Jumat, 24 Agustus 2012

shilaturrahim


SHILAT AL-RAHIM
DALAM MASYARAKAT MODERN

A.    Pengantar
Setiap hadir Hari Raya Lebaran `Id  al-Fithri kata “Shilat al-Rahim” banyak dibicarakan orang terutama umat Islam Indonesia,  sekalipun sesungguhnya Shilat al-Rahim tidak harus dilakukan secara musiman yakni pada hari-hari lebaran saja. Namun,  memang ada relevansi yang berkait yaitu melakukan kontak horizontal secara baik setelah mendapat pengampunan vertikal dengan Tuhan. Bagi sebagian mereka berlebaran  identik  dengan  shilat al-rahim dan halal bi halal  dalam arti yang sangat sederhana yaitu berkunjung dan minta maaf atas segala kesalahan. Kata “Lebaran” diambil dari kata “lebar” (bahasa Jawa) yang diartika “selesai.” Dalam kontek ini Lebaran berarti selesai melakukan puasa Ramadlan, maka hari itu  disebut  hari  “ifthâr” atau “fithri” yang berarti hari berbuka (tidak berpuasa).  Atau Lebaran diambil dari kata “lebar” (bahasa Indonesia) yang diartikan lebar antonim dari kata panjang, yang memiliki konotasi makna segala pintu terbuka lebar baik pintu rumah, pintu hati, dan pintu genggaman tangan. Pintu rumah terbuka lebar untuk para tamu pengunjung, pintu dada terbuka lebar untuk saling memberikan maaf atas segala kesalahan yang kemudian disebut juga  Halal bi Halal  (saling menghalalkan), dan pintu tangan menyegarkan kembali tali ukhuwah Islamiyah dengan berjabatan, memberkan  hadiah, dan santunan yang disebut dengan THR (Tunjangan Hari Raya).  

 
            Semua umat Islam dalam berbagai stratifikasinya pada hari lebaran mengadakan shilat al-rahim kepada sesamanya, terutama terhadap sanak famili, handai taulan, sahabat, kerabat, dan orang-orang yang dianggap berjasa dalam kehidupannya.  Orang yang lebih relatif muda usianya terhadap yang lebih tua, anak terhadap orang tua, murid terhadap guru,  karyawan dan pegawai  terhadap bos dan direkturnya,  dan seterusnya. Masyarakat kota metropolitan seperti Jakarta yang mayoritas didomisli oleh para perantau berasal dari berbagai daerah dan berbagai negera pada hari lebaran sangat berjasa mengantarkan para pemudik berlebaran, mulai masyarakat alit sampai dengan masyarakat elit, mulai tingkat  pembantu rumah tangga sampai pembantu istana.

Semua lapisan msayarakat Islam melakukan berlebaran, halal bi halal, dan  bersilat al-rahim, dalam berbagai bentuk, baik secara kolektif, individual, lokal, dan nasional. Bahkan dalam bentuk seremonial  seperti yang diselenggarakan di berbagai lembaga, instansi, dan tempat-tempat terbuka lain. Namun, secara Islam kata “shilat al-rahim” di sini masih dipertanyakan maknanya benarkah ia identik dengan berlebaran dan halal bi halal itu. Dalam artikel ini penulis akan melihat  makna shilat al-rahim secara proporsional dalam perspektif Islam dan aplikasinya dalam masyarakat modern.

B.     Pengertian 
Kata “shilat al-rahim”  gabungan dari dua kata bahasa Arab yaitu “shilat” dan “al-rahim.”  Kata “shilat” akar kata dari :   وصل  يصل  وصلا  ووصولا  وصلة    yang dapat diartikan ke dalam  tiga pengertian, yaitu sebagai berikut :
  1. Kata “shilat” diartikan :  “ bertemu, bersambung, dan berhimpun,” antonim dari kata “al-fashlu” ( الفصل) : “terpisah”  dan  “al-hajru”  (  الهجر) : “meninggalkan.”[i] Dalam arti bahasa ini, seolah hubungan persahabatan antar sesamanya  menjadi bertemu,  berhimpun, dan bersambung kembali setelah terputus sekian lama.
  2. Kata “Shilat al-rahim” diartikan : “berbuat baik”  (البر  والإحسان  ).[ii]
  3. Kata “shilat al-rahim” juga diartikan : “ sampai”  (  الوصول )  pada tujuan,[iii] seolah kebaikan itu telah sampai kepada yang dituju yaitu kerabat.
Di antara tiga arti etimologis di atas yang  lebih tepat untuk makna shilat al-rahim adalah makna kedua yakni “berbuat baik,”  sedang makna pertama dan kedua sebagai sarana dan kegunaan shilat al-rahim tersebut.
            Kata “Rahim”  dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab pula yaitu :   رحم  يرحم رحما ومرحمة ورحمة         yang mempunyai dua makna dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Kata “rahim” diartikan : “tempat mengandung janin”  yang hanya dimiliki oleh seorang ibu saja,[iv] kemudian diartikan kerabat atau sanak famili, karena ia ditimbulkan dari padanya. Sebagaimana sabda Nabi saw
" إن الرحم  شجنة  من الرحمن "
    “Sesungguhnya rahim itu kerabat dari Tuhan yang Maha Pengasih,”  (HR. Ahmad) 
2. Kata “rahim” keluar  dari akar kata “al-Rahmân”  yang merupakan  salah satu nama Allah ( asmâ’ al-husnâ) yang diartikan : “kasih sayang.” Sebagaiman  firman Allah dalam Hadîts al-Qudsi :
" أنا الرحمن خلقت الرحم وشققت لها اسما من اسمى "
           Artinya : “Aku Tuhan yang Maha Pengasih, aku ciptakan rahim dan Aku keluarkan sebuah  nama dari nama-Ku.” (HR. Abû Dawud al-Turmudzî).
   Dua pengertian rahim etimologis di atas sangat berguna dalam shilat al-rahim, karena ia dilaksanakan harus didasarkan kasih sayang terhadap keluarga atau perlunya timbul rasa kasih sayang diharapkan seperti terhadap keluarga sendiri. Al-Qadli `Iyadl (w. 544 H) berpendapat, rahim yang disambung dan diputus secara non pisik (maknawi) adalah kerabat dan nasab yang dihimpun oleh kandungan (rahim) sang ibu dan bergabung antara sebagian dengan sebagian yang lain.[v]      
            Pengertian Shilat al-rahim secara terminologi menurut  al-Shan`ani dan Ibn al-Atsir adalah sebagai berikut :[vi]
صلة الرحم كناية عن الإحسان الى الأقربين  من ذوى النسب والأصهار والتعطف عليهم والرفق بهم والرعاية لأحوالهم وكذلك ان بعدوا أي أساءوا. 
 Artinya : “Shilat al-rahim adalah suatu ungkapan  perbuatan baik terhadap kerabat baik karena keturunan atau persambungan, perbuatan kasih sayang, dan pemeliharaan kondisi mereka sekalipun berbuat jahat.”[vii] 
            Pengertian Shilat al-rahim di atas menunjukkan adanya akumulasi perbuatan baik (ihsan)  yang mencakup segala perbuatan baik karena konteksnya dalam hubungan sosial (mu`amalah) bukan dalam ibadah [viii] yang bersifat lebih umum baik lahir dan batin, bersifat materi dan immateri, tanpa batasan bentuk dan ruang waktu tertentu. Demikian juga dalam shilat al-rahim mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap kerabat, keluarga, dan sanak famili, baik dalam  moral  dan material, sosial dan agama yang didasarkan pada kasih sayang  yang lebih tinggi pula, karena mereka adalah bagian dari darah daging yang dilahirkan dari kandungan (rahim) sang ibunya sendiri.    Jadi shilat al-rahim bukan identik dengan berlebaran yang diartikan secara sangat sederhana yakni  kunjungan, pertemuan, dan minta maaf atau halal bi halal, apa lagi  dibatasi pada saat-saat tertentu saja. Mungkin dapat dikatakan bahwa unshur-unshur dalam berlebaran dan dalam halal bi halal terdapat bagian dari shilat al-rahim.

C.    Berbagai  Stratifikasi  Shilat al-Rahim
Dilihat dari segi  ragam stratifikasi masyarakat  dalam mengaplikasikan shilat al-rahim al-`Asqalani  (w. 852 H)  membagi  ada tiga peringkat  golongan,[ix] yaitu sebagai berikut :
1. Washil (penyambung rahim), adalah seorang yang proaktif dalam melakukan shilat al-rahim terhadap sesamanya secara tulus demi tegaknya kemashlahatan, persaudaraan, dan persatuan umat,  bukan karena membalas kebaikan atau jasa baik seseorang, atau karena sesuatu yang lain.  Golongan pertama ini selalu proaktif dalam shilat al-rahim  sekalipun terhadap seseorang yang menyakiti atau berbuat jahat kepadanya. Perbandingannya 0 : 4, 0 : 5, dan seterusnya.
2. Mukafi’ ( pembalas rahim), ialah  seseorang yang proaktif mengadakan shilat al-rahim hanya karena membalas budi seseorang secara matematis, misalnya karena orang berbuat baik,  maka iapun membalas kebaikan itu  secara seimbang, jika tidak, iapun tidak sudi bershilat al-rahim.  Perbandingannya  1 : 1, 2 : 2, dan seterusnya.
3. Qathi` (pemutus rahim), seseorang yang bersikap pasif dan negatif dalam sosial kemasyarakat, yakni ia  suka  memutus rahim dengan perbuatan-perbuatan jahat yang menyakitkan, tidak mengerti balas budi orang lain, tetapi bersifat egois ingin dihormati, ingin dipuji, dan lain sebagainya. Perbandingannya  4 : 0, 5 : 0, dan seterusnya.
Di antara tiga stratifikasi shilat al-rahim di atas yang paling utama  adalah golongan  pertama yang disebut dengan Washil dan pada washil inilah makna shilat al-rahim yang sebenarnya sekalipun berat dilaksanakan kecuali bagi orang-oang yang memiliki kesabaran dan ketulusan demi tegaknya ukhuwah Islamiyah.  Nabi saw bersabda dalam Haditsnya :
" ليس الواصل بالمكافئ ولكن الواصل الذي قطعت رحمه وصله "
            Artinya : “Tidaklah  disebut shilat al-rahim seseorang yang melakukannya karena membalas kebaikan orang lain, akan tetapi shilat al-rahim adalah jika diputus hubungan rahimnya, ia malah  menyambungnya.” (HR. al-Bukhari)
            Mayoritas shilat al-rahim yang dilakukan oleh  masyarakat Islam modern adalah  tingkat kedua yakni Mukâfi’ shilat al-rahim perimbangan dan sepadanan. Kondisi  kedua inipun sudah relatif  lebih baik dari pada tingkat ketiga dan sekalipun tidak lebih baik dari tingkat pertama. Kondisi kedua akan membuat interaksi dan feed back secara seimbang dan adil yang akan menumbuhkan saling  menghormati dan saling mencintai.  Sedang kondisi tingkat ketiga Qâthi`  pemutus shilat al-rahim sangat berbahaya bagi kelangsungan ukhuwwah, karena akan menyulut permusuhan dan pertikaian. Terlebih jika terjadi saling memutus hubungan  (muqâthi`) cepat atau lambat akan membuat nyala api permusuhan semakin membara. Sikap ini mendapat peringatan keras dari Nabi saw :
  " لايدخل الجنة قاطع رحم "
Artinya : “Tidak masuk syurga seorang pemutus rahim.” (HR. Muttafaq `alaih)
Pada saat kondisi kritis inilah,-- yakni ketika terjadi saling memutus rahim (taqathu`), terjadi permusuhan, pertikaian, dan pertumpahan darah,-- pihak yang memulai shilat al-rahim terlebih dahulu atau memulai  berdialog dan bernegosiasi disebut Washil, peringkat pertama  dalam stratifikasi shilat al-rahim.
Dilihat dari ragam aplikasi  shilat al-rahim, para ulama memiliki pendapat yang sangat modern,  relevan sepanjang masa, dan berpandangan jauh kedepan sekalipun mereka hidup masa klasik. Misalnya sebagai berikut :
1.      Abu Jamrah menjelaskan, bahwa shilat al-rahim dapat dilaksanakan dengan bantuan harta benda, memenuhi kebutuhan, menolak bencana (madlarat), muka senyum, dan mendo`akan. Secara garis besar dapat dikatakan,  mengkonsumsikan kebaikan dan menghindarkan kejahatan dari orang lain sesuai dengan kemampuan.[x]
2.      al-Qadli `Iyadl (w. 544 H) memberi penjelasan, bahwa shilat al-rahim mempunyai beberapa tingkatan yang berbeda ada yang maksimal dan ada pula yang minimal. Shilat al-rahim secara minimal adalah  tinggal mendiamkan dengan sesamanya (tarku al-muhajarah). Shilat al-rahim juga dapat dilaksanakan walaupun dengan menyampaikan salam  atau dengan cara  berbincang-bincang secara enjoy. Jadi, Shilat al-rahim dapat dilakukan secara bervariasi  sesuai dengan kemampuan dan perkembangan situasi serta kondisi yang ada. Jika seseorang melakukan sebagian shilat al-rahim  tidak mencapai nilai maksimal tidaklah dinamakan qâthi` (pemutus hubungan rahim) dan jika seseorang lalai  dari kemampuan yang layak tidaklah dinamakan washil.[xi]
Demikian komentar para ulama klasik  tentang operasional  shilat al-rahim yang memiliki makna yang aplikatif,  fleksibel, dan relevan sesuai dengan situasi dan kondis perkembangan zaman modern yang disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Dengan   memanfaatkan alat-alat komunikasi dan informasi yang canggih seperti  telepon, fax, sms, internet, dan lain sebagainya tidak menghilangkan makna shilat al-rahim pada era modern ini, karena ia malah lebih interaktif dan lebih terhormat dalam kondisi tertentu dari pada minimalisasi shilah  yaitu berdo`a dan tinggal mendiamkan (tarku al-hajrah), asal tetap menjaga etika pergaulan.
            Dilihat dari segi obyek Rahim yang dishilah, al-Qurthubi membaginya menjadi dua macam yaitu rahim khusus (khasshah) dan rahim umum (`ammah). [xii]
1.       Rahim khusus, persaudaraan atau kerabat yang dihubungkan oleh nasab dan keturunan dekat. Nilai shilah pada rahim khusus ini sangat  tinggi, karena memiliki tanggung jawab plus yaitu material dan moral terutama pengawasan  tingkah laku dan akhlak. Tanggung jawab rahim khusus  juga bervariasi tergantung kedekatan hubungan nasab dan situasi kondisi yang ada. Para ulama berbeda pendapat tentang rahim khusus ini, adakalanya dimaksudkan semua kerabat yang haram dinikah (mahram) pendapat al-Nawawi.[xiii] Atau adakalanya semua kerabat yang ada tali hubungan nasab baik haram dinikah atau tidak, mendapat harta warisaan atau tidak, pendapat al-`Asqalani dan al-Qasthalani,[xiv] pendapat kedua inilah yang lebih kuat dan realistis.
2.       Rahim umum, yaitu kerabat seagama, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Hujurat/49: 10 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” dan sabda Nabi : “Muslim saudara muslim.” (HR. Muttafaq `alaih). Shilat al-rahim  dengan sesama umat beragama dengan melaksanakan hak dan kewajiban, saling mencintai, saling memberi nasihat untuk menegakkan keadilan.
