (lihat QS. Al-Hijr/15 :9) sedangkan
Hadis tidak terpelihara seperti
al-Qur’an. Namun, hubungan keduanya
secara integral tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Maka terpeliharanya al-Qur’an berarti pula
terpeliharanya Hadis. Ada
tiga dasar terpeliharanya Hadis : Pertama, dasar Qur’ânî (tekstual)
sebagaimana dalam Q. S. al-Qiyâmah
/ 75 : 19) bahwa yang dimaksud kata “bayân”
dalam ayat ini adalah Sunah yang Shahih.
Kedua, dasar qiyâsî dan istinbâthî (analogi dan
induksi), sebagaimana firman Allah Surah
al-Hijr/ 15: 9 yang menegaskan pemeliharaan al-Qur’an yang dijelaskan (al-mubayyan)
oleh Sunah, berarti pemeliharaan terhadapnya sebagai penjelas (al-mubayyin).
Ketiga, dasar wâqi`î
(faktual), realita perhatian umat Islam dulu sampai sekarang yang meriwayatkan, menghimpun, menfilter, menghapal,
mempraktekkan, menulis dan mengkodifikasikan Sunah.
b.
Al-Qur’an
seluruhnya diriwayatkan secara mutawâtir, sedangkan Hadis tidak banyak
diriwayatkan secara mutawâtir. Mayoritas Hadis diriwayatkan secara âhâd
(individu, artinya tidak sebanyak periwayat mutawâtir ).
c. Kebenaran
ayat-ayat al-Qur’an bersifat qath`îy al-wurûd (pasti atau mutlak
kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran Hadis kebanyakan bersifat zhannîy al-wurûd ( relatif
kebenarannya) kecuali yang mutawâtir.
d.
Al-Qur’an
redaksi (lafazh) dan maknanya dari Allah dan Hadis Qudsî maknanya dari Allah redaksinya
dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang Hadis Nabawi berdasarkan
wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu haram meriwayatkan al-Qur’an secara makna tanpa
lafazh, dan boleh periwayatan secara
makna dalam Hadis dengan persyaratan yang ketat.
e. Proses
penyampaian al-Qur’an melalui wahyu yang
tegas (jalî) sedang Hadis Qudsî melalui wahyu, atau ilham,
dan atau mimpi dalam tidur
f. Kewahyuan
al-Qur’an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibacakan) sedang
kewahyuan Sunah disebut wahyu ghayr matluw (wahyu yang tidak dibacakan)
tetapi terlintas dalam hati secara jelas
dan yakin kemudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.
g.Membaca
al-Qur’an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10 kebaikan, sedang membaca Hadis
sekalipun Qudsî tidak dinilai
ibadah kecuali disertai dengan niat yang
baru.
h.
Di antara Surah
al-Qur’an wajib dibaca dalam shalat seperti membaca Surah al-Fâtihah
yang dibaca pada setiap raka’at.
Sedangkan dalam Hadis tidak ada
yang harus dibaca dalam shalat sekalipun Qudsî, bahkan tidak shalat seseorang
yang menggantikan Surah al-Qur’an dengan Hadis Qudsî .
i. Haram
menyentuh atau membawa mushahaf al-Qur’an menurut sebagian pendapat) bagi
yang ber-hadats baik hadats
kecil maupun hadats besar (tidak
bersuci).
j. Haram menjual belikan mus’haf al-Qur’an menurut Imam Ahmad dan makruh menurut Imam
al-Syafi`i.
B. Kedudukan al-Qur’an dan Hadis
Setelah anda memahami istilah-istilah dalam Hadis sekarang anda diajak
memahami kedudukan Hadis dalam Islam. Betapa penting mengetahui kedudukan Hadis
agar anda dapat memposisikan diri sebagai muslim yang baik. Kedudukan Hadis atau Sunah dalam agama
sebagai dasar hukum beagama kedua, yang pertama adalah al-Qur’an. Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini Sunah menjadi dasar hukum Islam kedua
setelah yang pertama yakni al-Qur’an.
Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Fungsi
Sunah sebagai penjelas terhadap
al-Qur’an.
Sunaah berfungsi sebagai penjelas terhadap
al-Qur’aan, tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks
al-Qur’an sebagai pokok asal yang
dijelaskan, sedang Sunah sebagai penjelas/tafsir yang dibangun karenanya. Keterangan al-Qur’an sangat sempurna tidak ada
sesuatu yang tertinggal (QS. al-An`âm / 6: 38), tetapi penjelasannya secara gelobal, maka perlu
diterangkan secara rinci dari Sunah.
2. Mayoritas Sunah
relatif kebenarannya (zhannîy al-tsubût).
Seluruh
umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawâtir
(para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan), berfaedah
absolute/pasti kebenarannya yang disebut qath`î al-tsubût dari
Nabi. Sedangkan Sunah, di antara
periwayatannya ada yang mutawâtir yang memberikan
faedah qath`î al-tsubût, dan di
antaranya bahkan yang mayoritas âhâd (periwayatnya secara
individual) memberikan faedah relatif kebenarannya (zhannî al-tsubût)
bahwa ia diduga kuat dari Nabi saw meskipun secara umum dapat dikatakan qath`î
al-tsubût.
C. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
Setelah anda mengetahui
kedudukan Hadis mari anda diajak memehami
fungsi Hadis terhadap al-Qur’an. Fungsinya adalah sebagai penjelas (li al-bayân)terhadap makna
al-Qur’an yang sangat dalam dan gelobal isinya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah
al-Nahl/16 : 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
Secara
garis besar ada empat makna fungsi penjelasan ( bayân) Hadis
terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.
Bayân
Taqrîr
Posisi Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an. Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah
dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis
tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Hadis berarti memperkuat keterangan al-Qur’an tersebut .
2.
Bayân
Tafsîr
Hadis sebagai penjelas
(tafsîr) terhadap al-Qur’an dan
fungsi inilah yang terbanyak pada
umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3
macam, yaitu sebagai berikut :
a. Tafsîl
al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada
ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (tafsîl
al-mujmal= memperinci yang gelobal), baik menyangkut masalah ibadah maupun
hukum, sebagian ulama menyebutnya bayân tafshîl atau bayân tafsîr. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat
dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah shalat” tanpa
disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa
raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu
adanya dalam Hadis Nabi, misalnya
sabda Nabi saw :
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku
shalat “. (HR. al-Bukhari)
Dalam masalah haji al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal,
rinciannya dijelaskan Hadis, Nabi
bersabda : " لِتَأْخُذُوْا مَنَاسِكَكُمْ "
“Ambilah
(dari padaku) ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)
b. Takhshîsh al-`Amm
Hadis
mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sebagian ulama
menyebut bayân takhshîsh. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS.
Al-Nisa’/4: 10
“ Allah mensyari`atkan bagi mu
tentang (bagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris,
baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan
atau banyak, orang tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada
anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini
bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang
melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
c. Taqyîd al-Muthlaq
Hadis
membatasi kemutlakan ayat-ayat
al-Qur’an. Artinya al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian
ditakhshish dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd.
Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Mâidah : 38
" وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
..."
“Pencuri lelaki dan
pencuri perempuan, maka potonglah
tangan-tangan mereka…”
Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama
tangan tanpa dijelaskan batas
tangan yang harus dipotong apakah dari
pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta
dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baharu dijelaskan
dengan Hadis ketika ada seorang pencuri datang
ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan, maka
dipotong pada pergelangan tangan.
3. Bayân Naskhî
Hadis menghapus (nasakh)
hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang
diterangkan dalam Surah al-Baqarah/2 : 180
“Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya
secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa “.
Ayat di atas di-nasakh
dengan Hadis Nabi :
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (أخرحه
النسائي)
“Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada
setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”. ( HR.
al-Nasa’i)
4. Bayân Tasyrî`î
Hadis menciptakan hukum
syari`at (tasyri`) yang
belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para ulama
berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada sesuatu hal yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Sunah berdiri
sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunah menetapkan
dalil yang terkandung atau tersirat
secara implisit dalam teks al-Qur’an. Misalnya
keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang
bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman
wanitanya. Hadis tasyri` diterima oleh para ulama karena
kapasitas Hadis juga sebagai
wahyu dari Allah swt yang menyatu
dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit dalam
al-Qur’an.
Jelasnya,
hubungan antara Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan wahyu yang
datang dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada
umatnya, hanya proses penyampaiannya dan
periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni
menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga tidak ada
istilah kontra antara satu dengan lain.
Dengan demikian sempurna pengetahuan anda tentang istilah-istilah dan fungsi
Hadis. Untuk mengetahui penyerapan anda dari bacaan di atas coba soal-soal
berikut anda jawab.
Latihan
Setelah anda membaca materi di atas untuk memperdalam pemahaman anda,
silahkan anda berlatih soal-soal berikut
ini !
- Jelaskan pengertian Hadis Qudsi ?
- Jelskan di antara perbedaan antara Hadis Qudsi dan Nabawi ?
- Jelaskan perbedaan antara al-Qur’an dab n Hadis dari segi redaksinya ?
- Mengapa Hadis berkedudukan nomor dua dalam dasar beragama?
- Sebutkan 4 bayân fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ?
Petunjuk Jawaban Latihan
1.
“ segala Hadis yang disandarkan Rasul saw kepada Allah
swt.”
2.
Hadis Qudsî maknanya dari Allah yang
disampaikan melalui suatu wahyu
sedangkan redaksinya dari Nabi yang
disandarkan kepada Allah. Sedangkan Hadis Nabawi pemberitaan makna dan
redaksinya berdasarkan ijtihad Nabi sendiri.
3.
Al-Qur’an redaksi
(lafazh) dan maknanya dari Allah dan Hadis Qudsî maknanya dari Allah redaksinya
dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang Hadis Nabawi
berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu
haram meriwayatkan al-Qur’an secara
makna tanpa lafazh, dan boleh
periwayatan secara makna dalam Hadis dengan persyaratan yang ketat.
4.
Karena :
a.
Fungsi Sunah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an
b.
Mayoritas Sunah
relatif kebenarannya (zhannîy al-tsubût).
5.
4 bayan sebagai fungsi Hadis terhadap al-Qur’an yaitu bayan taqrîr, bayân tafsîr, bayân
naskhi dan bayân tasyrî’.
Rangkuman
Hadis Nabawi berbeda dengan Hadis Qudsi. Hadis Nabawi
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik perkataan,
perbuatan dan persetujuan. Sedangkan Hadis Qudsi adalah segala perkataan yang disandarkan Nabi saw kepada Allah swt.
Hadis qudsi disebut juga Hadis Ilahi dan Rabbani, tetapi semua inmi tidak
menunjukkan kualitas Hadis.
Al-Qur’an berbeda dengan Hadis, al-Qur’an mukjizat,
mutawatir seluruhnya, qath’iy al-wurûd,
lafal dan maknanya dari Allah, wahyu jali dan matlû dan membacanya dip[erhitungkan sebagai
ibadah. Hadis berkedudukan sebagai dasar hukum Islam kedudukarena Fungsi Sunah
sebagai penjelas terhadap al-Qur’an dan
mayoritas Sunah relatif kebenarannya (zhannîy
al-tsubût). Dalil kehujjahannya adalah al-Qur’an, Hadis dan ijmak
ulama. Sedangkan fungsinya terhadap
al-Qur’an sebagai penjelas (li al-bayân) sebagaimana QS. al-Nahl/16 : 44 . Ada
4 bayân Hadis terhadap al-Qur’an yaitu bayan taqrîr (penguat), bayân tafsîr (menjelaskan secara
rinci), bayân naskhi (penghapusan hukum terdahulu) dan bayân tasyrî’
(menciptakan hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an). Bayan tafsîr terbagi menadi
3 yaitu tafshîl al-mujmal (merinci yang
gelobal), takhshîsh al-‘amm (mengkhususkan yang umum) dan taqyîd al-mutlaq
(membatasi yang mutlak).
Test Formatif 2
Pilihlah salah
satu jawaban pada setiap butir pertanyaan yang menurut anda paling benar !
1.
Hadis perkataan Nabi yang disandarkan kepada Allah swt
tidak disebut :
a.
Hadis Qudsi c.
Hadis Nabawi
b.
Hadis Ilahi d.
Hadis Rabbani
2.
Kualitas Hadis
Qudsi pada umumnya adalah :
a. Shahih
semua c.
hasan semua
b. Dha’if
semua d.
Ada kalanya
shahih atau tidak
3. Hadis
Nabawi redaki dan maknanya dari Nabi sedangkan Hadis Qudsi maknanya dari Allah
dan redaksinya :
c. Dari Allah c.
Dari Nabi sendiri
d. Dari
Allh dan Nabi d.
Dari Malaikat Jibril
4. Pemahaman
Nabi yang didasarkan pada sesuatu yang tersirat pada kandungan nash wahyu
disebut :
a. tawfiqî c. tawqîfî
a. tawfiqî c. tawqîfî
b.
tathbiqî d.
tathqibî
5. Berikut
ini yang tidak termasuk dasar pemeliharaan Hadis adalah :
d.
Qur’ani c. Waqi’î
e.
Qiyasî dan Istinbathi d.
Qiyasî dan ijma’î
6. al-Qur’an seluruhnya
dari segi periwayatan mempunyai faedah qath’îyu al-wurûd, sedangkan
Hadis mayoritas berfaedah zhannîy al-wurûd. Maksud zhannîy al-wurûd :
a. relative
kebenarannya c. Dipastikan
kebenarannya
b.
Diaragukan kebenarannya d.
Tidak dipastikan kebenarannya
7.
Pemotongan tangan sampai di pergelangan tangan bagi
pencuri -- tentunya yang sudah memenuhi
persyaratan tertentu -- adalah contoh
fungsi Hadis terhadap al-Qur’an bayan tafsir :
c. Takhshîsh
al-‘amm c. Taqyîd
al-muthlaq
d.
Tafhîl al-mujmal d.
Bayan naskhî
8.
Kedudukan Hadis
sebagai dasar beragama yang kedua, karena :
a.
Hadis sabda Rasul c.
Penjelas jatuh setelah yang dijelaskan
b.
Sunah qath`î al-tsubût d.
Sunah Rasul
9. Penjelasan secara
rinci bagaimana pelaksanaan shalat dijelaskan Hadis, al-Qur’an hanya
menjelaskan secara gelobalnya saja. Fungsi Hadis disebut :
a.
Takhshish
al-‘Amm c. Taqyid al-Mutlak
b.
Tafshil al-Mujmal d.
Bayan Taqrir
10. Keharaman setiap
binatang yang bertelalai dijelaskan dalam salah satu Hadis bukan diterangkan
al-Qur’an. Fungsi Hadis pada
kasus tersebut adalah :
a. Takhshish
al-‘Amm c. Taqyid al-Mutlak
b. Bayan
Tasyri’ d. Bayan
Taqrir
Kunci Jawaban
1. c 6. a
2. d 7. c
3. c 8. c
4. a 9. b
5. d 10.b
Balikan & Tindak Lanjutan
Cocokanlah jawaban anda
dengan kunci jawaban test formatif 1
yang terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban anda yang
benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untk mengetahui tingkat pengtahuan anda
terhadap materi kegiatan belajar 1.
Rumus :
Jumlah
jawaban anda yang benar
Tingkat
penguasaan = ---------------------------------------------x 100 %
10
Arti tingkat
penguasaan yang anda capai :
90 % -
100 % = baik sekali
80 %
- 89 % = baik
70 % - 79
% = cukup
<70 % = kurang
Bila anda mencapai tingkat
penguasaan 80 % atau lebih, anda dapat meneruskan dengan kegiatan belajar 2. Bagus ! Tetapi
bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80 %, anda harus mengulangi
kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar