Jumat, 25 Januari 2013

Paham Ingkar Sunah di Indonesia



PAHAM INGKAR SUNAH
DI INDONESIA
(Studi Tentang Pemikirannya)
Abdul Majid Khon [*]

Abstract :
            Paham Ingkar Sunah Indonesia timbul dari ketidak tahuannya tentang status Sunah dalam beragama dan tentang fungsi Sunah  terhadap al-Qur’an. Semangat belajar mereka hanya pada  al-Qur’an. Tetapi  sayangnya mereka sangat minim penguasaan ilmu-ilmu dasar untuk memahami al-Qur’an seperti bahasa Arab,  tata bahasa dan  sastranya, ilmu-ilmu Tafsir dan lain-lain. Mayoritas  ide-ide penolakan  Sunah ditransfer dari orientalis yang sengaja menghembuskan di dunia Islam untuk menyesatkan umat. Inti  pandangan mereka  bahwa dalam beragama  hanyalah al-Qur’an karena kesempurnaannya sedangkan Sunah atau hadis dipandang sebagai dongeng yang diciptakan oleh sebagian umat Islam belakangan. Mengikuti Hadis mimicu perpecahan umat yang  meneybabkan kelemahan dan kehancuran umat.  

Kata Kunci :  Islam Hanya al-Qur’an


Pengantar
     Paham Ingkar Sunah muncul di Indonesia secara terang-terangan  kira-kira  terjadi pada tahun 1980-an. Persisnya menurut Zufran Rahman (seorang peneliti pemikiran Ingkar Sunah dan Dosen IAIN Jambi) pada tahun 1982-1983.[1] Tetapi  bukti  menunjukkan, bahwa pada 1981 paham ini sudah ada seperti yang terjadi di Bogor pimpinan oleh H. Endi Suradi dan  1982 aliran sesat yang diajarkan H. Sanwani asal kelahiran Pasar Rumput itu sudah berlangsung sejak November 1982.[2]    Kemungkinan besar jauh sebelum itu sudah ada penyebarannya secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh orientalis di Indonesia  Snouck Hourgronje. Buku-buku orientalis atau kaki tangannya  sudah bertebaran jauh sebelumnya.
    Indonesia memang menjadi sasaran gerakan  modern Ingkar Sunah setelah India dan Mesir. Dalam sejarah penetesan Ingkar Sunah era modern  di India dalam rangka melemahkan semangat jihad umat Islam dan menghancurkan Islam dari dalam melalui ide-ide kaum emperealis Inggris bekerja sama dengan para tokoh-tokoh Islam India yang koperatif. Kemudian dikembangkan lagi melalui pemikiran orientalis yang bertebaran di Mesir, karena mereka tahu benar bahwa  Mesir adalah pusat informasi dunia Islam baik bagi yang berkedok research ilmiah yang dituangkan  ke dalam buku-buklu  mereka maupun berhadapan langsung dengan para mahasiswa maupun dosennya melalui pengajaran di al-Azhar Mesir. Gerakan pemikiran modern  Ingkar Sunah di Indonesia menjadi target mereka setelah  Mesir, karena Indonesia berpenduduk mayoritas Islam terbanyak di seluruh dunia Islam.
    Sekitar tahun 1980-an paham pemikiran modern Ingkar Sunah Indonesia bergerak di beberapa tempat dan pada tahun 1983-1985 mengcapai puncaknya sehingga menghebohkan masyarakat Islam dan memenuhi halaman berbagai harian koran dan majalah. Pusat pergerakan mereka di Jakarta yang mendominasi jumlah pembawanya yang mayoritas, kemudian di Bogor Jawa Barat, Tegal Jawa Tengah dan Padang Sumatra Barat. 

     Penyebaran paham pemikiran modern Ingkar Sunah melalui berbagai cara di antaranya ada yang melalui pengajian di beberapa Masjid, diktat tulisan tangan, ceramah melalui kaset, dan buku.  Banyak di antara umat Islam yang terbawa dan terpengaruh pemahaman tersebut baik sebagai tokoh, pembantu dan pengikut.   Di antaranya  ; Lukman Saad (Dirut PT Ghalia Indonesia ), Mawardi Saad, Edria Zamora, Boni Alamsyah (ketiganya karyawan PT Ghalia Indonesia), Ansor W.A. Gani, Husni Nasution, Imran Nasution, Ali Sarwani Basry, Zainal Arifin, Muhammad Umar (Sekretaris BPMI), Dadang Satiogroho (karyawan Unilever Bogor), Selamet Sumedi (Grogol), Teguh Esha (Cipete Dalam), Dahlan (Sawangan Depok), Uas dan istrinya (Sawangan Depok), Rohadi (Pondok Cina), H. Abdurrahman (Parung), Mahmud (manantu Abdurrahman, Kebembem), H. Abdullah (Cileduk), H. Sanwani (Pasar Rumput), Safran Batu Bara (Guru SMP Yayasan Waqaf Muslim Tanah Tinggi), Manirus Taka (Indo-Jerman tinggal Depok Timur), Ishak Saleh (Cirebon), Dalimi Lubis (Sumatra Barat), [3] Nazwar Syamsu (Sumatra Barat), As’ad bin Ali Baisa (usia 60 tahun di Tegal Jawa Tengah)[4] dan H. Endi Suradi (Bogor Jawa Barat).
         Paham Ingkar Sunah di Indonesia terlarang beredar dengan terbitnya Keputusan  Mahkamah Agung RI   No : KEP-169/J.A/9/1983 dan  Nomor : KEP-059/J.A/3/1984. Namun, paham ini masih tetap eksis pada masa berikutnya sampai   skarang.  Terkadang masih muncul paham ini secara sembunyi di berbagai media, baik buku, Koran, bulitin dan lain-lain.  Agar pemikirannya dapat ditelaah dengan baik,  artilkel yang singkat ini akan membahas ; siapa Ingkar Sunah di Indonesia ? Bagaimana pemikirannya ? Bagaimana tingkat keingkaran mereka terhadap Sunah ?. Berikut ini akan dipaparkan   secara singkat di antara    tokoh  Ingkar Sunah Indonesia dan pemikirannya yang sangat  menonjol dan berperan penting dalam sejarah.

Tokoh-Tokoh Ingkar Sunah dan Pemikirannya
1. Ir. M Ircham Sutarto
    Ir. M. Ircham Sutarto  adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia  di Cibubur Jawa Barat.  Menurut Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang menulis diktat dengan tulisan tangan. [5] Ircham Sutarto mempunyai peran yang sangat besar dalam penyebaran paham Ingkar Sunah di Indonesia, karena ia sebagai Ketua Serikat Buruh perusahaan Unilever milik orang Belanda. Sementara itu Lukman Saad seorang Direktur PT Ghalia Indonesia yang bergerak di bidang penerbitan dalam perkembangan berikutnya  mendapatkan mesin percetakan modern untuk mencetak buku-buku  Ingkar Sunah setelah kepergiannya ke negeri Belanda dan bolak balik ke sana. Lukman Saad  berasal dari Padang Panjang  Sumatra Barat,  alumni IAIN  Sunan Kalijaga sampai Sarjana Muda yang mendapat gelar BA pada waktu itu.[6]
    Diktat tulisan Ir Ircham Sutarto tersebut belum diberi judul karena nampaknya masih dalam penyelesaiaan dan diktat inilah yang dijadikan pegangan  dalam mengajar dan ceramah. Isinya tentang agama (dîn), taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dasar pembahasannya hanya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sedang dalil selain al-Qur’an ditolak termasuk Sunah. Tetapi baik disadari atau tidak, di samping ia tidak sepenuhnya meninggalkan Sunah, ia lebih cenderung menggunakan dalil akli atau pikirannya.  Ketika ia berbicara dengan lawan bicaranya dan mendengar  dalil Sunah  langsung menolak dan menutup telinga dengan tangannya. [7]
            Di antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan  dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a.       Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya (M Ircham Sutarto : 85).
b.      Allah telah mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal dalam ajaran agama ( H Ircham Sutarto : 82 & 85).
c.       Al- Qur’an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan  kepada Rasul (M Ircham Sutarto : 52 & 85)
d.      Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan keterangan  yang disebut  al-sunah atau hadis (M Ircham Sutarto : 58)
e.       Semua keterangan yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis Nabipun termasuk hawa. Karena itu tidak dapat diterima  sebagai hujah dalam agama (M Ircham Sutarto : 22)
f.       Apa yang disebut Hadis-hadis Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang didapat  dari mulut ke mulut. Timbulnya dari gagasan orang-orang yang hidup antara tahun 180 sampai dengan 200 setelah wafatnya Rasul ( M Ircham Sutarto : 68 & 70)
g.      Rasul tidak ada hak mengenai urusan perintah agama. Olehnya dibawakan ayat QS  Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq) wewenang bagi kamu  tentang urusan (perintah) sedikitpun”. (terjemahan M Ircham Sutarto)
h.      Perbedaan Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai manusia ; Apabila Muhammad menyampaikan, membacakan mengajarkan al-Qur’an dan hikmah, di saat itu Muhammad sebagai Rasul. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il dan qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa. (M Ircham Sutarto  : 94)
i.          Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk Muhammad saw. Dalilnya QS. Al-Baqarah/2 : 198
Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat. (terjemahan M Ircham Sutarto: 15 & 16)
j.        Di dalam agama, perbuatan lahiriah merupakan pelengkap  batiniah atau iman (M Ircham Sutarto: 51) [8]
 
2. Abdurrahman
      Abdurrahman tinggal di Pedurenan, Kuningan, Jakarta. Seorang  mantan Persis (Persatuan Islam) berusia 30 tahun pada tahun 1983.[9] Dia giat mengajar dan ceramah  di beberapa tempat  sekitar Jakarta dan jamaahnya di antar dan dijemput dengan kendaraan  mobil. Beberapa masjid di Jakarta ia kuasai salah satu di antaranya Masjid Asy-Syifa  di Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo. Salah satu Rumah Sakit  yang  menyatu dengan Universitas Indonesia dan menjadi tempat praktek  Fakultas Kedokteran. Pengajian dimulai setelah shalat Maghrib sampai dengan waktu Isya tiba. Di antara ajarannya :
a.       Tidak ada  dzan dan tidak ada iqamat pada saat akan  menjalankan shalat wajib dengan alasan tidak ada perintah dalam al-Qur’an.
b.      Masing-masing  salat lima waktu hanya dilakukan dua rakaat.[10]  
     Senada dengan pengajaran Abdurrahman Ust. H. Sanwani yang berasal dari Pasar Rumput Jakarta pernah aktif di NU tetapi kemudian menyebrang ke paham Ingkar Sunah.[11] Dia seorang guru masyarakat setempat dan mengajar di Masjid al-Burhan  di proyek Pasar Rumput Jakarta Selatan. Pengajarannya sebagaimana Abdurrahman seorang pengajar di Masjid Asy-Syifa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di antara ajarannya sebagai berikut :
a.       Tidak ada adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib
b.      Seluruh salat masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c.       Puasa Ramadhan  hanya dilaksanakan bagi yang melihat bulan  saja berdasarkan QS. Al-Baqarah/2 : 185. “ Karena  itu barang siapa  di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.  Mereka memahami ayat ini bahwa yang wajib berpuasa adalah yang melihat bulan saja,  bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya.[12]
     Paham Ingkar Sunah yang dikembangkan oleh Abdurrahman dan pengikut-pengikutnya dan buku tulisan Moch. Ircham Sutarto akhirnya dilarang beredar Jaksa Agung RI  Keputusan No : KEP-169/J.A/9/1983 yang ditanda tangani oleh Ismail Saleh, SH dengan alasan keresahan masyarakat, mengganggu keamanan dan ketertiban umum, merusak kerukunan internal umat beragama dan menggoyahkan persatuan. Demikain juga Keputusan Komisi Fatwa  MUI 27 Juni 1983 M/ 16 Ramadhan 1403 H yang memutuskan kesesesatan Ingkar Sunah.
     Setahun kemudian Jakasa Agung RI mengeluarkan keputusannya dengan Nomor : KEP-059/J.A/3/1984 yang melarang peredaran kaset suara hasil produksi  PT. Ghalia Indonesia Recording yang memuat ajaran Ingkar Sunah.

3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
      Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia)  dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah  dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel  maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu Hurairah dimuat  di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995.[13] Judul buku-buku karyanya antara lain ; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam Islam Hanya al-Qur’an Saja.  
     Nazwar Syamsu seirama dengan Dalimi Lubis lebih banyak menulis  beberapa buku berpaham Ingkar Sunah dan ceramah melalui kaset. Ada 14 judul lebih  buku dan ceramahnya yang dicetak dan direproduksi PT Ghalia Indonesia  sebagaimana yang tertera dalam Keputusan Jaksa Agung dan judul-judul lain yaitu ;  Isa dan Venus al-Qur’an dan Benda Angkasa, al-Qur’an dan Sejarah Manusia (Penerbit Pustaka Sa’diyah Padang Panjang),  Haji dari Segi Geologi dan Sosiologi.[14]    
    Bahkan menurut Koran Terbit terdiri 23 judul  kaset yang mendapat rekomendasi dari Depag RI No. ND/314/83 antara lain Menghayati Hukum Agama, Mematuhi Hukum Allah, Iman dan Islam, Akhirat, Hal Mati dan Siksa Kubur, Asala Muasal Manusia, Isa al-Masih dan Antar Planet, Adam dan Antar Planet,  dan lain-lain.[15]  Isi Kaset yang berjudul Mematuhi Hukum Allah dan kaset lain  antara lain :
a. Hadis yang palsu dan dipalsukan. Sebagian besar hadis itu palsu dan dipalsukan maka timbullah pertentangan atau khilafiah di antara  masyarakat Islam. Dalam hal ini  Yahudi berhasil  tipu muslihatnya.
b. Ahlussunah Wal Jamaah hanya penamaan saja, orang-orang Islam kini tidak dapat  data pasti tentang mereka. Mengikuti mereka berarti membenarkan khilafiyah. Ahlussunah yang dimaksud empat madzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi, berdasarkan Hadis Nabi ini gagal menjadi dasar hukum Islam. [16]
c. Manusia pertama bukan laki-laki dan bukan Adam melainkan seorang wanita yang tidak diketahui namanya. Manusia pertama itu tidak dijadikan dari tanah melainkan dari meteor, kemudian ia melahirkan  seorang anak laki-laki dan kemudian kawin dengan anaknya itu. Mereka berdiam di planet Muntaha dan berkembang biak di sana, sehinghga suatu saat Tuhan memindahkan sepasang dari mereka ke bumi ini dan seterusnya.[17] 
Nazwar Syamsu juga telah menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an 30 juz yang menyesatkan. Di antara contoh sebagaimana yang dikutip M Amin Djamaluddin, adalah sebagai berikut :
a. QS. Al-Baqarah/2 : 63 :
 “Kami angkatkan aurora  di atasmu”  (Aurora seperti pelangi atau benda terbang mengkilap produksi  Israil)  
b. QS. Ali Imran/3: 136 :
 “Dan surga-surga yang bergerak siang-siang di bawahnya”.
c. QS. Ali Imran/3 : 181
       “serta pembunuhan mereka atas pengkabaran-pengkabaran tanpa hal logis”
     Dan masih banyak ayat-ayat atau kalimat yang ditafsirkan secara menyimpang dengan menggunakan logika belaka semata tidak menggunakan penafsiran yang mu’tamad sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama.
     Akhirnaya Jaksa Agung RI mengeluaran Keputusannya   dengan Nomor : KEP-085/J.A/9/1985 yang melarang peredaran barang-barang cetakan/buku-buku karangan dan rekaman kaset-kaset suara  susunan Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis yang ditanda tangani oleh Jaksa Agung Ari Suharto, SH. Judul buku-buku dan rekaman kase suara susunan Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis yang tertera dalam keputusan ini sebagai berikut :
a. Terjemahan (Tafsir) al-Qur’an Jilid I dan II
b. Tauhid & Logika,  al-Qur’an tentang Manusia dan Masyarakat
c. Tauhid & Logika, Manusia dan Ekonomi
d. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang al-Insan
e. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang Mekkah dan Ibadah haji
f. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentang Shalat, Puasa dan Waktu
g.  Tauhid & Logika, al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Ilmiah
h. Tauhid & Logika, al-Qur’an tentangPelengkap al-Qur’an Dasar Tanya
    Jawab Ilmiah
i. Tauhid & Logika, al-Qur’an  dan Sejarah Manusia
j. Tauhid & Logika, Perbandingan Agama (al-Qur’an dan Bibel)
k. Kamus al-Qur’an (Diktionari)
l. Koreksi terjemahan al-Qur’an Bacaan Mulia HB. Yasin karangan Nazwar
   Syamsu dan
m. Alam Barzah(Alam Kubur) karangan Dalimi Lubis
      Keputusan Jaksa Agung mewajibkan kepada yang menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, mengedarkan, memperdagangkan dan mencetak kembali barang-barang cetakan/buku-buku dan atau kaset-kaset suara tersebut untuk menyerahkan kepada Kejaksaan Negeri/ Kejaksaan Tinggi setempat. Sekalipun sudah ada keputusan Pemerintah RI untuk melarang peredaran buku-buku tersebut atau kaset-kaset rekaman ceramah tersebut tidak menghentikan kegiatan mereka pada tahun 1986 berikut nanti di Tegal Jawa Tengah masih cokol muncul kembali yang dipimpin oleh As’ad bin Ali Baisa dan 1988 di Bogor dipimpin oleh H. Endi Suhardi.
 
4. As’ad bin Ali Baisa
     As’ad bin Ali Baisa berusia sekitar 60 tahun pada tahun 1986 tinggal di Jalan Delima Desa Pepedan komplek  Masjid Nurul Huda Kec. Dukuhturi Tegal Jawa Tengah. Asal orang ini  berketurunan Arab asli dan pernah mendapat pendidikan agama di sejumlah sekolah Islam di Indonesia. Dia telah memiliki kader dan pengikut sebanyak 20 orang. Kelompok ini juga mempunyai organisasi pengurus penyebaran ajaran dengan nama ISC (Islamic Study Club). Kegiatan ajaran agama yang dikembangkan cukup meresahkan masyarakat Tegal sekitarnya setelah mereka dengan berani menyatakan  diri ingkar terhadap Sunah-Sunah  Nabi Muhammad saw dan hanya  berpegang kepada al-Qur’an saja.
     Di antara ajarannya ialah sebagai berikut :
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan  4 rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja. [18]

5. H. Endi Suradi
     H. Endi Suradi tinggal di Kamp. Panca Marga Dermaga Bogor Jawa Barat. Pekerjaannya sebagai seorang guru yang dan Pimpinan aliran Ingkar Sunah. Aliran sesat ini sudah dimulai sejak 1981. Pengajiannya diselenggarakan setiap hari Minggu yang dihadiri terdiri dari kaum pria dan wanita dengan berbagai tingkat golongan usia. Mula pertama menurut  utusan  yang menyamar menjadi pengikut, H. Endi  mempunyai pengikut  sekitar 80 orang terdiri dari 40 pria  tua dan muda, 30 wanita tua dan muda dan 10 orang anak-anak.  Materi pengajiannya yang dibahas al-Qur’an  dengan metode ceramah. Al-Qur’an ditafsirkan  menurut faham logika sendiri sepotong-sepotong. Dalam menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an hanya berdasarkan pemahaman sendiri dalam arti  tidak mau mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku umum bagi umat Islam. Nampaknya dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an masih  bersifat tebak-tebakan atau karena dia sendiri bukan seorang yang faham dan mengerti bahasa Arab dan agama.[19]
     Ajarannya membuat keresahan umat Islam. Koordinator Pembrantasan Aliran Ingkar Sunah Indonesia M Amin Djamaluddin di Jakarta bekerja sama dengan BKSPP (Badan Kerja sama Podok Pesantren) Jawa Barat KH. Soleh Iskandar yang telah lama memantau aliran ini melapor dan minta pertanggung jawaban Pemerintah untuk menghentikan dan melarang kegiatan aliran tersebut melalui Departemen Agama dan MUI Bogor. 
     Di antara ajarannya sebagai berikut :
a.    Semua shalat lima waktu hanya dilakukan dua rakaat dan sujudnya dalam setiap rakaat hanya dilakukan satu kali sujudan  dengan alasan mengikuti shalatnya Nabi Ibrahim.
b.    Nabi Muhammadpun shalatnya mengikuti cara Nabi Ibrahim dengan berpedoman pada dalil al-Qur’an Surah al-Nisa/4 : 101-103
c.     Rukun Islam lima tidak berfungsi apa-apa yang penting adalah pemahaman al-Qur’an, karena al-Qur’an mencakup segalanya.
d.   Syahadat tidak perlu diucapkan yang penting adalah pemahaman al-Qur’an, dengan memahami al-Qur’an seseorang dianggap muslim.  Demikian juga shalat diwajibkan bagi yang paham al-Qur’an, bagi yang tidak paham al-Qur’an tidak wajib shalat.[20]
     Demikian pikiran para Pengingkar Sunah di Indonesia yang pada umumnya menolak Sunah secara keseluruhan.  
Secara umum pokok-pokok ajaran Ingkar Sunah  Indonesia antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
1.      Tidak mengakui dua kalimat syahadat
2.      Tidak mengakui shalat 5 waktu dan adzan iqamat setiap waktu
3.      Tidak mengakui adanya shalat Idul Fithri, Idul Adha dan shalat terawih
4.      Menghilangkan shalat berjamaah setiap waktu
5.      Tidak ada kewajiban puasa Ramadhan, zakat fithrah dan shalat jum’at
6.      Orang mati tidak boleh dimandikan, dikafankan dan dishalatkan
7.      Allah dan Rasul manunggal (dwi tunggal) mengikuti Hadis Nabi haram
8.      Nabi Muhammad tidak berhak menerangkan agama yang membinasakan umat.[21]
9.      Dan lain-lain.

Analisis Pemikiran Ingkar Sunah
Analisis pemahaman dan pemikiran Ingkar Sunah akan difokuskan pada pokok-pokok pikiran yang penting saja mengingat banyaknya pemikiran tetapi dapat disimpulkan intinya adalah Islam hanyalah al-Qur’an, Nabi tidak berhak menjelaskan al-Qur’an  dan Hadis-hadis yang beredar   ini palsu.  Analisis akan difakuskan pada  tiga hal ini :
1.      Islam hanyalah al-Qur’an
Islam memang dapat dikatakan hanyalah al-Qur’an karena kesempurnaan kandungannya.  Al-Qur’an mengandung segala sesuatu, tetapi keterangannya secara global dan yang pokok-pokok saja. Sedang  penjelasan secara terperinci adanya dalam Hadis. Penjelasan Sunah  tidak berarti mengurangi kesempurnaan al-Qur’an sedikitpun, justru menambah dan memperkokoh kesempurnaannya.
             Sesuatu hal  yang tidak dapat diingkari oleh akal sehat adalah keintegrasian Sunah  kedalam al-Qur’an, karena yang memberikan informasi bahwa ini  kalam Allah  adalah perkataan Nabi saw yang disebut dengan Sunah. Jikalau perkataan Rasul ini tidak dapat dijadikan hujah, maka tidak mungkin terealisasi  kemukjizatan al-Qur’an. Demikian juga  dalam mengetahui rincian jumlah rakaat salat fardu, ukuran minimal wajib zakat (nishâb) dan lain-lain, tanpa  Sunah  sulit memahami dan melaksanakan kandungan al-Qur’an. Dengan demikian  kehujahan Sunah  adalah  merupakan  keharusan dalam agama (dlarûrîyah dînîyah ).
Al-Qur’an perintah mengikuti Nabi, banyak ayat-ayat yang menunjukkan hal itu,  misalnya  QS. Al-Hasyr /59 : 7
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah
Bagaimana cara mengikuti Nabi ?  Tentunya dengan mempelajari Sunah dan mengamalkannya. Jika seseorang konsisten mengamalkan al-Qur’an berarti ia mengamalkan Sunah. Sunah Nabi sebagai sumber hukum Islam  setelah al-Qur’an dan selalu berintegrasi dengan al-Qur’an. Beragama  tidak mungkin bisa  sempurna tanpa Sunah, sebagaimana syariat tidak mungkin sempurna tanpa  didasarkan kepada Sunah. Para sahabat  menerima langsung penjelasan Nabi tentang syariat yang terkandung dalam al-Qur’an baik dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau yang disebut dengan Sunah itu. Demikian juga umat Islam setelahnya, tidak mungkin  dapat memahami hakekat al-Qur’an, kecuali harus kembali kepada Sunah.   Oleh karena itu umat Islam dahulu dan sekarang sepakat (kecuali  kelompok minoritas), bahwa Sunah Rasul baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuannya sebagai salah satu sumber hukum Islam dan seseorang tidak bisa melepaskan Sunah  untuk mengetahui halal dan haram.
 Memahami al-Qur’an yang benar tentunya diperlukan penguasaan bahasa Arab dan tata bahasa Arab yang baik, tidak asal bunyi dan tidak asal diartikan menurut logikanya sendiri.   Jika diperhatikan pemikiran Ingkar Sunah di atas  ditemukan berbagai kekacauan  dalam memahami Islam, baik dari segi terjemahan teks al-Qur’an, pemahaman dalil teks, kontekstualitas ayat  maupun dari segi konsistensinya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami bahasa Arab dan tata bahasa Arab, tidak paham Ulumul Qur’an, Asbab al-Nuzul dan ilmu-ilmu lain sebagai perangkat pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan penafsirannya.    Misalnya beberapa ayat berikut ini :
a. Penerjemahan QS. QS  Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq) wewenang bagi kamu  tentang urusan (perintah) sedikitpun”.
 Terjemahan M Ircham Sutarto di atas menggambarkan bahwa ia memahami al-Qur’an hanya sepotong-potong tidak melihat kontek kalimat sesudah dan sebelumnya. Mari kita lihat ayat sebelum dan sesudahnya  ayat : 127-128
 (Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Konteks ayat berkaitan dengan urusan orang-orang kafir yakni Nabi tidak ada urusan dengan mereka orang-orang kafir bukan berkaitan dengan perintah Allah. Pemaknaan ayat hendaknya dikaitkan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya kata ; الَّذِينَ كَفَرُوا dan disebutkan pula setrelanya dhamir jamak ; أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ . Di sini jelas maknya berkaitan dengan urusan orang kafir, bukan berkaitan dengan perintah Allah.   Terjemahan Ircham Sutanto kelas terjadi penyimpangan pemahaman yang  ingin memisahkan antara Nabi dari Tuhan aatu antara Hadis dengan al-Qur’an.
b. Terjemahan QS. QS. Al-Baqarah/2 : 198 yang dipahami Muhammad saw telah tersesat sebelum mendapat wahyu :
Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat.              
Pada ayat di atas jelas menggunakan khithab dhamir jama yakni kamu orang banyak (Nabi dan para sahabat  yang sedang melaksanakan ibadah haji) bukan hanya Nabi Muhammad. Memang Nabi Muhammad bagian dari mereka dan Nabipun tidak mengetahui cara-cara ibadah haji dan syariah Islamiyah sebelum ada petunjuk wahyu dari Allah. Sebagaimana pula dalam QS.  al-Dhuha/93 : 7
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
      Tetapi bagi Nabi Muhammad makna kata “Dhâll” di sini tidak mengetahui syariah Islamiyah sebelum mendapat pertunjuk wahyu bukan berarti lawan dari hidayah [22] seperti kekufuran,  kemusyrikan dan kemaksiatan  sebagaimana dibuktikan dalam sejaran, bahwa  Nabi tidak pernah melakukan hal-hal tersebut.
  Abû Zahw seorang ulama al-Azhar membagi wahyu menjadi dua bagian yaitu :
1)  Wahyu al-matlû ;  wahyu yang  dibacakan yaitu  al-Qur’an  yang  disampaikan Jibril   kepada Nabi saw  baik secara lafaz dan maknanya dalam keadaan berjaga.
2) Wahyu  ghayr al-matlû ;  wahyu yang  tidak  dibacakan    yaitu Sunah  Nabi saw yang      disampaikan    Jibril  atau lain,  baik  dalam  keadaan  berjaga  atau     tidur.[23]
 Baik al-Qur’an maumpun Hadis adalah wahyu dari Allah swt. Nabi tidak mengetahui sesuatu malainkan setelah mendapat wahyu dari Allah.  Banyak sekali hadui-hadis yang menjelaskan  malaikat Jibril bertemu bengan Nabi dan menyapaikan wahyu selain al-Qur’an yang tidak mungkin diesbutkan pada artikel yang terbatas ini. 
c.  Terjemahan Nazwan Syamsu . QS. Al-Baqarah/2 : 63 :
“Kami angkatkan aurora  di atasmu”  (Aurora seperti pelangi atau benda terbang mengkilap produksi  Israil)
               Kata “rafa’nâ fi’il muta’addi  maknanya “Kami angkat” bukan Kami agkatkan seperti memuta’adikan fi’il muta’addi. Sedang kata “al-thûr” diartikan aurora Auro seperti pelangi atau benda terbang mengkilap produksi  Israil. Suatu terjemahan yang aneh dan  mengada-ada, terjemahan yang hanya dipahami secara logika sok tahu saint bikinan Israil  kalau hal itu benar produksi Israil atau adanya pendekatan dengan Israil.   
. QS. Ali Imran/3: 136 :
 “Dan surga-surga yang bergerak siang-siang di bawahnya”.
           Terjemahan ini  menunjukkan ketidak tahuan seorang penterjemah tentang tata bahasa Arab ada  fi’il mudhari’ tidak jelas mana fa’il-nya. Ketika al-anhâr diartikan sungai-sungai memang layak menjadi fa’il karena ia kata benda, tetapi ketika ia diartikan siang-siang menunjukkan katerangan waktu (zharaf zaman), hpemaknaan ini juga  tidak benar karena ia marfû’ tidak manshûb.
 QS. Ali Imran/3 : 181
       “serta pembunuhan mereka atas pengkabaran-pengkabaran tanpa hal logis”
Penyimpangan di sini kata al-anbiyâ diartikan pengkhabaran, padahal jelas ia jamak dari kata ”Nabiy”. Pengkhabaran dalam bahasa Arab al-Anbâ jama dari kata Naba’ bukan al-Anbiyâ’.
 Terjamahannya hanya sekedar dari pemaknaan bahasa yang sangat  minim penguasaannya. Kemampuan mereka dalam berbahasa Arab diragukan. Bagaimana mereka  mengaku bahwa Islam hanya  al-Qur’an  sementara  mereka tidak mengetahui bahasa Arab serta tata bahasanya dengaan baik ? Bukankah pemahaman mereka akan menghancurkan Islam ? Mereka dari kalangan  bukan  ahli agama dan bukan alumni sekolah agama. Mereka baru tahap mau belajar agama, tetapi sayangnya mereka mengklaim dirinya ahli agama  dan secara eksklusif merasa paling benar sendiri  sedangkan apa yang dipahami oleh meyoritas umat Islam dipandang suatu kesesatan yang   besar.

2.      Nabi  Tidak Berhak Menjelaskan al-Qur’an
Penjelasan Nabi terhadap makna al-Qur’an diperintah al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Nahl/16 : 44
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan)
Ayat ini jelas Allah perintah kepada Nabi untuk menjelaskan makna al-Qur’an kepada manusia, sementara Ingkar Sunah melarangnya, apa maksud pernyataan mereka bahwa Islam hanyalah al-Qur’an. Malah tidak ada sepotong ayatpun yang perintah Ingkar Sunah agar menjelaskan al-Qur’an.     
Penjelasan Sunah sangat diperlukan untuk memahami kandungan al-Qur’an. Nabi seorang penerima wahyu  tentunya lebih paham tentang makna kandungan al-Qur’an. Al-Qur’an perintah salat, zakat, puasa haji akan tetapi tidak menjelaskan bagaiman cara melaksanakan semua itu.  Bilangan rakaat salat,  waktunya, jumlah salat yang diwajibkan, syarat dan rukunnya,  salat-salat sunah, dan lain sebagainya dijelaskan Sunah. Demikian juga ibadah dan perintah-perintah lain.
Al-Qur’an  menjelaskan segala sesuatu secara global dan dasar-dasarnya baik dalam urusan agama dan dunia. Lantas perinciannya  dijelaskan oleh Sunah,  sehingga al-Qur`an mampu menjawab segala persoalan yang timbul seiring dengan perkembangan zaman. Penjelasan  Sunah terhadap al-Qur`an tidak mengurangi kesempurnaan kandungan al-Qur`an, justru menunjukkan keunggulan dan kesempurnaan yang mengandung mukjizat.
Semua ulama mengakui adanya hubungan bayân Sunah terhadap al-Qur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka pergunakan. Misalnya Ahl al-Ra’yi berpendapat penjelasan Sunah terhadap al-Qur’an terbagai menjadi 3 hal, yaitu ; bayân taqrîr (memperkuat), bayân tafsîr (menjelaskan yang sulit), dan bayân tabdîl atau nasakh  ( mengganti atau menghapus).[24] Imam Malik membagi ada 5 bagian, yaiyu : bayân taqrîr, bayân tawdhîh (bayân tafsîr), bayân tafshîl (penjelasan terteperinci), bayân basthî/ bayân ta’wîl (keterangan yang panjang lebar), dan bayân tasyrî` (menciptakan hukum). [25] al-Syâfi`î menetapkan 5 bayân, yaitu ; bayân tafshîl, bayân takhshîsh ( mengkhususkan), bayân ta`yîn (menetapkan satu makna dari dua atau lebih ), bayân tasyrî`, dan bayân nasakh. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam hal ini  sepaham dengan al-Syâfi`î. Imam Ibn al-Qayyim dalam kitab A`lâm al-Muwaqqi`în sebagaimana yang dikutip Ash-Shiddieqy menjelaskan pendapat Imam Ahmad, ada 4 penjelasan, yaitu : bayân ta’kîd, bayân tafsîr, dan bayân tasyî`, dan bayân takhshîsh serta bayân taqyîd (memberikan batasan yang mutlak). [26]  
             Sunah selalu seirama dengan al-Qur’an yang  berfungsi sebagai penguat (muakkid), penjelas (mubayyin) dan interpretator (mufassir) ayat-ayat al-Qur’an  yang tersembunyi  maknanya, dengan penjelasan yang terperinci dari keterangan ayat-ayat yang global (tafshîl al-mujmal),  memberikan batasan keterangan ayat-ayat al-Qur’an yang  bebas ( taqyîd al-muthlaq), mengkhususkan yang umum (takhshîsh al-`âmm), dan menjelaskan  hukum yang belum disebutkan dalam al-Qur’an.[27] Keduanya sebagai wahyu yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
                 Para ulama sepakat bahwa Nabi  bersifat ma`shûm. Artinya terjaga dari perbuatan dosa besar dan dari  kebohongan  dalam menyampaikan risâlah  wahyu dengan dalil mukjizat. Demikian juga, Nabi dijaga dari perbuatan yang merendahkan  pangkat kenabian, seperti  akhlak yang rendah dan lain-lain,   dari kesalahan dan lupa  menurut pendapat yang shahîh[28]

3.      Hadis atau Sunah yang beredar  palsu
Sebagian Hadis memang ada yang palsu, tetapi masih banyak Hadis yang shahih bahkan banyak pula Hadis mutawartir. Hadis yang dijadikan hujah atau dasar dalam beragama adalah Hadis shahih dan mutawatir, bukan Hadis palsu. Para ulama ahli Hadis telah meneliti Hadis-hadis yang beredar di berbagai kitab Hadis dan telah ditemukan manaa Hadis yang shahih dan mana yang maudhu’.  Hadis maudhu’pun telah  dihimpun dalam satu buku sehingga umat mengetahui dan membedakan antara maudhu’ dan yang bukan maudhu’.
   Keterbelakangan masa kodifikasi Sunah karena perhatian umat Islam awal kepada al-Qur’an yang baru dikodifikasikan pada masa Utsman bin Affan. Sejak awal  Sunah juga sangat  diperhatikan para sahabat  baik melalui praktek dalam kehidupan,  penulisan, dan  hapalan mereka yang sangat kuat. Tidak ada seorang penelitipun yang menilai Sunah ternodai kepercayaannya pada abad pertama.   Kemudian  para ulama  abad berikutnya telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan sangat teliti dalam mengkritik periwayatan baik matan atau sanad-nya sehingga dapat dibedakan mana yang shahîh dan mana yang tidak shahîh, untuk dikodifikasikan.
Dalam periwayatan matan Hadis para ulama mempersyaratkan harus disertai dengan sanad[29], agar orang tidak berbohong mendengar Hadis dari Rasulillah atau tidak sembarangan meriwayatkan Hadis kecuali diyakini kebenaraannya dari Rasulillah. Sanad ini sangat penting dalam ilmu Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas Hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana al-Qur’an dan diterima secara individu (âhâd) tidak secara mutawâtir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingat-ingatan dan hapalan para sahabat yang andal. Di samping hiruk pikuk para pemalsu Hadis yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu tidak semua Hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, di antaranya disertai sanad yang dapat dipertangung jawabkan keshahihannya.   
Sanad  merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dha`if-nya suatu Hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta  atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad  tidak bertemu langsung (muttashil),  dha`îf-lah Hadis tersebut sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa Hadis tersebut  orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (murû’ah), dan memiliki  daya ingat yang  kredibel,  sanadnya bersambung dari  satu periwayat  kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.
Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad dalam periwayatan Hadis. Umat dahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka yang juga tidak ditulis pada masa Nabinya tidak disertai sanad. Pada hal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabinya. Kitab suci mereka ditulis berdasarkan ingatan  beberapa generasi yang dinisbatkan kepada para rasul Nabi Isa yang tidak disertai dengan sanad. Menurut Dr. Maurice Bucaille, « Dalam karangan-karangan yang ditulis pada permulaan sejarah agama Kristen, Injil baru disebutkan lama sesudah  surat-surat Paulus. Bukti-bukti tentang adanya Injil baru terdapat pada pertengahan abad II M dan lebih tepat lagi sesudah  tahun 140 M »[30]
    Secara ilmiah periwayatan Hadis lebih otentik dan dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya dilihat dari metodologi penelitian yang mereka gunakan. Sanad adalah sebagai bukti dan sakti atas kebenaran  Sunah dari Rasulillah saw.

Kesimpulan
            Perkembangan Ingkar Sunah Indonesia  melebihi batas kewajaran rasionalisasi atau modernisasi  pemahaman Hadis, tetapi lebih kepada penolakan Sunah secara hakiki yakni menolak Sunah sebagai dasar beragama secara keseluruhan.  Amalan ibadah yang berbau Sunah dan tidak secara eksplisit mereka hilangkan seperti adzan Mereka hanya mengakui al-Qur’an  saja dalam beragama,  tetapi kurang baik dalam memahami al-Qur’an. Hal ini  karena keterbatasan mereka dalam penguasaan bahasa Arab dan tata bahasanya, di samping tidak mengenal  ilmu-ilmu dasarnya seperti Ulumul Qur’an atau Ulumut Tafsir, sastra bahasa Arab, Ulumul Hadis dan lain-lain.  Tingkatan Ingkar Sunah seperti ini sangat berbahaya  dalam beragama, karena petunjuk Hadis dalam memahami al-Qur’an  ditolak, sementara  kemampuan memahami al-Qur’an  sangat minim. Akibatnya,  al-Qur’an dipahami dengan semau pendapat mereka sendiri  tanpa mengacu kepada penjelasan Nabi dalam Hadis atau mengacu kepada kitab-kitab Tafsir yang mu’tabar.   Dengan demikian bisa jadi sesungguhnya   mereka   meninggalkan keduanya yakni al-Qur’an dan hadis atau pemahamannya  akan menghancurkan Islam dari dalam.



[*][*]  Dosen Hadis dan  Ilmu Hadis Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


[1] Zufran Rahman,  Sunnah Nabi  SAW Sebagai Sumber Hukum Islam  (Jawaban Terhadap Ingkar Sunnah), Jakarta : CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995, Cet. Ke-1, h. 162 
[2] M Amin Djamaluddin , Bahaya Ingkar Sunah, ,  h. 64 dan 123  lihat juga  Harian Terbit, 6 Juni 1983 dan  13 januari 1988.
[3] M Amin D, Bahaya…, h. 26
[4][4] Ibid. h. 94 dan Harian Merdeka h. 6, 10 oktober 1986
[5] Hartono Ahmad Jaiz,  Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2004, Cet. Ke-2, h. 30
[6] Ibid. h. 30-31
[7] Ahmad Husnan, Gerakan Inkar as-Sunnah dan Jawabannya,  Jakarta: Media Da`wah, 1995, Cet. Ke-3, h. 8
[8] Ahmad Chusnan, Gerakan Inkar… h. 9-11
[9] Majalah Tempo, 18 Juni 1983 dan M Amin, Bahaya…, h. 66
[10] Hartono, Aliran…, h. 29
[11] Majalah Tempo, 18 Juni 1983 dan M Amin, Bahaya…, h. 66
[12] Hartono, Aliran …, h. 29-30
[13] M Amin D, Bahaya…, h. 127-128 dan pelita, 1 Mei 1995
[14] M. Amin D, Bahaya…, h. 84-85 dan terbit 24 Maret 1984
[15] M. Amin D, Bahaya…, h. 78-79 dan Terbit, Minggu ke-3 Pebruari 1984
[16] Ibid.
[17] M. Amin, Bahaya …, h. 86-87 dan Sinar Pagi, 27 April 1984 Demikian di antara isi kaset Ingkar Sunah  menurut keterangan Ketua MUI DKI KH. Abdullah Syafi’i
[18] M Amin D, Bahaya…, h. 94 dan Harian Merdeka h. 6, 10 Oktober 1986
[19] M Amin D, Bahaya…, h. 123-124 dan Harian Terbit, 13 Januari 1988
[20] Ibid. h.124
[21] M Amin D, Bahaya…, h. 48-69
[22] M Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafâsîr,   Beirut : Dâr al-Fikr, tth. juz 3, h. 573
[23] Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, h. 14-15  dan  al- Qardlâwî, Kayf Nata`âmal ma`a al-Sunnah al-Nabawîyah,   h. 37
[24] M. Hasbi As-Shiddieqy (Ash-Shiddieqy), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, Cet. Ke-6, h. 179-182
[25]  Ash-Shiddieqy,  Sejarah dan Pengantar… ,  h. 183-186
[26][26]  Ash-Shiddieqy,  Sejarah dan Pengantar… , h. 187-188
[27] Lihat : QS. Al-Nahl / 16: 44,   al-Malikî,  al-Manhal al-Lathîf…, h. 12-15, dan  al-Salafî, al-Sunnah Hujjîyâtuhâ…, h.97-129
[28]  al-Syawkânî (w. 1250 H), Irsyâd alFuhul ilâ Tahqîq al-Haq  min `Ilmi al-Ushûl, Beirut : Dâr al-Sya`ab  al-`Ilmîyah, 1999,  Juz 1, h. 161dan 162, Abd al-Rahmân, al-Sunnah Ghâyah  al-Wushûl…, h. 31, dan `Abd al-Khâliq, Hujjîyat al-Sunnah, h. 279.
[29] Sanad ; para perawi (transmitter) Hadis secara berantai dari penghimpun (kolektor) sampai kepada Rasulillah. Sedang matan ; isi berita yang disadarkan kepada Rasulillah
[30] Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, h. 95




Tidak ada komentar:

Posting Komentar