Dengan demikian tidak salah jika  shilat al-rahim diterapkan  terhadap seluruh umat Islam baik ada kaitan hubungan nasab yang disebut dengan rahim khusus dan keturunan atau hubungan persaudaraan seagama  yang disebut dengan rahim umum, bahkan terhadap non muslim persaudaraan sebangsa (ukuwah wathaniyah) dan persaudaraan satu jenis Adam (ukhuwwah jinsiyah). Hanya, bentuk dan etika shilah barang kali yang membedakan antara satu bentuk persaudaraan dengan persaudaraan yang lain sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
            Shilat al-rahim terhadap kerabat keturunan (rahim khusus) memiliki  nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerabat lain  selain nasab (rahim umum) sebagaimana shilah inter umat Islam memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan antar umat beragama. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga hak-hak dan kewajiban antara sesama umat Islam, di samping menjaga keutuhan unsur nasab dan keturunan  yang hanya dimiliki  manusia dan merupakan keistimewaan baginya. Rasulullah saw bersabda :
" الصدقة على المسكين صدقة  وعلى ذى الرحم ثنتان صدقة وصلة "
Artinya : “ Shadaqah terhadap orang miskin hanya mendapat pahala shadaqah, sedangkan  terhadap kerabat (rahim) mempunyai dua pahala yaitu pahala shadaqah dan pahala shilah.” (HR. al-Turmudzi).
            Melihat Hadits ini, tidak seluruh nepotisme   dalam Islam terlarang justru   adakalanya dianjurkan  sebagaimana dalam shilat al-rahim ini, asalkan memiliki nilai positif, adil, proporsional, dan profesional.
            Sifat kasih sayang dalam shilat al-rahim ini sangat penting  bagi umat manusia sekarang yang sudah mulai kehilangan sifat kasih sayang dengan sesamanya. Tak ada sayang  maka tak ada cinta  dan tak ada cinta  maka tidak ada pula shilat al-rahim. Jika tidak ada semua itu, manusia akan kehilangan kontrol  iman dan akal yang kemudian memunculkan sifat-sifat kekejaman  seperti premanisme, aroganisme, sparatisme,  sadisme, dan terorisme. Pada kondisi ini, harkat manusia lebih bejat dari pada binatang, karena tidak ada seekor srigala yang  tega menginjak dan membuang anak bayinya ke tong sampah dan tidak pernah ada seekor binatang sekejam srigala itu  membantai  sesamanya  sekeluarga.
            Shilat al-rahim antar kerabat khusus dan  kerabat umum para era globalisasi ini sangat diperlukan untuk mencapai kedamaian, kerukunan, dan persatuan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat bentukan Nabi : “ Tegas terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang dengan sesamanya.” (QS. Al-Fth /48 : 29). Dalam ayat ini menunjukkan, bahwa ketegasan terhadap orang-orang kafir  dalam bidang akidahpun juga  bermakna  shilah, sama halnya memberi hukuman  terhadap orang yang bersalah dalam rangka melaksanakan kewajiban hak  sesamanya yaitu saling berpesan kebaikan.
Pembinaan individu dan kerabat  mendapat prioritas dalam Islam di antaranya dengan melakukan shilat al-rahim. Pembinaan masyarakat dimulai dari individu, keluarga dan kemudian masyarakat.  Masyarakat akan merasakan kedamain dan kenyamanan dalam hidup, manakala masing-masing individu dan keluarga rumah tangga melakukan tugas dan kewajiban shilat al-rahim secara baik yang didasarkan pada keimanan dan kasih sayang.

D.     Hukum dan Keutamaan
Melihat betapa pentingnya makna shilat al-rahim di atas Islam mewajibkannya kepada sesama manusia, terutama pada saat-saat kritis terputusnya rahim.  Dalam al-Qur’an perintah melaksanakan hak-hak kemanusiaan secara khusus shilat al-rahim setelah perintah  beriman kepada Allah  dan membesarkan nama-Nya. (QS. al-Nisa : 1)  Shilat al-rahim merupakan salah  satu  karakteristik  orang-orang mukmin (QS. Al-Ra’ad :19-21) dan  memutuskannya merupakan karakteristik orang-orang fasik (QS. Al-Baqarah: 26-27).  
            Syeikh Muhammad Abduh mengungkapkan  bahwa manusia tidak boleh lalai dari dua hal pokok yang membuat  kedamaian msyarakat yakni beriman kepada Allah  dan bershilat al-rahim.  Jika tidak, rusaklah  fithrah manusia, rusak pula  hubungan rumah tangga, masyarakat dan bangsa.[xv]   Kewajiban melaksanakan shilat al-rahim didasarkan pada dampak yang  diakibatkan dari padanya  dari mulai tingkat minimal sampai ke tingkat optimal,  dengan demikian kewajiban di sini  bersifat kondisional. Shilat al-rahim yang dilakukan mayoritas umat Islam baik pada hari-hari lebaran atau di luar itu yang sudah dalam kondisi damai  hukumnya tidak menjadi kewajiban.
            Banyak sekali Hadist yang menjelaskan tentang keutamaan shilat al-rahim, tetapi tidak mungkin disebutkan semua dalam tulisan ini.  Di antaranya  yang sangat popular di tengah-tengah masyarakat Islam  Indonesia adalah  sabda Nabi  :
" من أحب أن يبسط  له فى رزقه وينسأله فى أثره فليصل رحمه "
Artinya : “Barang siapa  yang senang diperluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah bershilah al-rahim.” (HR. Muttafaq `alaih)
            Ada dua keutamaan shilat al-rahim yang disebutkan dalam Hadits di atas :
  1. Dimudahkan rizki
Sebagian ulama mengartikan banyak rizki dan banyak harta dan sebagian lain memberikan arti diberkahi rizkinya. Seseorang yang banyak shilah al-rahim tentu banyak kenalan, banyak teman, dan banyak yang simpatik. Perangai yang baik itu akan menumbuhkan kecintaan dan kasih sayang dari sesamanya  yang kemudian termotivasi untuk dijadikan partner  dalam bisnis  dan persaudaraan.
  1. Umur panjang
Nampaknya Hadits di atas kontradiksi dengan ayat  al-Qur’an yang menjelaskan bahwa umur (ajal) seseorang tidak bisa dipanjangkan dan dikurangkan sesaatpun (QS. Al-A’raf : 33 ). Sedangkan dalam Hadits  umur manusia bisa bertambah jika banyak bershilat al-rahim. Kesan kontradiksi itu menjadi hilang ketika seseorang mau menelaah makna  Hadits secara dalam. Para ulama menjelaskan, maksud panjang umur di sini ada dua pengertian. Pertama, diberkahi atau bermanfaat waktunya. Seseorang yang diberkahi usianya berarti  sangat produktif  sekalipun relatif singkat usianya,  seolah-olah hidup beramal mencapai ratusan tahun. Ia masih selalu  dikenang jasa baiknya di tengah-tengah masyarakat seolah-olah masih hidup, sekalipun telah mati.  Kedua, usia seseorang dapat bertambah  dengan kehendak Allah,  jika berkaitan denga qadla mu`allaq (qadla’ bergantung), [xvi]sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Ra`ad : 29 : “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkannya dan di sisi-Nya Umm  al-Kitab (Lauh al-Mahfuzh).” 
            Shilat al-rahim, sekalipun tidak mesti wajib dilaksanakan bagi umat Islam memiliki keutamaan yang sangat luas dan bermanfaat, baik secara individual  dan sosial,  bukan saja dipetik di dunia,  akan tetapi di dunia  dan di akhirat kelak.  

E.     Kesimpulan 
   Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa shilat al-rahim memiliki makna yang universal  dari pada berlebaran, halal bi halal, dan kunjungan, karena shilat al-rahim dimaksudkan  segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain baik berbentuk material dan moral, tak kenal batas bentuk dan waktu, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Atau  secara umum dapat dikatakan perbuatan baik adalah segala tindakan yang bersifat mendatangkan  manfaat  dan menolak kerusakan (mafsadat). Makna shilat al-rahim sangat universal akan tetapi intinya satu yaitu berbuat baik kepada orang lain. Sedangkan teknik, metode, saran, dan prasarana shilat al-rahim  dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Shilat al-rahim masyarakat modern bisa jadi dalam bentuk berkomunikasi dan tukar informasi melalui alat-alat kamunikasi yang canggih seperti telepun, sms, internet, fax, dan lain-lain. Budaya lebaran atau  halal bi halal bagi umat Islam Indonesia tidak identik dengan shilat al-rahim, ia merupakan bagian dari unshur-unshur dalam shilat al-rahim.
            Implikasi shilat al-rahim yang terpenting adalah tumbuhnya  kesadaran saling mencintai dan menyayangi  sesamanya baik  kerabat dan muslim (rahim khusus) atau non kerabat dan non muslim (rahim umum), tanpa membedakan keturunan, ras, bangsa, dan agama. Masing-masing memiliki kualifikasi dan stratifikasi yang berbeda  sesuai dengan posisi, situasi, dan kondisi, sehingga terjelma suatu kedamaian dan ketentraman hidup di tengah-tengah masyarakt  dunia  yang global.           







[i] Ibn Manzhûr, Lisan al-Arab, (Beirut: Dâr al-Shâdir, tth.), Jilid 2, h. 726-728
[ii]  Majma` al-Lughah al-`Arabiyah Jumhuriyah Messir, al-Mu`jam al-Wajiz, (Mesir al-Hai’ah al-`Ammah,
   1998), h. 671
[iii] Ibid.
[iv] Luwis, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), Cet. Ke-22, h. 253
[v]  al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, ( Beirut: Ihya Turats  al-Arabi, 1984), Cet. Ke-3, Juz
  16, h. 112-113
[vii]  al-Shan`ani,  Subul al-Salam, (Semarang : Thaha Putra, tth.), Juz 4, h. 160
[viii]  Ihasan ada kalanya dalam  ibadah dan dalam mu`amalah. Ihsan dalam ibadah, sebagaimana jawaban Nabi ketika ditanya oleh Jibril : “Apa itu Ihsan ?”  “Ihsan adalah  engkau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya atau  sesungguhnya Allah melihat engkau.” (HR. Bukhari dan Muslim).  Sedangkan  Ihsan dalam mu`amalah sebagaimana penjelasan  beberapa ayat al-Qur’an  yang perintah berbuat  ihsan kepada orang tuan, kerabat,  miskin, tetangga dekat, tetangga  jauh,  teman sejawat, dan lain-lain. Lihat : QS. Al-Baqarah/2: 83 dan al-Nisa/4: 36. Ihsan  dalam mu`amalah inilah yang dimaksudkan dalam shilat al-rahim.
[ix] al-`Asqalani, , Fath al-Bari  Syarah  Shahih al-Bukhari, ( Cairo: Maktabah al-Qahirah,tth.), Juz 22, h.  198
[x]  al-`Asqalani, loc. cit
[xi]  al-Nawawi, loc. cit.
[xii] al-`Asqalani, loc. cit.
[xiii]  al-Nawawi, loc. cit.
[xiv]  al-`Asqalani, op. cit., h. 193 dan Syihab al-Din al-Qasthalani, Irsyâd al-Sârî Syarh al-Bukhari, (Beirut:  Dar al-Kitab al-`Arabi, 1984), Juz 9, h. 2
[xv]  Syeikh Muhammad Abduh, Tafsir al-Mannar, 4/338
[xvi]  Qadla  ada dua macam, yaitu Qadla Mubram dan Qadla Mu`allaq. Qadla Mubram , yaitu qadla (keputusan Allah sejak zaman azali) yang paten tidak bisa berubah  sesuai dengan ketentuan Tuhan. Misalnya umur seseorang  diqadla Tuhan  70 tahun, maka tidak bisa ditambah dan dikurang sedikitpun. Sedang Qadla Mu`allaq adalah keputusan Allah sejak zaman azali secara bergantung. Misalnya, jika seseorang ini banyak melakukan shilat al-rahim usianya  90 dan jika tidak usianya  50 tahun. Lihat : Abdul Majid Khon, Ahadits al-Akhlaq, (Diktat 1994), h. 90-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar